Villa extension by O+A
Sumber : iai_diy@yahoogroups.com; Wednesday, September 2, 2009 4:39 AM

















Jumat, 17 Juli 2009 | 15:15 WIB
Oleh Idha Saraswati
Tak hanya tampilan fisiknya yang anggun dan megah ala bangunan neo-renaissance, konstruksi gedung peninggalan Belanda ini juga sangat kuat. Masyarakat yang kerap melewati kawasan Kilometer nol Yogyakarta pasti akan ikut mengagumi tampilan fisik dari eks kantor De Javasche Bank yang sekarang menjadi kantor Bank Indonesia Yogyakarta ini. Kekaguman itu mungkin akan bertambah manakala mereka mendapat kesempatan untuk menengok ke dalam bangunan.
Mulai 16 Juli, Bank Indonesia (BI) Yogyakarta membuka kantor ini untuk umum. Dibukanya akses bagi masyarakat umum tersebut merupakan awal dari langkah BI untuk memfungsikan kembali gedung tua ini dengan tetap memerhatikan sisi pelestarian bangunan pusaka. ”Renovasinya tidak hanya bertujuan mengembalikan ke bentuknya yang asli, melainkan juga memelihara sejarah yang melekat pada bangunan dan kawasan di sekitarnya,” kata Pemimpin BI Yogyakarta Tjahjo Oetomo, beberapa waktu lalu.
Untuk merenovasi gedung yang berada persis di sebelah kanan Kantor Pos Besar Yogyakarta ini, BI menggandeng tim dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada dan Jogja Heritage Society. Arsitek dan pendiri Jogja Heritage Society, Laretna T Adhisakti, menuturkan, bagi DI Yogyakarta, dibukanya gedung ini akan menambah ruang publik di kawasan Kilometer nol yang saat ini sudah semakin minim. Mendukung bisnis
Kantor Cabang (KC) De Javasche Bank (DJB) ”Djokdjakarta” dibuka pada 1 April 1879 sebagai KC ke-8. Berdirinya KC Djokdjakarta ini terutama untuk mengakomodasi usulan Firma Dorrepaal and Co Semarang. Presiden De Javasche Bank ke-7, Mr N P Van den Berg dan jajaran direksi menyetujui usulan itu mengingat volume perdagangan di Yogyakarta yang semakin besar.
Hal itu tecermin dari jumlah transfer uang ke Yogyakarta melalui KC DJB Soerakarta yang waktu itu mencapai 2 juta gulden-3,5 juta gulden. Yogyakarta pada waktu itu merupakan daerah penghasil gula dengan produksi 300.000 pikul per tahun atau setara dengan 2.580 ton. Cabang DJB Yogyakarta didirikan pada 1879 di atas tanah seluas 300 meter persegi. Tanah tempat DJB berdiri berstatus eigendom yang berarti merupakan tanah milik DJB sendiri dan bukan lagi milik Sultan Yogyakarta.
Sejak 1879 hingga akhirnya dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia pada 1953, fungsi gedung bank ini naik turun. Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, kegiatan operasional bank ini berhenti. Bersamaan dengan itu, Nanpo Kaihatsu Ginko difungsikan Jepang sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa. Setelah melalui masa buka tutup akibat agresi militer Belanda, KC DJB ini beroperasi kembali pada 22 Maret 1950 hingga dinasionalisasi pada 1953. Tahan terhadap tsunami
Laretna menjelaskan, seperti juga gedung DJB lainnya, gedung DJB Djokdjakarta dirancang oleh arsitek Hulswitt dan Cuypers dengan hasrat menampilkan kemegahan arsitektural. Gedung ini terdiri atas tiga lantai yang memiliki ruang-ruang dengan fungsi yang berbeda. Ruang di lantai dasar berfungsi sebagai ruang penyimpanan, dengan brankas besar (ruang khazanah) yang berfungsi untuk menyimpan uang. Di lantai satu terdapat ruang kantor dan kasir yang merupakan fungsi utama dalam gedung bank. Lantai dua dengan tambahan balkon yang dibangun tahun 1950-an menjadi tempat tinggal bagi direksi dan keluarganya.
Menurut Laretna, bentuk muka DJB di DIY ini sangat mirip dengan gedung yang ada di Aceh. Selain bentuknya yang megah, konstruksinya juga kuat. Saat tsunami menghantam Aceh pada akhir 2004, eks gedung DJB yang menjadi gedung BI Aceh luput dari terjangannya. Namun, saat diperiksa, persediaan uang tunai dalam khazanah yang disimpan di lantai dasar ternyata tak tersentuh air barang sedikit pun.
Secara prinsip, lanjut Laretna, gedung DJB akan dikembalikan ke bentuk asal. Lantai dasar akan tetap menjadi ruang penyimpanan, lengkap dengan khazanahnya. Meja kasir di lantai satu akan dikembalikan, ditambah dengan ruang pertunjukan. Lantai tiga akan berfungsi sebagai perpustakaan.
Kelak, selain melihat detail konstruksi bangunan kolonial yang megah dan kuat ini, masyarakat juga bisa berkunjung untuk menambah pengetahuan di perpustakaan. Tak hanya itu, ruang pertunjukan juga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan seni dan sosial.
Laretna menuturkan, proses pemanfaatan gedung ini memakai metode olah desain arsitektur pusaka. Artinya, pelestarian tidak hanya dilakukan dengan mempertahankan bentuk aslinya, melainkan juga memperhitungkan sisi kemanfaatannya.
Komunitas Gerilya Kota bekerjasama dengan Jurusan
Arsitektur UII mempersembahkan:
A Talk with Johannes Widodo
"Sense of Place: Singapore Experience"
Kafe Momento
Jl. Jembatan Merah (Timur LB LIA) Gejayan Yogyakarta
Jumat, 4 Mei 2007
Pukul 18.30-20.00 WIB
Asian cities sebagaimana ditengarai oleh para arsitek,
termasuk Rem Koolhas, Korff, dan pengamat perkotaan
lainnya adalah salah satu wilayah di dunia ini yang
sangat dinamis, penuh perubahan terutama yang
berkaitan dengan wajah kota dan identitasnya.
Berjalan-jalan ke seantero Asia kita akan mendapati
juxtaposition antara bangunan-bangunan pencakar
langit yang terbaru dengan bangunan heritage atau
bahkan slum area hanya di dalam jarak satu pelontaran
batu. Keadaan ini menjadikan "Sense of Place" menjadi
isu yang sangat penting untuk dibahas dan dikenali
elemen-elemen pembentuknya.
Singapore sebagai salah satu kota yang paling
progresif di Asia dalam perkembangan fisik kota dari
hasil pertumbuhan ekonomi negara yang pesat ternyata
banyak menyimpan kisah-kisah sukses dan kegagalan dari
para urban designernya. Catat saja, tahun 1970 an
ketika Singapore berubah menjadi hutan beton dan
membabat beratus-ratus bangunan bersejarahnya,
akhirnya merasa semakin kehilangan identitas dirinya.
Baru di tahun 1980an akhir menyadari penting aset
bangunan pusaka nya dan merubah visi pembangunan kota
yang peka terhadap pelestarian bangunan pusaka dan
ini terbukti dari semakin ramainya Singapore sebagai
tujuan wisata kota sebagai implikasi dari kegiatan
urban conservation terutama di Chinatown, Little
India, dan Kampung Glam.
Dr. Johannes Widodo seorang Arsitek, Urban Historian
yang menjabat sebagai salah satu Dosen di Jurusan
Arsitektur National University of Singapore akan
berbagi tentang pengalaman Singapore dalam
mempertahankan Sense of Place-nya ditengah pelukan
globalisasi dan modernisme dalam segala lini.
Kehadiran teman-teman ditunggu untuk meramaikan
diskusi ini, ditunggu ya...
Komunitas Gerilya Kota
Jurusan Arsitektur UII
Diaspora Tiong Hoa dan Terbentuknya Kota
Kota-kota di Asia Tenggara dapat dikelompokkan kota perdagangan dan kota pertanian (Lombard 1994). Meskipun keduanya, antara perdagangan dan pertanian, memiliki karakter sendiri, bukan berarti kota perdagangan tidak didukung oleh keberbedaan hasil-hasil pertanian, demikian pula kota pertanian tidak akan hidup tanpa adanya pasar.
Pedagang Tiong Hoa merupakan faktor yang cukup penting dalam tumbuhnya kota-kota tersebut, terutama kota dagang. Kita tahu bahwa, kedatangan mereka pertama kali terangkai dengan pelayaran yang dimaksudkan untuk berdagang, misalnya rempah-rempah. Mereka kerap singgah di pelabuhan-pelabuhan sepanjang pelayaran mereka, baik untuk mengadakan transaksi atau mengisi persediaan. Sembari menunggu angin yang memungkinkan melanjutkan perjalanan, para pedagang itu tinggal di daratan dan membangun kelompok permukiman. Konstruksi rumah tersebut sama dengan yang pernah tinggali di daerah asalnya. Permukiman tersebut juga dilengkapi dengan bangunan pendukung seperti pasar dan klenteng membentuk suatu pola permukiman tertentu. Dengan itu, mereka telah membuat identitas yang unik pada lokasi yang mereka bangun.
Dengan latar inilah, kawasan-kawasan komersial yang dihuni oleh masyarakat Tiong Hoa (kerap disebut Pecinan), bersama dengan kampung-kampung penduduk asli, pusat pemerintahan, pasar dan pelabuhan menjadi elemen konstitutif terbentuknya sebuah kota.
Menyadari potensi tersebut, kawasan komersial yang dihuni pedagang Tiong Hoa dikonstruksi pula untuk mendorong aktivitas komersial serta pengembangan sebuah kota. Seperti di Yogyakarta, kita lihat dapat menemukan permukiman Tiong Hoa di sebelah utara Pasar Beringharjo, sekarang dikenal Kampung Ketandan. Selain karena ada aturan keluaran Belanda yang membatasi pergerakan dan permukiman orang Tiong Hoa, Sultan Hamengku Buwono II menempatkan mereka di kawasan tersebut dengan tujuan untuk mendorong aktivitas pasar dengan dukungan aktivitas komersial para pedagang Tiong Hoa.
Hal serupa juga ditemui di Hanoi, di kawasan yang sekarang dikenal dengan 36 Old Streets Quarter, letaknya antara kawasan pusat pemerintahan dan Sungai Merah. Kawasan ini dirancang sebagai daerah pasar dan daerah pertukangan yang kemudian dihuni pedagang Tiong Hoa serta asing lainnya (Ros 2001). Sementara di Thailand, Raja Rama IV dalam usahanya mengembangkan strategi pembangunan Bangkok sampai mengirimkan mentrinya untuk mempelajari kawasan komersial di Singapura. Hasilnya, ruko-ruko baru dibangun di sepanjang perpanjangan jalan Charoen Krung sebagai strategi untuk membuat kawasan komersial, sekaligus mengembangkan kawasan di luar pusat Bangkok masa itu. Ruko-ruko tersebut kemudian dimanfaatkan baik pedagang Tiong Hoa juga pedagang barat (Borthaam 2004).
Rumah Toko
Bangunan-bangunan rumah toko (ruko)-lah elemen yang penting dari kawasan pedagang Tiong Hoa. Bangunan khas yang dulu hanya dibangun di kawasan permukiman Tiong Hoa ini dianggap tepat untuk beraktivitas komersial sekaligus untuk tinggal di kota. Sistemnya di mana dalam satu bangunan terdapat fungsi residensial dan komersial dianggap ideal, sehingga tipe bangunan ruko kemudian menjadi elemen penting dalam menciptakan sebuah daerah komersial di banyak kota (Godlblum 1989). Fungsi campuran itu membuat bentuk ruko dianggap efektif; pemilik toko bisa mengawasi langsung barang-barang dagangannya saat malam hari. Pemilik toko bisa mengurangi biaya transportasinya karena tidak perlu berpindah dari rumah (kalau berada di daerah lain) ke toko. Selain itu, bila dibutuhkan mudah mendapat bantuan dari anggota keluarga yang lain.
Jenis arsitektur ini sendiri mungkin dibawa oleh para pelayar Tiong Hoa dari Cina daratan bagian selatan, seperti Provinsi Fujian dan Guangdong. Di kota Quanzhou, kita bisa menemukan arsitektur tipe ini eksis di sekitar pelabuhan (Elisa 1999; Widodo 2004).
Bangunan ruko awalnya dapat ditemukan di berbagai belahan bumi yang dibangun oleh para pedagang Tiong Hoa dalam misi pelayaran perdagangan mereka, misalnya di Malaka, Singapura, Batavia dan Semarang. Organisasi ruang dalamnya mungkin berbeda-beda antar daerah, tapi elemen perkotaannya; letaknya yang berhadap-hadapan mengapit tegak lurus jalan, berada tepat di tepi jalan dan dibangun berderet (Widodo 2004), merupakan unsur yang permanen yang ditemui di daerah-daerah tersebut. Deretan-deretan ruko sendiri bisa terkonsentrasi dalam satu kawasan dan membentuk blok, ataupun linier mengikuti suatu ruas jalan tertentu. Jalan Malioboro di Yogyakarta yang terkenal merupakan deretan ruko yang mengikuti jalan tertentu, sedang Kawasan Ketandan yang ada di belakangnya kemudian merupakan konsentrasi ruko-ruko dalam blok-blok.
Ruko biasanya dibangun penuh di atas suatu persil memanjang serta diapit langsung ruko tetangganya, sehingga ruko hanya memiliki satu fasad muka yang berada di atas tepi jalan. Fasad depan arsitektur ruko tidak lebar, rata-rata 4-6 m, sedang kedalamannya dapat mencapai 20 m, bahkan 50 m seperti di Hanoi dan Taiwan.
Untuk menambah luasan ruangan, konstruksi berarti pekerjaan membangun lantai yang lebih tinggi. Menurut Elisa (1999), ruko di Batavia awalnya dibangun satu lantai. Untuk memperbesar luasan bangunan sekaligus beradaptasi dengan sistem pembagian blok yang dikembangkan pemerintah kolonial, kegiatan bisnis dan hunian kemudian direalisasikan dengan pemisahan lantai bangunan. Kegiatan bisnis yang pokok ditempatkan di lantai pertama, dan hunian ditempatkan di atasnya. Teknologi masa lalu yang mengandalkan kayu sebagai struktur membatasi jumlah lantai secara alami, sehingga ruko tua biasanya terbatas terdiri dari dua lantai. Namun di kota lain ditemui ruko yang sudah sejak awalnya terbangun berlantai dua.
Di beberapa kota, ada yang muka lantai pertama ruko dimundurkan kira-kira 5 kaki dan ruang yang dihasilkan dimanfaatkan untuk sirkulasi. Lantai dua yang kemudian lebih lebar berfungsi sebagai peneduh. Ruko-ruko di Singapura mengadopsi sistem ini pada masa pemerintahan Raffles. Sementara ruko di sepanjang Malioboro dimundurkan pada tahun 1980an atas usul tim perencana kota Yogyakarta, Rm. Mangunwijaya dan tim. Ruko model ini lantas menyerap kehadiran aktivitas komersial yang menggunakan kotak-kotak tidak permanen sebagai etalasenya, kemudian disebut pedagang kaki lima (PKL). Di Malioboro, hubungan ruko dan PKL tersebut membuat kehidupan di jalan lebih dinamis.
Konstruksi baru yang muncul seiring dengan perkembangan kota biasanya juga bercampur dengan kultur setempat. Di Singapura, ruko-ruko tua diperkaya dengan dekorasi yang merupakan kombinasi seni Eropa, Tiong Hoa dan lokal (URA 1995). Sementara di Indonesia, contoh yang nyata dapat kita lihat di Denpasar, didorong cita-cita untuk menempatkan identitas lokal di setiap bangunan, fasad ruko dihiasi dengan ragam hias tradisional Bali (Lancret 1997).
Ruko Sekarang
Model ruko telah populer sebagai inspirasi bagi pembangunan kota modern. Karakter campurannya, residen dan komersial membuatnya dapat beradaptasi dengan kota modern.
Keberadaan ruko dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan suatu kawasan. Kita lihat kawasan Kya-Kya, Kembung Jepun di Surabaya, Gang Lombok di Semarang dan Kawasan Ketandan, Yogyakarta yang perlahan bertransformasi, selain tetap menjadi kawasan komersial juga menjadi kawasan wisata makanan tradisional dan wisata pecinan (Kompas 25/01/2006). Tentu saja, tanpa keberadaan masyarakat yang tinggal di kawasan, rencana ini hanya akan bersifat reka-reka dan tanpa jiwa.
Lebih jauh, karakter komersialnya yang dapat dibangun di tepi jalan di atas lahan kecil, dan dapat ditingkat menjadikan ruko alat untuk mengembangkan suatu kawasan. Ruko telah memiliki peran penting dalam menciptakan kantung-kantung komersial di kota, tidak lagi terbatas pada permukiman atau kawasan Tiong Hoa. Sayangnya, ini kadang lebih mengutamakan pertimbangan untuk meminimalkan biaya konstruksi sehingga nilai estetika dan kenyamanan yang kita temui pada ruko-ruko tua lantas diabaikan. Banyak ruko yang dibangun dengan tingkat lebih dari dua, namun tidak lagi disertai dengan lubang udara ataupun halaman belakang terbuka sehingga tidak ada sirkulasi udara dan penerangan alami untuk lantai-lantai bawah.
Bagaimanapun, ruko telah dianggap bentuk arsitektur yang tepat untuk daerah komersial. Bentuk ini juga dapat mengikuti berkembangnya kegiatan ekonomi dan sosial dari waktu ke waktu dan di kota yang berbeda. Terbukti, kita bisa melihat bagaimana sampai sekarang banyak konstruksi direalisasikan dalam bentuk ruko. Tantangannya sekarang adalah menghasilkan bentukan yang nyaman untuk dimanfaatkan dan atraktif untuk menciptakan wajah kota yang menarik serta hidup.
(tulisan ini pernah dimuat di Kompas, tapi aku lupa tanggal muatnya)