Thursday, June 30, 2011

Shakespeare and Company


Toko buku ini muncul sekilas di film Woody Allen terbaru, Midnight in Paris (2011). Gil Penders saat itu digambarkan keluar dari toko ini.

Film ini bukan yang pertama menunjukkan toko Shakespeare and Company. Sebelumnya ia muncul pada film berjudul Before Sunset (2004) yang kelanjutan Before Sunrise (1995) dengan setting di Wina.

Shakespeare and Company terletak tidak jauh dari Sungai Seine dan seberang Katedral Notre Dame. Ciri khasnya adalah papan nama panjang, berwarna kuning dengan tulisan nama toko itu. Oya, ada potret Shakespeare juga. Konon buka sejak tahun 1919.

Saya ingat, di dalamnya ada semacam sumur, jauh lebih kecil daripada yang kita kenal di sini. Uniknya sumur itu penuh dengan koin. Ini seperti cerita tentang sumur permintaan. Saya sempat tergelitik untuk menyimpan beberapa koin di sumur itu.

Tidak jauh darinya adalah Quartier Latin. Banyak toko buku besar yang berdampingan dengan restoran, toko suvenir, dsb. Dibanding toko buku lainnya, saya suka tawarannya untuk melepas suasana formal. Ia tidak hanya toko buku, tetapi juga tempat berkumpul yang menyenangkan.

berbagi cerita..














Rasanya selalu ada bagian kota yang diberikan bagi siapa saja yang sekadar datang berkunjung. Di sini semua orang berbagi kenangan dan cerita yang sama. Dan bagi siapapun dan darimanapun, kenangan tersebut memang mudah untuk dimengerti dan dengan rela untuk dibagi bersama.
Misalnya cerita tentang gembok atau "love padlock". Biasanya dipajang di jembatan, seperti di Passerelle-Léopold-Sédar-Senghor di Paris yang menghubungkan dua sisi Sungai Seine di Jardin Tuileries. Kerumunan gembok ini tidak serimbun di Ponte Vecchio. Tapi, mereka berbagi cerita yang sama tentang harapan untuk cinta sepanjang masa.
Atau aktivitas lain diyakini bisa membawa keberuntungan atau setidaknya membawa kita kembali ke kota tersebut. Seperti berdiri di atas Point Zero di depan Katedral Notre Dame, Paris. Boleh percaya atau tidak, tapi begitulah kita bisa menikmati kota-kota itu....

Wednesday, June 29, 2011

Menjelajahi dunia dalam dua jam


Ada dua nama besar dapat ditemukan di plakat ini, yaitu Jacques CHIRAC dan Jean Nouvel. Yang pertama adalah presiden Perancis, sebelum diganti oleh Sarkozy sedang yang kedua adalah arsitek.
Keduanya sepakat untuk menghadirkan sebuah wahana yang dapat mengantar semua orang menjelajahi dunia dalam dua jam, yaitu Museum Quai Branly.

Monday, June 13, 2011

Menghidupi bangunan tua lebih lama..


Salah satu bangunan di Wina yang aku kunjungi adalah Gasometer. Tentang Gasometer ini, ceritanya pertama kali aku tahu saat Prof. Erich Lehnner presentasi di BI (eks DJB) Jogja sekitar dua tahun lalu. Ia dosen arsitektur di TU Wien, Austria.
Gasometer adalah tangki penyimpanan gas yang melayani Kota Wina. Jumlahnya ada empat dengan kapasitas sekitar 90.000 m3 atau yang terbesar di seluruh Eropa. Dibangun tahun 1896-1899 oleh perusahaan gas Gaswerk Simmering.
Lokasinya di Distrik 11, Simmering. Dari pusat kota, bisa menumpang subway nomer 3 jurusan Ottakring-Simmering.
Karena perubahan sumber gas, Gasometer tidak digunakan lagi sekitar tahun 1980an. Kemudian dimatikan, namun sebelumnya telah ditetapkan sebagai pusaka kota sekitar tahun 1978. Bentuknya yang besar, diselimuti oleh material batu-batu terawat dengan baik.
Sekitar tahun 1990an, Kota Wina memutuskan untuk menghidupkan kembali Gasometer. Bukan sebagai Gasometer, tetapi untuk fungsi lain seperti tempat tinggal, komersial dan perkantoran. Ada empat arsitek yang terpilih, yaitu Jean Nouvel (Gasometer A), Coop Himmelblau (Gasometer B), Manfred Wehdorn (Gasometer C) dan Wilhelm Holzbauer (Gasometer D).
Gasometer ini contoh bagaimana bangunan tua dan bersejarah sebenarnya memiliki alternatif perlakukan selain sekadar diawetkan. Contoh lain seperti Museum Orsay di Paris, yang sebelumnya adalah stasiun kereta api. Di Jakartapun kita punya contoh seperti Museum Fatahilah yang sebelumnya adalah Balai Kota.


Friday, June 10, 2011

Kota Ramah Anak

 
Siang ini aku diminta "Cah Irenk" untuk menjadi narasumber di Siaran Green Radio di RRI. Siaran ini merupakan kerjasama antara RRI Pro 2 dan Peta Hijau Yogyakarta tiap hari Jumat, pukul 10 siang.
"Temanya 'Tata Ruang yang Ramah Anak dan Lingkungan," katanya. 
Aku menawar. 
"Cukup yang ramah anak saja." Pikirku, dengan tema itu saja sudah banyak yang bisa dibahas.
Untuk Yogyakarta, konsep "Kota yang ramah anak" bukanlah baru. Tahun 2009 lalu, bersamaan dengan Hari Anak Nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan menetapkan Kota Yogyakarta dan 9 kota/kabupaten lain sebagai ramah anak. Salah satu indikator adalah adanya Taman Pintar, fasilitas kota di jalan Senopati yang ditujukan untuk tempat bermain sekaligus belajar bagi anak-anak.

Menurutku, kota yang ramah sesungguhnya konsep yang tidak hanyak fisikal tetapi juga perseptual. Keramahan tidak hanya dirasakan di satu tempat tertentu, tetapi juga dalam keseharian anak. Mulai ia keluar rumah dan aktivitas apapun yang dilakukannya. 
Selama di Wina, mbak Ririk banyak memotret berbagai ruang terbuka. Berbagai bentuk dan skala. Ruang terbuka kota, kawasan, permukiman. Ia simpulkan, tidak hanya ruang terbuka harus ada, tetapi aman dan perlu atraktif. Tentu saja untuk user-nya, baik anak-anak atau orang tua yang perlu tempat untuk mengasuh anaknya. Tidak bisa pelit soal perabotan lingkungan yang perlu ada untuk merangsang siapapun berkegiatan di ruang kota.

Tram

Pertama kali aku melihat tram adalah di Paris. Rutenya sepanjang jalan lingkar kota. Tram bersilangan dengan jalur RER dan sedikit metro yang membawa warga dari pusat ke arah luar kota. Selain Paris, juga tram di Strasbourg, Milan dan Napoli.

Tetapi tram yang berkesan adalah tram di Bordeaux. Alain Juppe, walikota tahun 1990-an, mengupayakan kehadiran tramway de Bordeaux yang merajang Kota Bordeaux sekaligus memberi akses terhadap pusat kota. Tanpa banyak kendaraan bermotor, bagian kota yang bersejarah tampak lebih ramah untuk pejalan kaki.

Di Indonesia, Belanda juga pernah menghadirkan tram antara lain di Jakarta dan Surabaya. Namun, transportasi ini kemudian kalah saing oleh kendaraan pribadi. Seperti juga tram di Hanoi yang dihapus karena dianggap tidak modern. Nyatanya, beberapa tahun kemudian, kota-kota ini berlomba-lomba untuk menghadirkan kembali tram atau alat transportasi sejenis.

Bulan lalu, aku kembali naik tram. Kali ini mencicipi jalur tram di Kota Wina, Austria. Rasanya masih sama. Dibanding masuk bawah tanah naik subway, tram jelas lebih menarik.