Saturday, April 14, 2007

Religiositas dan Teritori...


Jauh sebelum munculnya tradisi organisasi teritorial modern, bangunan religius memiliki peranan penting dalam mendeskripsikan suatu teritori. Dalam struktur formatif suatu perabadan di nusantara misalnya, candi sebagai representasi spasial suatu religi menjadi orientasi bagi tatanan teritorialnya. Struktur formatif kerajaan Mataram dan turunannya juga menempatkan Masjid sebagai bagian integral dalam formasi intinya. Bangunan religius pernah memiliki peran yang berlapis. Candi Borobudur menempatkan dirinya secara vertikal juga horisontal. Dia adalah perantara antara dunia di sini dan dunia yang lain tetapi juga menjadi penjalin lingkungan alam dan lingkungan manusia. Dalam masjid (Gede Yogyakarta, misalnya), hubungan antara manusia dengan religi diformalkan secara spasial. Ritual2 menjelaskan adanya hubungan antara kraton serta masjid dan ruang menjadi arenanya. Kalau kita membuka peta (lama) gagasan tentang formasi kota tradisional, kita akan mendapati bahwa kota dibangun di atas ide religiositas ini.

Gagasan tentang kota yang semakin kompleks (dengan program dan bentuk) dan berlapis (urbanisasi dan globalisasi) membutuhkan kreativitas urban yang semakin unik (untuk berbeda) tapi juga jitu (untuk menyelesaikan masalah). Kota yang merupakan bentuk spasial terbaik atas kontrol teritori terus mendefinisikan diri (metropolis, megalopolis, mega-urban) untuk mengidentifikasikan problem yang nyata. Dasar-dasar disain kemudian dibangun berdasar kehendak politis yang rasional seperti permasalahan perumahan. Secara tipologis dan morfologis, bentuk dan ruang kemudian terus diperbarui untuk dapat menyesuaikan kondisi yang sekarang.

Sampai di sini, bangunan religius bagaimanapun juga mendapati dirinya sedang direview kembali. Makna2 yang berlapis semakin berkurang yang berarti secara tipologis dan morfologis juga berubah pula bentuknya. Di negara Eropa, bangunan religius banyak berubah menjadi museum (hidup?) karena ditinggal umatnya. Tapi di banyak negara Asia, bangunan religius menjadi arena wisata meskipun masih banyak orang datang beribadah. Lapis yang berkurang diganti dengan lapis yang lain lagi (hasilnya sama, selalu ada alasan untuk memperbaiki). Sementara di Thailand, bangunan religius dapat menjadi sebuah kuil yang berada di pekarangan sebuah mal. Tanpa mengurangi makna religiusnya. Contoh2 tersebut menunjukkan terjadinya negosiasi dengan setting waktu.

Aku pernah dengar bahwa bangunan religius dapat merupakan perwakilan secara mendasar sebuah kebudayaan. Melihat bagaimana mereka dapat bertransformasi (secara tipologis), kebudayaan memang sedang mengalami perubahan.