Friday, May 29, 2009

HANOI DAN PENCARIAN IDENTITAS KOTA

Sejarah panjang Hanoi telah memberi banyak warna bagi bentuk kotanya seperti tampak sekarang. Tulisan ini akan melihat bagaimana bentuk kota Hanoi dilihat sebagai rekaman dari periode-periode berbeda. Proses tersebut menjadi konteks yang menjelaskan bagaimana bentuk arsitektur sedang dicari, dimaknai, dibentuk kembali bahkan diduplikasi untuk memenuhi kebutuhan kota metropolis ini .


Dua tahun mendatang, tepatnya pada tahun 2010, Kota Hanoi akan berusia 1000 tahun. Tidak banyak kota dunia yang bisa bertahan hingga usia ini. Sebagai perbandingan, usia Bangkok sekitar 200 tahun dan Jakarta sekitar 500 tahun. Wajah kota ini dapat menggambarkan kompleksitas persoalan arsitektur dari berbagai lapisan masa dan terutama berbagai persoalan. Penduduk kota ini kurang lebih 4 juta orang dan angka migrasi penduduk semakin bertambah.
Seperti umumnya kota-kota di Asia, pembangunan kota di Hanoi merupakan sebuah proses yang berjalan dalam dua cara. Di satu sisi, perencanaan merupakan kebijakan yang disyaratkan untuk mendapat kualitas pemanfaatan ruang yang lebih baik. Di sisi lain, perencanaan belum benar-benar dapat memenuhi kebutuhan semua penduduk kota sehingga perencanaan dan implikasi pembangunan kemudian berjalan bersama dengan pembangunan spontan yang dilakukan oleh penduduk. Identitas kota akhirnya menjadi sebuah diskusi untuk menjadi berbeda dengan kota-kota lain di dunia pada satu sisi, sedangkan di sisi lain, masyarakat berusaha menciptakan identitas pada lingkup lingkungan yang mereka idealkan. Arsitekur di Hanoi berperan di dua sisi tersebut.

Berdirinya Hanoi
Sejarah Kota Hanoi dimulai ketika Kaisar Ly Tai Tho membuat sebuah pusat kerajaan baru di lokasi Hanoi yang sekarang. Lokasi ini tidak jauh dari Sungai Merah. Perpindahan ini menegaskan akhir dominasi Cina selama 1000-an tahun. Pengaruh Cina tampak pada struktur kota yang merujuk pada kosmologi Cina serta corak arsitektural pada bangunan istana, bangunan religius serta rumah-rumah penduduk. Kerajaan baru ini bernama Thang Long sebelum akhirnya berganti menjadi Ha Noi ketika ibukota pindah ke Hue di Vietnam bagian tengah.
Akhir abad ke-19 menendai dominasi pemerintah kolonial Prancis di wilayah Indoncina yang menandai pula awal berkembangnya Hanoi sebagai kota kolonial. Hanoi berperan pula sebagai ibukota Indocina dengan segala perlengkapan administratif seperti kantor pemerintah. Awalnya, banyak bangunan merupakan kopi dari arsitektur Eropa. Arsitek Prancis seperti Ernest Hebard kemudian mengembangkan langgam arsitektur yang disebut arsitektur indocina. Hebrard sebelumnya berkeliling wilayah Indocina dan mendokumentasikan arsitektur seperti Angkor Wat dan berbagai bangunan religius di Vietnam (Logan, 1990). Arsitektur Indocina menurutnya adalah penerapan corak arsitektur lokal yang dia temui pada karya yang harus dia buat untuk pemerintah kolonial, seperti Museum EFEO. Pendekatan yang digunakan oleh Hebrard banyak diikuti di dalam penyelesaian dekorasi arsitektur-arsitektur rumah tinggal pada masa tersebut.



Setelah lepas dari kolonisasi serta konflik regional lainnya sejak 1974, Vietnam di bawah Ho Chi Minh serta penerusnya menganut ideologi sosialis. Arsitektur pada periode ini ini banyak merujuk pada arsitektur yang berkembang di blok timur. Kota-kota dengan ideologi sosialis memiliki kecenderungan untuk mengekspresikan ideologi tersebut.
Dalam konteks tersebut, tidak aneh banyak ruang kota yang dibangun untuk menguatkan identitas ideologis. Yang paling jelas tentu saja dibangunnya sebuah mausoleum sekaligus monumen untuk Ho Chi Minh, bapak bangsa Vietnam. Mauseloum dibangun di atas Ba Dinh Square (dulu place Paul Bert) di mana orang-orang masih terus dapat melihatnya. Selain itu, bangunan ini menandai putusnya hubungan dengan identitas kota yang dibangun Prancis. Ruang terbuka lain seperti Lenin Park dilengkapi dengan patung Lenin. Sementara, bangunan rumah komunal menjadi lebih sederhana dan standar untuk dapat dibangun dengan cepat dan dapat mendistribusikan kesejahteraan. Monumen serta rumah susun menjadi lansekap yang menyusun wajah kota Hanoi pada waktu itu.


Hanoi Menuju Sebuah Model Metropolis Asia
Ketidakmampuan membiayai cita-cita sosialis mengantar Hanoi kepada sistem pembangunan yang berorientasi pasar. Ditandai dengan reformasi Vietnam “Doi Moi” tahun 1986 dan berakhirnya embargo Amerika Serikat tahun 1990, pemerintah Hanoi kini berbagi peran pembangunan kota dengan investasi domestik maupun internasional, hal yang tidak terjadi pada masa sebelumnya. Regulasi-regulasi dilihat kembali dan disesuaikan dengan situasi sekarang. Kembali ada usaha untuk memutus hubungan dengan kecenderungan arsitektur masa sebelumnya dengan mencap arsitektur yang monumental tidak memiliki cita rasa (Logan, 1990).
Wajah kota Hanoi telah berubah drastis. Jumlah luas rumah bertambah meskipun dalam bentuk apartemen. Transportasi publik lebih baik meskipun jumlah kepemilikan kendaraan juga terus bertambah. Perubahan regulasi tersebut mendorong pula perubahan struktur spasial Hanoi. Pengaruhnya dapat dilihat pada perubahan bentuk kawasan di pusat kota yaitu Kawasan Old Quarter, French Quarter dan sekitarnya. Bangunan-bangunan baru bermunculan, di antara rumah-rumah vernakular dan rumah vila, menjadi toko, hotel serta biro perjalanan. Kualitas visual yang dihasilkan oleh tipologi yang baru tidak serupa dengan yang lama dan menjadi sumber ketidakharmonisan visual lingkungan.



Dalam konteks tersebut, wacana pelestarian giat dibincangkan dan dicoba untuk diterapkan. Satu-dua orang dapat memanfaatkan bangunan tua yang mereka miliki dengan tetap memelihara otentisitasnya. Lebih banyak lagi telah berubah dan tampaknya terus bertambah. Hal pelestarian kemudian banyak ditekankan oleh arsitek setempat dikaitkan pada identitas kota. Menurut Doang Minh Koi dari Asosiasi Arsitek Vietnam (wawancara, 2007), Hanoi unik karena memiliki ciri ruang yang merupakan perpaduan antara lingkungan alam serta binaan. Karena itu, penting untuk dapat memelihara arsitektur Hanoi yang khas di dalam kecenderungan pertumbuhan kota sekarang.



Arsitek-arsitek Hanoi sendiri sesungguhnya melihat situasi saat ini sebagai peluang untuk berekspresi dan mengembangkan bentuk. Ada kesadaran terhadap persoalan perkotaan serta kondisi ekologis yang menjadi rujukan dalam berkarya. Bagaimanpun, ada kebutuhan menampilkan sesuatu yang berbeda untuk dapat eksis. Seorang arsitek muda bernama Hoang Thuc Hao contohnya mencoba mengeksplorasi pengetahuan tentang iklim saat menggarap bangunan pusat sains dan teknologi (Kien Truc 2006). Sementara, arsitek muda lainnya, Nguyen Toan Thang mencoba merumuskan sikap dalam berarsitektur dalam tiga hal, yaitu manusia, alam serta arsitektur lainnya (Kien Truc 2006). Relasi serta apresiasi dengan lingkungan tampaknya orientasi desain yang penting bagi arsitek-arsitek muda tersebut.
Di sisi lain, ekspansi kota juga telah mendorong perubahan pemanfaatan lahan-lahan di luar kota. Daerah perdesaan yang dibayangkan ideal dari segi ekologis banyak berubah menjadi kawasan pengembangan khusus seperti permukiman mewah atau khu do thi (KDT). Salah satunya adalah hasil rancangan kelompol Ciputra, yaitu KDT Thang Long. Kompleks ini terdiri dari beberapa menara apartemen serta beberapa kluster perumahan. Di masa depan, sebuah mal yang terdapat di kompleks perumahan ini dibayangkan menjadi mal terbesar di Hanoi. Jumlah khu do thi terus bertambah tanpa merujuk pada perencanaan kota. Geertman (2007) melihatnya sebagai episode pembangunan Hanoi dengan cara spontan. Meskipun demikian, banyak anggota pemerintah serta arsitek melihat khu do thi sebagai penanda kejayaan Hanoi.

Mencairnya Isu Identitas
Seiring dengan berkembangnya kota serta permasalahannya, identitas kota telah mencair dan menjadi plural. Isu mengenai identitas dibangun dengan cara berbeda dan dalam periode-periode yang berbeda. Tidak hanya dibangun dengan mengangkat dan memelihara apa yang Hanoi telah miliki selama ratusan tahun, tetapi juga dengan terus menciptakan arsitektur yang aktual.
Sekarang ini, kota-kota dunia nyaris mengalami persoalan yang sama, seperti pertambahan penduduk serta daya dukung lingkungan sementara di sisi lain, pertumbuhan ekonomi mendorong perkembangan kota ke dalam bentuk yang tidak terbayangkan. Ketegangan antara dua hal tersebut mendorong arsitektur terus berkembang dan menariknya pada sisi yang tidak selalu sejalan di dalam konteks kompleksitas kota. Hanoi sedang mencari cara untuk kembali kepada dirinya tanpa terjebak pada duplikasi dan pada sekaligus membentuk identitas dirinya di masa depan.