Showing posts with label kota sehari-hari. Show all posts
Showing posts with label kota sehari-hari. Show all posts

Tuesday, September 01, 2009

Gambar tanpa Identitas




Pagi ini menemukan album foto tua yang ditinggalkan Pak Wandi, ahli perencanaan di salah satu kantor. Saya rasa itu untuk saya karena beliau pernah cerita ingin meminjamkan foto-foto Kampung Baluwarti lama. Segera saya pindai tiap foto di dalam album. Satu yang menarik perhatian saya. Dibanding foto yang lain, yang satu ini menggunakan kertas doff. Di luar itu, saya yang tidak begitu paham Solo tentu saja tidak paham apa yang hendak diceritakan dalam foto itu.

Saya lempar foto itu ke laman fesbuk saya. Ini beberapa komentar orang tentang foto ini :

"menilik pelemnya "struggle karate" yg menurut penrawangan simbah google tyt produksi thn 1971, maka dapat diramalkan bahwasanya ini foto antara tahun 71-75an, atau mungkin 80'an ?
pelem negatif warna, kabarnya sudah ada di Indonesia sejak tahun 80'an. sedang pada foto yg digunakan ini, pelem BW yg populer pada tahun sebelum pelem negatif warna masuk, mungkin foto ini produksi 71-80'an ya ?"

"Di dekat bioskop ada museum"

"posternya tu dtulis pelemnya main tgl 13-15 april 72...ya ini poto taun itu lah... lokasinya di dkt pertigaan/perempatan jalan besar di deket museum...hayo dimana?"

"APR 72 --> bulan tahun ya ? kiran kode pelem hehehehehe gambar posternya keren, semacam rambo jadul gituh"

Dari luas gambar itu, yang paling cepat menarik perhatian ternyata poster film yang posisinya di atas. Judulnya menarik dan gambar di dalam poster sama menarik. Dan tentu yang penting, ada informasi tahun di situ yaitu tahun 1972 yang kami duga tahun diputar film ini.

Meski belum tahu benar lokasinya, sepakat bahwa tahun ambil foto ini adalah 1972.

Saturday, July 18, 2009

Coco Chanel

Coco Chanel. Hadir saat Perang Dunia I ketika tragedi pembunuhan seorang pangeran Sarajevo. Paris sedang susah karena Jerman sudah dekat. Ada jam malam dan si nyonya besi Eiffel yang gelap.

Ketika Hidup sedang susah, apa iya orang masih berpikir tentang fashion. Ternyata ya, intuisi Coco yang nama kecilnya Gabrielle Chanel mengatakan dengan keterbatasannya pun orang akan berusaha tampil cantik. Fashion dimurahkan tapi cocok dengan kebutuhan perempuan pekerja. Butiknya di Deauville menjadi perwujudan visinya bahwa perempuan berbaju untuk diri mereka sendiri dan bukan untuk laki-laki mereka.

Film ini menunjukkan bagaimana Peragaan busana diadakan di dalam rumah, dekat tangga. Pengunjung berkurumun membentuk huruf U di sekitar tangga. Peragawati melangkah turun sejak di lantai atasnya. Di situ Coco Chanel diam mengamati rekasi pengunjung....

Thursday, July 31, 2008

Daripada Pulang untuk Pergi Lagi

Arthur, konsultan senior DP Architects (DPA) kasi komentar kota Yogyakarta mekar seenaknya. Tidak efisien dan tidak kompak. Dia mempertanyakan kenapa tidak mulai membangun rumah tinggi, ketimbang jauh di mana-mana.

Saya tidak perlu berpikir panjang tentang pertanyaan Arthur. Sekarang saya alami. Presentasi tim DPA mulai 17 hingga 19. Sedang pk 19-21 ada mantenannya Nugie. Memilih pulang untuk berpantas-pantas bukan pilihan yang menarik. Jarak tempuh hingga jakal km 8, tepatnya dayu permai b6 kira2 30 menit. tepat saya tiba di rumah, gravitasi luar biasa di rumah bisa menghalangi untuk pergi lagi. akhirnya saya pilih untuk diam di bayonet. sambil berbuka puasa dengan nasi kotak "top java" dari presentasi tadi.

Wednesday, March 19, 2008

Kafe, Internet dan Kafe Internet

Luar biasa. Hampir semua kafe di Jogja dilengkapi dengan wifi. Sebelum wifi menjadi monopoli kafe, tiba-tiba kita dapat pula menemukan rumah makan yang dilengkapi dengan fasilitas internet tanpa kabel ini. Warung mi ayam di Pakuningratan (siang warung mi ayam - malam kafe), restoran sea food dan entah apa lagi. Kalau kita bicara internet sebagai kemewahan teknologis, untuk urusan ini tinggal di Jogja berarti kemewahan. Di luar persoalan provider internet lebih siap untuk diomel-omeli ketimbang memperbaiki kekurangannya, kemampuan untuk dapat mengakses internet menjadi seharga secangkir kopi yang bisa dibayarkan.

Gagasan bahwa kafe adalah tempat untuk ngopi-ngopi tampaknya perlu dimodifikasi. Kafe yang akan anda temukan di St. Germain de Pres atau di Bastille, Paris masih sampai sekarang adalah tempat ngopi-ngopi. Di sini, dengan membawa laptop, kafe bisa juga berarti tempat untuk bermain-main dengan internet. Bisa jadi bermain-main karena akses yang tak terbatas seharga kopi yang anda bayarkan tadi.

Yang saya tahu warung internet dipanggil juga kafe internet. Sekarang saya tahu bahwa kata kafe sendiri sudah jadi semacam imbuhan. Sama seperti ketika kita menyebut rumah makan dan rumah sakit....

Sunday, May 06, 2007

Membangun Kota Sendiri

Tapi apakah itu dunia kecil kita? Seperti apa kita menggambarkan dunia itu dengan kata2? Apakah model kosmologi Jawa, di mana kita mengimajinasikan dunia atas diri kita atas gunung dan laut. Atau kosmologi Cina (Feng Shui)? Tradisi mungkin membesarkan kita dengan pengetahuan2 yang menempatkan kita pada suatu bentang geografis. Kiri dan kanan dalam konteks kota modern yang dibangun secara rasional. Tapi utara, timur, selatan serta barat yang menempatkan kita pada bentang yang lebih spesifik. Yang lokal. Tapi keseharianlah yang sebenarnya menempatkan kita pada dunia. Geografi yang lebih manusiawi berdasarkan pengalaman keseharian. "Dari sana, terus sampai ke kios koran di kiri jalan, terus belok kiri. Jalan sekian meter ntar di kanan jalan." Detil2 yang hilang dari tuturan geografis itu dilengkapi dengan keseharian kita masing2. Hasilnya adalah sebuah peta yang lengkap dalam imajinasi kita. ....

But in the Postmodern age, architecture and the city will restore private life to its rightful place, in many different forms. For example: narrow streets that are fun to walk along all by yourself; pocket parks just the right size for a couple to squeeze into, hand in hand; a bench set under a single tree; space with the thrill of a maze; special places, restaurants, boutiques that suggest you are the only one who knows where they are; places that are so frightening and terrifying that you never dare to return; places that come alive at night; a little niche where you can lose yourself in your own thoughts. These are core images of private life. By incorporating spaces of private life into the city, and into its public spaces, they will become more interesting and more complex.
(Kisho Kurokawa, EACH ONE A HERO-The Philosophy of Symbiosis)


Narrow, fun dan lainnya adalah pilihan2 yang individual. Tentu saja, standar2 arsitektur dan urban boleh memberi angka2 yang pasti tapi memberi kesamaan dan akhirnya mengaburkan batas individual. Seperti ruang2an yang dihasilkan oleh resto, kafe yang fashionable, yang turistik. Kecenderungan mereka untuk menciptakan imaji2 sendiri, mendorong kita untuk mengonsumsi imaji2 tersebut. Ketimbang membangun dan memikirkan sendiri, kita tunduk pada simbol dan maka detil2 tingkah yang menjadi bagian dari bangunan imaji tersebut. Trendy, fashionable, cs.

Bagaimanapun, kata2 sifat itu yang membuat kita dapat berkuasa atas dunia kecil kita (atas dunia yang luas ini). Kecenderungan setiap orang untuk secara nyata menyatakan "kekuasaannya". Maka tidak akan habisnya kota menjadi medan tanda2 ini.

Saturday, May 05, 2007

Mengisi Kota, Merangkai Makna

Heidegger, misalnya, beranggapan bahwa pengetahuan filosofis tentang "Ada" sudah terselip dalam keseharian. Oleh karena itu, alih-alih berfokus pada "Ada" yang abstrak, filsafat diminta berhening di depan samudra keseharian. Para filsuf dituntut Heidegger agar berlaku layaknya mistikus keseharian.
Donny Gahral Adian

Apa yang kita harapkan kita lihat dari jendela rumah kita? Di luar dari dunia kecil yang mewakili memori kita, yang mengawinkan dunia nyata dengan abstrak, di luar sana adalah dunia yang tidak tertata. Dunia di mana ide yang tidak sama mengadu kekuatan untuk dispasialkan. Di sini kita membawa dunia kecil kita ke luar rumah kita. Dengan itu, meskipun secara fisik kita meninggalkan rumah, secara ruang kita selalu menempatkan dapat menempatkan diri dalam dunia yang lebih besar tanpa batas yang jelas.

Kota adalah sebuah instrumen untuk mengendalikan teritori. Pengetahuan tentang itu dibangun dalam periode2 berbeda, seperti kue lapis atau bawang bombay, kota berlapis2 mewakili periode2 yang berbeda. Tapi, apakah melihat kota seperti mengiris bawang dalam lapisan2nya? Mengupas bawangpun dengan gaya, satu2 dalam gagasan yang kelihatannya sambil lalu tapi terumuskan secara tetap. Memotong menjadi dua, lalu dua lagi. Membiarkan sisi yang rata merapat pada telenan, lalu memotong dari sisi yang paling pipih secara teratur tiap sekian mili. Alih2 secara periode, kota sebenarnya dibangun menurut suatu intensi. Siapa yang peduli atau boleh, darinya intensi atas kota terspasialisasi.

Tapi kalau tidak hati2, gagasan ini bisa mudah usang. Siapa bilang intensi individual boleh merumuskan (sekaligus mengendalikan) bentuk kota. Kesepakatannya adalah bagaimana mendorong dunia2 kecil bisa menemukan tempatnya di dunia yang besar. Karena itu, daripada mencari sesuatu yang abstrak untuk mewakili yang umum, keseharian kemudian dipahami dan dicarikan bentuknya. Bukan berarti menyerahkan keseharian untuk merayakan dan menyatakan dirinya. Secara haluspun, dunia2 kecil akan saling bersinggungan dan membentuk kesepakatan2 spasial-sosial.

Sumber Teks:
Donny Gahral Adian, Filsafat Tanpa Kedaulatan Semantik, http://kompas.com/ (Senin, 30 April 2007)


Saturday, April 21, 2007

Pesan atas Pesan....


Kota2 besar Asia, Eropa Amerika serta di manapun kelihatannya persoalannya banyak miripnya. Minggu ini aku membaca satu artikel yang Rani kirimkan ke milis2 Arsitektur.Judulnya :

Billboard ban in São Paulo angers advertisers:
New 'clean city' law angers advertisers
By Larry Rohter
Published: December 12, 2006

http://www.iht. com/articles/ 2006/12/12/ news/brazil. php

Pemerintah Sao Paulo, Brasil berniat menerapkan larangan pemasangan papan iklan (termasuk neon, dsb) di kota. Niatnya supaya kota bisa dibersihkan dari polusi visual ini. Dua barisan yang satu pro dan lainnya kontra kemudian saling berhadapan merespon larangan ini. Yang pro melihat kesempatan untuk mewujudkan lansekap kota yang ideal sedang yang kontra merujuk pada masyarakat yang konsumtif, masyarakat mobil yang butuh hiburan serta masyarakat pekerja periklanan yang butuh proyek. Masyarakat umum, menurut artikel ini, sepakat dengan larang ini.

Persoalan iklan di kota ini bukan hanya soal bagi Sao Paulo. Kota yang mengklaim telah menjadi ideal seperti Paris juga mengalami soal ini. Barisan "anti-pub" kerap membuat aksi coret2 pada iklan2 di stasiun metro. Iklan memang menghasilkan uang besar. Untuk membuatnya lebih terkontrol, biasanya kemudian dibuatkan papan2 iklan dengan model2 macam2. Ditaruh di trotoar, di stasiun metro. Tapi ada juga yang terang2an merusak pemandangan seperti iklan LV di gambar atas. Atau di bioskop Rex di samping ini.

Di negara kita, semakin ke sini kelihatannya cara2 untuk membuatkan iklan ini tempat yang lebih layak semakin digalakkan. Setelah langit2 Jogja dipenuhi iklan2 berbentuk gerbang, muncul pula yang berbentuk video.


Mungkin tidak ada yang salah dengan iklan2 itu atau tempatnya. Tapi masyarakat yang sekarang memang sudah berubah. Disain kota yang kita yakini secara tekstual, arsitektur bagus yang dicita2kan sejak Vitruvius sudah harus menemukan rasionalitasnya lagi. Mungkin tidak perlu arsitektur bagus, tapi apapun yang secara visual bagus. Dan tidak hanya cukup bagus, tapi pesan yang mudah dipahami. Arsitektur, terlalu banyak kode yang harus dipecahkan untuk memahami pesannya. Garis, bentuk. Apa semua orang harus jadi arsitek untuk bisa mengapresasi arsitektur? Bandingkan dengan iklan di samping, "pria punya selera" dengan gambar2 laki2 bergaya. Baigan bawah bangunan, kolom2 arked diberi warna merah menyala untuk memperkuat pesan merah si djarum merah (atau rokok apa? tolong dibantu). Hasilnya? Yes. Itu iklan rokok to....


Tuesday, March 27, 2007

Teman dua minggu...


Waktu kecil (kira2 20 tahun lalu), pertemuan dan perpisahan adalah pasangan yang paling kerap bersamaku.


Karena orang tua bekerja berpindah-pindah, aku jadi harus sering gonta-ganti sekolah. SD aku lewati di tiga sekolah di kota yang berbeda dan SMP di dua kota yang
berbeda. Baru ketika SMA di Jogja, hingga kuliah benar-benar bisa tetap di satu kota.
Di Jogja, orang dan pergi tidak begitu aku rasakan. Mungkin karena sentimen keakrabannya tipis. Tapi, semakin menua dan
membesar, ternyata penguasaan kita atas satu teritori juga semakin besar. Kalau hanya pindah dari Jogja ke Jakarta, itu masih sama2 di Indonesia juga. Ke Jakarta bukan sesuatu yang tidak mungkin, naik kereta atau pesawat.









Van Mieu Pho Hien












Chua
Pho Hien













Nha Tho Hung Yen



Lama kemudian, perpisahan yang bisa membekas lagi muncul pada perpisahan dengan Paris dan orang2nya. Di mulai dengan perginya seorang teman dari Belanda yang harus magang di Jerman. Beberapa saat kemudian aku juga pergi dan berkata 'selamat tinggal' pada Paris. Batas geografis terasa benar. Paris bukan Jakarta, bukan tempat yang
aku bisa datangi semau dan sebisaku. Ingatan peristiwa yang pernah terjadi di Paris masih saja lengket di kota itu. Foto2 yang aku ambil selama di Eropa masih bisa buat secara emosional aku melayang2kan ingatan ke masa lalu. Tetap tempat yang sama, tetap waktu yang sama.

Minggu besok, seorang teman, Tuan akan pergi ke Prancis. Aku kenal Tuan, juga Hien, Luyen dan ketika ke perpus AFU di Hanoi University of Architecture. Tan yang mengenalkan aku dengan mereka. Kejadiannya dua minggu lalu. Senin itu aku niat untuk ambil fotokopian di AFU. Dengan Tuan ini aku pergi ke Pho Hien sabtu lalu (tiga foto di atas: Chua, Nha Tho dan Van Mieu di Pho Hien) untuk "bikin magang" (istilahnya Budi, hehe) di Toulouse. Karena aku juga akan pulang ke Indo tiga bulan mendatang, kami tidak akan sempat bertemu lagi. Ada perpisahan lagi. Dia pergi, aku akan pergi, dan kami tidak akan bertemu untuk seterusnya.

Apa perpisahan benar ada? Teritori seperti sebuah karton yang datar, kota satu dan lainnya adalah sebaran titik di bentangan karton tersebut. Mobilitas seseorang adalah tarikan garis antar satu titik. Jadi kita tidak ke mana2, masih di karton itu juga to. Lalu apa arti perpisahan? Persoalan jarak? Ketika dua titik tidak bisa dibuat lebih dekat. Mungkin ya....

Wednesday, March 21, 2007

Saya Suka Indonesia....

Hari ini aku bertemu dengan seorang Prancis yang enam bulan lalu ada tinggal di Jakarta. Kerja untuk Bank Dunia. Sekarang dia bekerja untuk Kedutaan Prancis di Hanoi, sudah tinggal empat bulan dan masih akan terus berjalan. Rindunya untuk bicara bahasa membuatnya mengirimku SMS untuk bisa bertemu. Jadilah, kami janjian makan siang di resto "Little Hanoi" di Ta Hien no.9, Old Quarter. "Makanan di sini semua enak," katanya. Dan Ta Hien ini termasuk jalan yang populer untuk turis. Satu pojokan terkenal dengan nama Bia Hoi Corner. Satu gelas cukup bayar 2 000 VND.

Ini pertama aku bertemu dengan seorang "pengagum Jakarta". Yes. Meski hanya tinggal selama tiga bulan, apa yang dialami kelihatannya membekas dalam dan membuatnya menempatkan Jakarta di peringkat pertama kota2 yang nyaman ditinggali. Alasannya? Pertama tentu saja, orang2 Jakarta, secara umum Indonesia, ramah2. Mereka akan senang bisa berkomunikasi dengan orang asing. Dan makin senang kalo si orang asing tadi bisa bercakap bahasa. "Aduh, sudah bisa bahasa Indonesia. Sudah bisa bahasa Jawa belum," katanya mengulang ucapan lawan bicaranya sambil terkekeh. Ini yang kedua, bahwa bahasa Indonesia tidak sulit untuk dipelajari, meski untuk bisa membaca dan menulis merupakan soal yang lain lagi. Tapi dibanding bahasa Vietnam yang ampun (dan aku setuju), sulitnya minta ampun, bahasa tentu saja jadi menyenangkan. Ini membuatnya makin menyenangi Jakarta. Tidak sulit untuk bisa berkomunikasi dengan orang2.

Dan yang ketiga, Jakarta itu jujur. Hm. Kota yang jujur, konsep macam apa ini....

Clem -panjangnya Clemence- lahir dan besar di Paris. Menurutnya (dalam versi panjang lebar, tapi aku lupa), kota yang cantik ini sebenarnya hanya "fasad" yang terus dibesarkan dan didorong untuk semakin cantik. Tujuannya supaya bisa semakin unggul dibanding kota2 yang lain. Bukan sesuatu yang dibuat untuk benar2 suatu kebutuhan. Turis ada di mana2 di Paris. Dan supaya semakin banyak turis yang datang, semakin saja kota Paris dipermak untuk tampak semakin cantik. Fasad. Apa yang tampak tidak menggambarkan apa yang ada. Seperti apa kehidupan di balik "fasad" tidak ada yang tahu. Atau justru tidak ada kehidupan?

Sedang Jakarta, well, kota ini dibuat apa adanya. Dengan semua kekurangannya dan kelebihannya, bagaimanapun, kota ini tidak memiliki pretensi untuk terlihat cantik. Karena tidak cantik, tidak ada turis yang datang. Dan Clem senang melihat tidak banyak turis seliweran di Jakarta.

KOMENTAR? Hehe. Boleh tidak setuju dengan apa kata Clem. Menurutnya Jakarta sangat luar biasa. Tapi pasti di antara kita banyak yang lebih suka kalau Jakarta juga bisa berdandan hingga seperti Paris. Dan kalau turis juga suka datang ke Jakarta -bukan cuma transit semalam- pasti juga ada pekerjaan2 baru bermunculan. Jalan Jaksa akan ramai lagi. Jakarta Tua semanis Le Marais. Jakartapun sebenarnya tidak benar juga dibilang tidak berdandan. Waaah. Patung2 baru ada di mana2 dan lampu di sepanjang Thamrin-Sudirman. Ada Busway TransJakarta. Mal bertebaran. Apa Jakarta memang apa adanya?

Memotret atau "Memotret"

Pertanyaan sederhana, "apakah memotret untuk satu kepentingan dapat digantikan dengan memotret untuk kesenangan?"

Jadi begini. Bila saat aku mencamtumkan dalam proposal riset begini, "Pengumpulan data akan dilakukan dengan cara observasi dan blabla.... Observasi akan meliputi pengamatan terhadap suatu kawasan. Alat yang digunakan selain buku catatan adalah kamera.... Analisa terhadap setting kegiatan di kawasan tersebut akan menggunakan interpretasi terhadap foto2 yang telah diambil...." Dengan demikian, memotret menjadi bagian yang integral dengan kegiatan penelitian. Memotret dan hasil potretan bolehlah terhitung kegiatan ilmiah dan barang ilmiah (hehe, apapun istilahnya).

Tapi bagaimana bila kita memotret tapi tidak dengan sengaja sebagai bagian dari riset. Mungkin dilakukan jauh sebelum riset, ketika sedang jalan-jalan atau sedang berwisata. Atau dilakukan ketika riset tapi "di luar" aktivitas riset. Singkatnya, kita punya koleksi sejumlah foto ini dan itu yang secara garis besar satu adalah foto riset dan lainnya foto jalan-jalan. Ambil contoh, aku sekarang riset tentang Hanoi. Tapi aku jalan-jalan ke Hoi An, Hue, Perfumes Pagoda, dsb.

Lalu, suatu saat ketika kita mulai melakukan kegiatan analisa, mengurutkan foto, membuat daftar foto dan tersadar bahwa foto bukan riset ternyata bisa digunakan juga untuk bagian analisa atau juga foto pendukung. Aku mau bilang, Citadel di Hanoi adalah sama dengan Citadel2 lain di Vietnam, misalnya di Hue. Ups, apa foto yang aku buat di Hue lalu boleh valid dan aku masukkan di dalam laporan? Sedangkan ga ada niat untuk foto2 di Hue untuk jadi bagian laporan penelitian.

Hiks. Gimana ini?

Kota kebetulan

Apakah kota pernah dirancang untuk beroperasinya kebetulan-kebetulan?

Cerita ini tidak mewakili soal kebetulan sebagai sebuah hasil dari disain besar. Tapi membuatku terus berpikir tentang kebetulan sebagai sebenarnya sebuah hasil yang menentangkan makna "kebetulan" itu. Kemarin ketika aku ke Hanoi University of Architecture, kebetulan bertemu seorang teman yang sebenarnya punya kelas bahasa Prancis. Ternyata kelas batal karena satu dan lain hal (frase yang jadul banget). Kami kemudian ke kafe sebelah bareng pula dengan teman2 kursus dia yang lain. Ada tiga orang lain, yang semuanya peserta program DPEA "Patrimoine, Projet Urbaine et Ville Durable". Dan kebetulan, mereka sedang mengerjakan mémoire2 seperti studi tentang Pasar Dong Xuan di Old Quarter. Kami kebetulan berdiskusi panjang lebar ini itu sejak referensi atau juga pengalaman lapangan, metode dan persoalan. Akhir cerita, aku akan diajak untuk melihat2 site2 yang jadi bahan mémoire mereka. Jadilah ini kebetulan yang menyenangkan....

Tuesday, February 27, 2007

Kemarin, Sekarang dan Besok di Sini

Bagaimana sebenarnya "adaptive reuse" bekerja? Dalam perbincangan soal konservasi, "adaptive reuse" berarti memanfaatkan suatu bangunan lama dengan fungsi yang baru. Dengan kerangka berpikir ini, "adaptive reuse" dioperasikan dengan memodifikasikan seperlunya suatu bangunan sehingga fungsi yang baru dapat bekerja di bangunan tersebut.

Menuruti ketertarikan itu, dua hari lalu aku meniatkan untuk bersantap siang di sebuah restoran-bar-cafe (singkat resto) di jalan Ma May. Resto berjudul "69" -karena terletak di nomer 69 -ini dulunya sebuah rumah tradisional model ruko Cina. Kemudian direnovasi sekitar paruh kedua tahun 1990-an dan dimanfaatkan sebagai restoran. Informasi tentang resto ini aku dapat dari penjaga tamu di 87 Ma May, rumah tradisional yang direnovasi dalam kerangka yang sama. Bedanya, rumah ini sekarang dimanfaatkan sebagai museum serta ruang pamer kerajinan Vietnam.

Dari luar secara arsitektural, fasadnya menunjukkan tanda-tanda ruko Cina. Terdiri dari dua lantai, fasad lantai pertama berupa bilah-bilah papan yang dapat dibuka sepenuhnya dengan mencopoti semua bilah papan tersebut. Sedang lantai kedua, balkon yang tertutup rapat dengan dua jendela yang secara simetris berjejer. Adanya papan nama, buku menu serta dekorasi yang tidak umum seperti lampionlah yang menunjukkan kalau ini adalah sebuah restoran.

Melangkahkan kaki ke bagian teras, lebarnya sekitar 2 meter, atmosfer kafe mulai terasa. Tampak dari teras ini, bagian dalam terdiri dari bangku-bangku rapi serta meja bar di sisi kanan dengan rak bersisi berbagai jenis botol minuman beralkohol. Ruang ini disekat, dibatasi dengan tembok terbuat dari bata ekspos dengan ruang lain yang berfungsi juga sebagai ruang makan. Di bagian belakangnya lagi terlihat bagian dapurnya.

Lantai kedua dicapai dengan menggunakan tangga yang kelihatannya terletak di bagian yang dulunya adalah court yard. Sejauh mata memandang, termasuk bagian balkon, bagian ini seluruhnya adalah satu set meja makan. Di bagian belakang terlihat ada bekas void yang sudah ditutupi sejenis plastik. Rupanya di bawahnyalah terletak dapur.

Menggambarkan struktur resto ini jelaslah bahwa gagasan tentang ruko tradisional sudah tampak tiidak relevan untuk menjelaskan struktur resto ini. Deskripsi ruko tentang bagaimana courtyard berfungsi, penataan spasial serta manusia berkegiatan tidak akan menjelaskan resto ini.
Yang tinggal adalah fasad serta konstruksi kayu yang menjelaskan keberadaan mereka sendiri. Kelihatannya, bangunan ini harus dijelaskan dalam term restoran, ada bagian penyambut, meja bar, bagian meja makan, dapur serta kamar kecil.

Jadi, bagaimana "adaptive reuse" bekerja? Pertama, dia harus memutus hubungan dengan masa lalu demi mendapat manfaat yang sebesarnya dari hal yang diproyeksikan saat ini. Suatu bangunan tidak lagi memiliki kenangan secara utuh, secara arsitektural, yang bisa diceritakan dari dinding, lantai dan atap serta tatanan ruang yang dihasilkannya. Dengan ini, konstruksi tersebut lebih memiliki kaitan dengan pemanfaatannya di masa depan. Hasil-hasil yang diharapkan dengan rekonstruksi yang sekarang dikerjakan. Kedua, dia harus berani untuk mengadopsi cara produksi yang baru. Dalam konteks ekonomi, misalnya, ada indikator-indikator ekonomi yang harus diperhitungkan. Lalu, ada persoalan ruang baru karena kode-kode yang harus disampaikan baru sehingga dapat diartikan para pengguna dengan tepat sehingga tidak terjadi salah kaprah. Apakah benda ini termasuk pajangan, apakah ruang itu untuk dimanfaatkan untuk ruang makan juga. Dan terakhir, bagaimana lingkungan dapat memberi dukungan pada model proyek terebut. Secara sosial, proyeksi pekerjaan ini adalah dampak yang dihasilkannya menanggapi lingkungan yang secara dinamis berubah. Tafsir yang tidak lengkap terhadap lingkungan -sering dengan alasan mempertahankan kenangan atas bangunan tersebut- akhirnya membuat bangunan tersebut tertinggal di masa lalu atau terseret-seret dalam tebaran makna sekarang.



Thursday, February 22, 2007

Mudik juga ada di sini


Seperti fenomena mudik di Indonesia, Tet adalah waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Distribusi pembangunan yang belum rata telah mendorong tingginya mobilitas penduduk suatu daerah ke pusat-pusat pertumbuhan seperti Hanoi. Ini dilakukan baik untuk alasan ekonomi ataupun pendidikan. Urbanisasi sekarang terjadi, dibanding periode sebelumnya ketika orang justru didorong untuk ke desa untuk menggarap sawah di desa. Disurbanisasi.

Kehidupan antara kota yang moden, serta kehidupan asal yang tradisional mewarnai kehidupan orang vietnam. Tet adalah waktunya mengisi "batre". Mengangkat harapan, doa untuk tahun baru yang telah datang. Rasionalitas tinggal di kota terpadu dengan ritual-ritual yang masih menjadi tradisi.

Malam Tet, orang2 datang ke pagoda atau kuil untuk beribadah. Ibadah ini dilakukan sampai beberapa hari kemudian. Beberapa kuil besar di luar Hanoi juga menjadi sasaran para peziarah seperti Perfumes Pagoda, kira2 tiga jam dari Hanoi. Festival besar2an ada di Perfumes Pagoda, katanya yang paling besar di negri ini. Festival jangan dibayangkan ada tarian, senandung, ritual tertentu. Festival di sini menggambarkan keramaian ketika sekian banyak orang secara bersamaan datang untuk berdoa di Pagoda ini.

Dua jam jalan darat serta satu jam dengan sampan, panorama lansekap natural kawasan ini benar cantik. Perjalanan sungai dikelilingi oleh bukit-bukit batu tinggi yang berjejer silih berganti. Kabut tinggi memberi kesan misterius ada apa di balik batu-batuan tersebut. Dalam perjalanan, berpapasan dengan sampan yang lain atau sedikit bersenggolan dengan sampan yang lain kerap terjadi. Sungai yang lebarnya kira 20an meter jadi terlihat sempit karena banyaknya sampan yang beroperasi. Btw, karena aku ikut rombongan tur, sampan yang aku tumpangi jadi sedikit spesial, setidaknya bagi yang lain. Selalu saja ada yang menyapa "hello", "where are come from", hehe....

Begitu mendarat di pelabuhan, suasana ramai sudah terasa. Sepanjang jalan setapak menuju Pagoda, restoran yang berjejer dipenuhi oleh orang-orang yang sedang makan. Anjing, babi, serta ayam yang separuh matang dipajang utuh dengan cara digantungkan di depan resto. Anjing paling menaruh perhatian setidaknya untuk anggota turku. Tidak pernah terbayangkan memajang anjing dalam kondisi seperti itu.

Sayangnya, ramai sekali suasana di Pagoda sehingga aku tidak bisa menikmati.
Mungkin harus ke sini lagi kalau sudah lewat waktunya festival...:)

"Chúc mừng năm mới"


"Chúc mừng năm mới"
Artinya, Selamat Tahun Baru. Happy New Year. Bonne Année....

Ya, tanggal 17 Februari lalu adalah 01 Januari menurut versi kalender Vietnam.

Tahun Baru Vietnam atau "Tet" mengadopsi sistem kalender bulan. Karena banyak hal di Vietnam terlibat dengan sistem dunia, otomatis ada dua Tahun Baru yang harus dilewati oleh orang-orang Vietnam. Tahun Baru "Western" -menurut orang Vietnam- dan Tahun Baru Tet. Bagaimana dua sistem ini berjalan secara paralel dalam kehidupan orang setempat, ini PR yang moga2 dapat terjawab sebelum aku pulang nanti.

Tapi yang boleh terlihat antara lain soal hari libur. Sebagai negara berdaulat, Vietnam tentu saja mengatur waktunya menurut kepentingan sendiri. Libur Tahun Baru "Western" hanya satu hari, sedangkan "Tet" adalah empat hari. Tentu saja, karena di Indonesia tahun baru bukanlah soal penting, maka soal libur ini mungkin juga jadi tidak penting.

Tapi "Tet" bukan cuma tahun baru. Dalam "Tet" ada tradisi-tradisi yang dirayakan. Orang2 akan mudik, akan pergi ke pagoda dan akan menghadapi hidangan bersama keluarga serta saling berkunjung kepada kenalan. "Tet" benar-benar waktu untuk menjadi baru, baik secara lahir serta batin, dalam waktu dan tempat.









Menunggu 00:00










Skyflowers di pukul OO:OO




Saturday, February 10, 2007

Sampaikah salamku untuk dia...

Hari-hari mendekati Tahun Baru Tet. Seperti tahun baru Cina, tahun Baru Tet mengikuti sistem perhitungan hari menurut kalender bulan. Tahun ini, tahun Baru Tet akan bertepatan dengan tanggal 17 Februari Masehi.

Hari ini, tujuh hari menjelang tahun baru Tet adalah hari spesial. Menurut Lonely Planet, karena Tao Quan -a man- kata resepsionis apartemenku- akan naik ke surga untuk melaporkan hal-hal yang terjadi sepanjang tahun ini kepada the Jade Emperor. Tao Quan akan mengendarai ikan, sehingga hari ini orang-orang membeli ikan dan melepaskannya ke Red River atau danau-danau di Hanoi. Selain itu, hari ini orang-orang berkumpul serta makan bersama.

Menjelang tahun baru Tet ini, pertanyaan berulang yang aku terima adalah "Apakah kamu juga punya perayaan seperti ini?". Pertanyaan ini pertama kali datang dari bule Australia pemilik toko buku "Bookworm' di Ngo Van So. Dengan mantap aku bilang, "tidak ada". Kami hanya punya Tahun Baru yang cukup dirayakan dengan nonton TV atau berhitung. "Oh, aku pikir karena kalian punya kebudayaan yang berbeda kalian punya tahun baru yang berbeda pula...."

Pertanyaan itu makin kerap muncul, sehingga aku jawab saja, "tidak ada perayaan yang khusus di mana orang-orang harus mudik. Tapi ada Hari Raya Lebaran yang dirayakan dengan mudik dan libur selama kurang lebih sepekan. Tidak semua merayakan, tapi hampir semua menikmati liburnya." Lantas aku sadar. Kalau ada yang kurang untuk bisa diceritakan, itu adalah "sesuatu yang dirayakan". Kenapa di Indonesia tidak ada "sesuatu yang dirayakan" alasannya mungkin supaya tidak kelihatan kalau senang berpesta, maka tidak perlu ada banyak perayaan2 yang khusus. Tapi dengan alasan ini pula, ada daerah2 tertentu yang menjadi unik. Mereka tampak berbeda karena memelihara perayaan masing2. Ya, jawabannya mungkin tidak bisa pendek. Indonesia adalah negara kepulauan, terdiri dari banyak suku dan masing2 suku punya tradisi perayaannya sendiri....

Di Hanoi, tidak banyak orang yang beragama Kristen. Tapi menjelang Natal kemarin, seolah Hanoi akan merayakan Natal. Boneka Santa Klaus, lampu-lampu yang digantung di pohon, tulisan-tulisan "Selamat Natal". Dan ketika harinya tiba, semua orang merayakan dengan keluar ke jalan keliling kota. Hoan Kiem Lake jadi sasaran dipenuhi dengan orang-orang tua muda, termasuk turis-turis seperti aku yang bengong dengan bagaimana Natal dirayakan.

Ada yang perlu dirayakan untuk dapat menikmati kota yang sedang kita tinggali....

In the Mood for Love


"Chungking Express" (1994) adalah film pertama Wong Kar Wai yang aku tonton. Kalau tidak salah, aku kebetulan sedang ganti-ganti channel tv, dulu hanya ada RCTI, SCTV, TPI dan TVRI, sampai menemukan film itu sedang diputar RCTI. Film yang aneh. Antar adegan seperti tidak runtut, miskin dialog, dan kaya gambar, maksudnya seperti melebih-lebihkan suatu obyek dan mengontraskan terang gelap. Aku masih ingat, Tony Leung jadi seorang polisi yang senang memainkan pesawat-pesawatankecil.

Film kedua yang aku tonton adalah "Fallen Angels", film yang kesannya serba gelap, tentang seorang pembunuh. Lalu "Ashes of Times", film silat yang ancur luar biasa. Lalu "2046" yang aku tonton di Paris dua tahun lalu. Olivier, suaminya Rozenn, yang cerita kalau film ini bagus, termasuk soundtracknya yang banyak ambil lagu-lagu Amerika Latin. Film "The Hand", satu dari tiga film pendek dalam "Eros" aku tonton akhir 2005. Dan terakhir "In the Mood for Love" (2000) yang DVD bajakannya baru aku beli tadi siang di sebuah toko di jalan Hang Bac.

"In the Mood for Love", film ini bisa dibilang seri sebelumnya "2046", yang cerita bagaimana Mr. Chan dan Mrs. Chow bertemu. Masing-masing telah menikah, tapi adalah mereka berdua adalah karakter yang sendiri karena Mrs. Chan yang kerap kerja sampai larut dan Mr. Chow yang sering bertugas ke luar negri. Berawal dari "cerita tentang dasi dan tas", akhirnya mereka memutuskan untuk kerap bertemu dan berhubungan. Akhir cerita ditetapkan dengan perginya Mr. Chan ke Singapura untuk tetap bisa bilang "we wouldn't be like them....". Lingkungan memang telah menciptakan sistem yang membuat kode2 untuk dapat mengalihkan perasaan, seperti telepon, makan malam dan payung. Mungkinkah itu cukup....

He remembers those vanished years.
As though looking through a dusty window pane,
the past is something he could see, but not touch.
And everything he sees is blurred and indistinct.


---
Sepanjang jalan Hang Bac ini ada sekitar tiga toko yang menjual produk-produk gagal (gagal asli karena memang bajakan) seperti VCD atau CD musik dan DVD film. Harga per satuannya antara 15000 - 16000 VND atau 1 USD.

Friday, January 26, 2007

Kereta Jam 9

Area di mana apartemenku berada dekat sekali dengan rel kereta api. Tidak langsung berhadapan. Bagian belakang bangunan-bangunan yang berada di depan apartemenku yang langsung menghadap ke rel kereta api. Pertama kali aku sadar bertetangga dengan rel kereta api ketika aku harus bertemu dengan Normand di kantor UNESCO Hanoi di jalan Cao Bào Quàt, tidak jauh dari Park Lenin. Karena aku lihat di peta, jalan itu tidak jauh dari apartemenku, jadilah aku memutuskan untuk ke sana dengan jalan kaki. Sekaligus melihat salah satu Patung Lenin yang masih tersisa di dunia. Saat itulah aku menemukan rel kereta itu, terbentang melintasi jalan Dien Bien Phu. Semakin sadar ketika aku mulai menyimak bahwa setiap jam-jam tertentu, seperti jam 6 atau jam 9 malam selalu ada bunyi panjang yang sama, bunyi klakson kereta api, "teeet...teeet...".

Rel kereta api di tengah kota memang bukan hal biasa. Stasiun kereta pertama biasanya dibangun bersamaan dengan tumbuhnya kota modern, berfungsi untuk menata teritori suatu wilayah dengan kota tersebut sebagai pusatnya. Maka, lumrahlah kalau stasiun kereta berada di tengah kota. Di Yogyakarta ada Stasiun Tugu, di Jakarta ada Stasiun Jakarta Kota sedang di Hanoi ada Ga Ha Noi (Stasiun Hanoi). Seiring semakin besarnya kota, rel kereta yang tumbuh keluar kota menjadi semakin pendek karena kota yang semakin mekar.

Yang aku perhatikan adalah kehidupan di sekitar rel kereta tersebut. Kalau di Indonesia, karena akuisisi lahan di sekitar rel yang milik PT K.A. adalah "ilegal" dan "informal" maka yang muncul adalah kehidupan yang terpaksa. Yang tumbuh kemudian adalah bangunan-bangunan temporer terbuat dari papan, dari seng atau material apapun yang seadanya tanpa takut akan rugi bila suatu hari terpaksa pergi. Sementara kehidupan di sekitar rel di Hanoi berkesan formal. Rapi, bersih dan permanen. Rumah berlantai satu atau dua dengan akses masuk dekat dengan rel kereta (maksudnya bukan pintu belakang yang dekat dengan rel). Kemudian aktivitas menjemur, memasak nasi ataupun kegiatan produksi biasa pula di lakukan di ruang antara rel serta muka rumah. Ruang tersebut selain menjadi jalan pintas bagi pejalan kaki dan pengendara motor, lebarnya yang kira-kira 2 meter aku lihat bisa pula termanfaatkan menjadi lahan parkir. sementara di ujung pertemuan rel kereta dengan jalan Dien Bien Phu, ada saja penjual "baguette" yang nongkrong dengan dagangannya tepat di atas rel.

Ya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana manajemen resiko yang diterapkan baik perusahaan kereta serta para pemilik rumah di sepanjang sisi rel kereta. Bayangkan kalau ada kereta yang tiba-tiba anjlok, yang tiba-tiba keluar rel dan entah meloncat ke mana. Dan sepertinya dia bisa berhenti pula tepat di depan
apartemenku. Hiii....


Monday, January 22, 2007

ayo naik bis - 2


















INCROYABLE!!!

Halte bus bisa hilang. Hehe. Satu halte bus di Hang Bong, halte di mana aku tunggu jalur 09 buat ke Hoan Kiem dan halte dekat Museum of History kalau naik bus 02. Fotonya ada di atas ini. Kalau kebetulan melihatnya, tolong menghubungi aku. Hehe....

Sebenarnya tidak mengherankan karena aku pernah baca di Lonely Planet, kalau jalur bus tidak pasti di Hanoi. Ada kemungkinan bisa berubah. Tapi yang aku tidak sangka, kalau itu termasuk menghilangkan halte.

Oke. Di luar itu. Masih tidak percaya kalo "aku bisa naik bis" dianggap sesuatu yang ajaib oleh teman-teman di Hanoi. Thao bilang aku "adaptable", Hanh bilang "bisa merasakan suasana sehari-hari" dan sebagainya.

Bis itu - menurutku - sebetulnya berarti jaminan keteraturan. Kannika bilang, dia tidak suka dengan bis di Hanoi. Tidak seperti di Bangkok (dan Indonesia kebanyakan) bis di sini hanya berhenti di halte. Di Paris sekalipun, bis bisa berhenti di lampu merah. Jadi, (supir) bis di sini tingkat disiplinnya bagus. Seperti lagu 'Kereta Api', berhentinya punya hanya sekian detik. Kadang kalau kita lelet naik atau turun, pasti ada lagu (maksudnya kata Vietnam) yang mengingatkan untuk cepat. Naik bus, berarti kita harus naik turun di halte. Kita mengingat-ingat pertemuan jalur2 bis supaya bisa sambung menyambung untuk sampai ke tempat tujuan. Ada keteraturan menyangkut waktu tempuh, jalur yang dijalani serta bis yang membawa kita. Maka, itu tidak seperti naik motor di Hanoi yang membawa kita bebas ke mana dan bagaimana.

Yang kedua, ada petualangan ketika naik bis. Pertama, bagaimana pintunya terbuka, ada yang satu pintu, dua pintu terbuka hanya satu atau dua2nya terbuka. Kemudian di dalam, melambai2kan kartu bis juga suatu yang belum selesai. Aku tidak pernah bisa menebak di mana kondektur berada. Kadang sambil melambai, mataku mencari2 di mana kondektur berada. Sering tidak ketemu. Ketika aku di tengah, baru sadar kalau dia duduk di bangku di depan. Di tengah, dengan jenis-jenis tataan bangku yang berbeda-beda, aku belum selesai membuat adaptasi dengan variasi tataan tersebut. Apakah aku senang duduk di bagian depan, tengah atau belakang. Apakah lebih baik berdiri, duduk. Menyender di bagian dinding, di rel atau berpegangan. Di luar bahwa aku kerap naik jalur yang sama, posisi di mana aku duduk memberi cara menikmati bis yang berbeda. "Keteraturan" di sini, bagaimana kita memunculkan kemampuan untuk bisa beradaptasi secara cepat (untuk waktu yang singkat) untuk berada di dalam sebuah bis.

Dalam pemandangan sehari-hari Hanoi yang serba tidak tertebak, aku membayangkan bagaimana orang Hanoi bernegosiasi dengan dua hal teratur tersebut. Bagaimana ya?

ayo naik bis

Satu hal yang aku pelajari dari "teman travelling"-ku selama ini adalah bila berada di daerah yang baru perlu segera tau bagaimana untuk memobilisasi diri. Ini termasuk untuk segera punya map/peta (bisa ngunduh dari internet), buku panduan (kalau punya duit bisa beli lonely planet) walau menikmati kota dengan cara yang tidak biasa lebih menarik dan cari tau transportasi paling umum di daerah itu. Temanku dari host institution di sini, Thu, selalu menyarankan untuk naik xe om, nama ojek di Hanoi, tanpa sekalipun pernah mengajarkan bagaimana naik bis. Seingatku menyebut kata bispun tidak.

Menurutnya, bis di Hanoi tidak nyaman, meskipun diakuinya kalau dia belum pernah naik bis.
Tapi buatku, naik bis jadi keharusan. Satu, supaya tidak termanja oleh "melambai, menawar, duduk dan sampai" dan Dua, naik xeom benar-benar bisa menguras isi saku. Minimal naik xe om biasanya 10ribu, bandingkan dengan dengan bis yang 3000 sekali naik. Ada pilihan yang ketiga, sebenarnya, yaitu jalan kaki. Tapi dalam kondisi cuaca yang sedang dingin-dinginnya, aku tidak menyarankan diriku untuk mengambil pilihan terakhir ini. "We can have a strong legs," canda resepsionis apartemenku.

Akhir bulan lalu aku memutuskan buat mendaptar untuk bisa beli tiket bulanan. Dengan masukan dari Kannika untuk mendaftar di kios Ga Ha Noi (maksudnya stasiun kereta) plus bantuan teman resepsionis tadi untuk menterjemahkan formulir, jadilah aku mendapatkan kartu dengan foto 2x3-ku menempel sebagai pengenal. Setiap bulan, aku harus membayar 80000 untuk mendapatkan sejenis stiker tanda berlangganan. Kalau aku bisa mendaftar sebagai pelajar, ada tarif potongan seharga 50000. Sayangnya itu 5 tahun lalu.

Dan ternyata, bis di sini nyaman luar biasa. Mereka tertib berhenti hanya di halte. Artinya, ada jaminan kalau aku menunggu di halte, tidak lantas harus berlari karena bisnya harus menurunkan penumpang beberapa meter yang lain dan memilih melewatiku untuk berhenti di beberapa meter yang lain. Haltenyapun bersih, dilengkapi dengan bangku panjang terbuat dari alumunium. Sepertinya menjelang ASEM' 06 kemaren ada gerakan membuatkan halte bis. Halte dilengkapi pula papan penunjuk arah yang meskipun dalam bahasa Vietnam, tapi cukup informatif karena nama jalan-jalan yang dilalui ditulis lengkap. Bis-bisnya bersih seperti transJakarta ketika mulai dioperasikan. Menurut pengamatanku, ada dua macam; bis yang Prancis karena ada tulisan "Sorti" (keluar) dan model Korea karena ada tulisan Daewoo (yang artinya bukan keluar!!!). Buatku, model Prancis lebih ramah karena daun pintu keluarnya ada empat. Artinya, terbukanya lebih lebar hingga tidak berkesan desak-desakan.

Sejauh ini, aku sudah hapal untuk naik ke bis ke host institution-ku di Giai Phong dengan jalur 32, nyegat di Le Duan. Ke Hoan Kiem Lake naik jalur 09 nyegat di Hang Bong. Dan pulang ke apartemen di Tang Duy Tan naik 02, 09, 32 dan 34. Hehehe....

Wednesday, December 20, 2006

Bike or Burden

Bike or Burden. Di Hanoi, harga sepeda motor yang murah -hanya 3 juta untuk sebuah motor Cina- membuat jumlahnya yang sedang berkeliaran di jalan hanya -konon- selisih separuh dari jumlah penduduknya. Jalan bisa menjadi sangat penuh dengan sepeda motor, terutama waktu-waktu puncak, seperti pagi ketika orang-orang harus ke kantor dan sekolah, serta sore ketika orang-orang pulang kantor. Mereka bisa mengklakson dengan sangat keras dan panjang bila tidak diberikan jalan. Sama juga dengan di Indonesia, lampu belumlah lampu merah bila belum benar-benar merah.

Satu yang akan membuat tercengang adalah bagaimana motor dimanfaatkan sebagai alat untuk angkutan barang. Ya, ini juga terjadi di Indonesia, sampai ada iklan layanan masyarakat 'untung jadi buntung' yang bintangnya cak lontong. Tapi di sini luar biasa sekali. Impossible is nothing di sini. Dari yang kecil seukuran kardus indomi hingga yang besar seukuran kardus kulkas -termasuk kulkas di dalamnya!!! Sayang, mata saya kalah cepat dengan kelebatan motor itu, jadi maaf belum ada foto yang menjadi saksi peristiwa besar tersebut.

Persoalan pertama yang harus diselesaikan adalah, menaruh secermat dan seoptimal mungkin barang di atas motor. Kemudian, mengikatnya seerat mungkin. Sebelum meluncur, dibutuhkan satu tenaga sukarela untuk menjaga barang-barang itu pada keadaan seimbangnya. Lalu meluncurlah si motor bersaing dengan motor-motor lainnya di jalan. Dan kita jadi mengerti kalau kendaraan jenis ini senang meng-klakson berpanjang-panjang daripada berhenti dan terpaksa menyeimbangkan lagi bawaannya, hehehe....




* Bike or Burden adalah sebuah judul buku yang isinya
foto tentang motor serta boncengan mereka yang "plus" banyaknya.