Tuesday, March 27, 2007

Teman dua minggu...


Waktu kecil (kira2 20 tahun lalu), pertemuan dan perpisahan adalah pasangan yang paling kerap bersamaku.


Karena orang tua bekerja berpindah-pindah, aku jadi harus sering gonta-ganti sekolah. SD aku lewati di tiga sekolah di kota yang berbeda dan SMP di dua kota yang
berbeda. Baru ketika SMA di Jogja, hingga kuliah benar-benar bisa tetap di satu kota.
Di Jogja, orang dan pergi tidak begitu aku rasakan. Mungkin karena sentimen keakrabannya tipis. Tapi, semakin menua dan
membesar, ternyata penguasaan kita atas satu teritori juga semakin besar. Kalau hanya pindah dari Jogja ke Jakarta, itu masih sama2 di Indonesia juga. Ke Jakarta bukan sesuatu yang tidak mungkin, naik kereta atau pesawat.









Van Mieu Pho Hien












Chua
Pho Hien













Nha Tho Hung Yen



Lama kemudian, perpisahan yang bisa membekas lagi muncul pada perpisahan dengan Paris dan orang2nya. Di mulai dengan perginya seorang teman dari Belanda yang harus magang di Jerman. Beberapa saat kemudian aku juga pergi dan berkata 'selamat tinggal' pada Paris. Batas geografis terasa benar. Paris bukan Jakarta, bukan tempat yang
aku bisa datangi semau dan sebisaku. Ingatan peristiwa yang pernah terjadi di Paris masih saja lengket di kota itu. Foto2 yang aku ambil selama di Eropa masih bisa buat secara emosional aku melayang2kan ingatan ke masa lalu. Tetap tempat yang sama, tetap waktu yang sama.

Minggu besok, seorang teman, Tuan akan pergi ke Prancis. Aku kenal Tuan, juga Hien, Luyen dan ketika ke perpus AFU di Hanoi University of Architecture. Tan yang mengenalkan aku dengan mereka. Kejadiannya dua minggu lalu. Senin itu aku niat untuk ambil fotokopian di AFU. Dengan Tuan ini aku pergi ke Pho Hien sabtu lalu (tiga foto di atas: Chua, Nha Tho dan Van Mieu di Pho Hien) untuk "bikin magang" (istilahnya Budi, hehe) di Toulouse. Karena aku juga akan pulang ke Indo tiga bulan mendatang, kami tidak akan sempat bertemu lagi. Ada perpisahan lagi. Dia pergi, aku akan pergi, dan kami tidak akan bertemu untuk seterusnya.

Apa perpisahan benar ada? Teritori seperti sebuah karton yang datar, kota satu dan lainnya adalah sebaran titik di bentangan karton tersebut. Mobilitas seseorang adalah tarikan garis antar satu titik. Jadi kita tidak ke mana2, masih di karton itu juga to. Lalu apa arti perpisahan? Persoalan jarak? Ketika dua titik tidak bisa dibuat lebih dekat. Mungkin ya....

Monday, March 26, 2007

Les Elément Constitutifs de la Ville de Hanoi

Il y a quatre modèles de structure de la vile de Hanoi mais ces modèles se mangent.

Le première modèle est la cité impériale, structure politique et administrative qui a disparu à la deuxième moitié du 19ème siècle en raison de la colonialisation français. Hanoi a perdu sa cité en 1882 lors de la prise par le militaires Française ce qu'a entrainé la chute du pouvoir royal.

La ville marchande traditionelle qui a perduré malgré l'histoire
est le deuxième modèle. Cette ville s'est peuplé de ruraux sous l'ordre royal et sont devenus artisans et commerçants. Hanoi aurait subi également l'influence de la ville-comptoir d'origine chinoise qui s'organise en compartiments dans les diffèrents quartiers.

La ville coloniale constitue le troisième élément. C'est un ensemble homogén, construit sur de grands axes. Cette ville différent du reste de la ville, est basé sur la ségrégation ethnique pour pouvoir dominer. Après l'indépendence, elle s'intégre au reste de la ville. Les bâtiments coloniaux seront réhabités sous des formes différentes, preuve d'un réaménagement possible non à l'identique. Au niveau architectural, il faut retenir une implantation dans la structure urbaine et de nouveaux styles.

Le quatrième élémént est le modèle du village communal qui forme le territoire autour de la ville. La maison typique est l'habitation rurale qui a des formes flexible grace aux terrains réduits.

Cet quatrième modèle est juxtaposé par le cinguième modèle : le quarter de grand ensemble de logement collectifs. Ce modèle a eu pour but de résoudre le problème urbanistique, sociaux et humaine en adoptant cette nouvelle forme architecturale venant de l'étranger. (résumé d'un article de C.Pédelahore de Loddis, paru dans "Etudes Vietnamiennes")

Sunday, March 25, 2007

Mari membaca...


Ini pertama kali aku di Hanoi melihat seseorang membaca di dalam bis. "Très seriouse," kata Tuan, teman perjalananku ke Pho Hien.

Kemarin aku dan Tuan jalan ke Pho Hien, di propinsi Hung Yen, propinsi yang lain dari Vietnam untuk bisa lihat "terrain d'étude" yang sedang digarap dalam mémoire Tuan. Kira2 50 km dari Hanoi atau kurang lebih sejam bila naik bus. Perjalanan berangkat dibilang kurang nyaman saking padatnya penumpang bis. Kami harus berdiri sampai kurang lebih setengah jam perjalanan terakhir.

Sedangkan pulangnya, meskipun bisnya kecil, tapi buat kami jadi nyaman karena bisa dapat tempat duduk di bagian belakang. Di bis inilah kami mendapat fenomena ini..:)

Apa yang kami lihat? Seorang mahasiswi (menurut Tuan, dia mahasiswi Ecole Normale) di dalam bus, berdiri menyandar di bangku bis. Satu tangan memegang buku, terlihat sedang fokus pada buku yang dia pegang. Mungkin waktu sudah begitu cepat berlalu untuk dia, sehingga harus diberhentikan di dalam bus (yang sebenarnya sedang bergerak) ini.

Saturday, March 24, 2007

Euralille


Dua tahun lalu aku ada kesempatan buat mampir di Lille, yang agak2 tenar sebagai daerah wisata. Transit selama kurang lebih lima jam sebelum terus ke Brusel aku manfaatkan untuk melihat2 Lille. Masih pagi waktu itu. Aku ingat ketika keliaran di sekitar Lille Tua.

Pemandangan pertama yang membuatku takjub adalah Euralille. Tepat di pinggiran Lille Tua, berdiri tegak bangunan2 modern yang didisain segerombolan arsitek besar seperti Jean Nouvel, Rem Koolhass dan Christian Portzamparc (struktur seperti L). Masterplan kawasan didisain oleh Rem Koolhass dengan OMA-nya setelah memenangkan kompetisi yang diikuti Norman Foster, Vittorio Gregotti, Yves Lion, Michel Macary, Oswald Mathias Ungers, Claude Vasconi, Jean-Paul Viguier serta Rem Koolhaas sendiri tentunya.

Ada dua hal yang membuat takjub. Satu adalah skala struktur2 tersebut yang terlihat mendominasi struktur2 tua di Lille tua. Dua adalah fungsi2 yang mengisi struktur2 tersebut yang mungkin kalau di Indonesia boleh dicaci dan diremehkan orang2. Aku ingat di Jogja 2 tiga tahun silam ada aksi menentang pembangunan rombongan mal baru di pinggiran kota. Satu, karena ada mal yang dibangun di atas situs bangunan tua. Dua, karena mal dituding hanya makin mendorong orang untuk kian konsumtif.

Untuk pertanyaan pertama, aku mendapat jawabannya ketika ikut berpartisipasi dalam kuliah Mme. Fredrich, arsitek lansekap yang juga pengajar di EA Toulouse di EA Hanoi. Menurutnya, senjang skala ini memang diniatkan untuk menunjukkan munculnya era baru pembangunan di Lille. Identitas baru bagi Lille yang akan memainkan perannya dalam skala regional Eropa.

Proyek urban ini merupakan penanda kebangkitan Lille yang ambruk seiring persoalan lingkungan usaha tambangnya (kalau tidak salah). Angka pengangguran termasuk tinggi. Walikota waktu itu, sekitar tahun 1980an melihat mobilitas Eropa sebagai peluang bagi bangkitnya Lille. Kota ini dianugrahi posisi strategis berada di simpangan Paris-Brussels-London (dan menyusul pula ke Koln).

For Pierre Mauroy, his collaborators and advisers, the successful bid for the Euro-TGV was an essential prerequisite for a new city district envisaged as the future development turbine that would reverse decades of industrial and economic decline in the region as a whole and revive Lille's traditional role in Flanders as a European centre of exchange and communication. (Maede, 1994)

Persoalan politisnya kelihatannya lebih besar daripada persoalan disainnya. Sentimen historis pasti menjadi pondasi bagi resistensi proyek ini. Bagaimanapun, Euralille ini terbangun. Begitulah resikonya mengoperasikan proyek urban. Harus ada orang2 gila yang nekad untuk membuktikan perhitungan sebuah proyek fisik bisa berhasil di masa depan atau tidak.

Sumber foto:
(1)
http:// www.axter.fr
(2) http://en.structurae.de/photos/index.cfm?JP=1926 (foto oleh Luc Nueffer)

Sumber teks:
Meade, Martin K., Euralille: the Instant City - Development within the Lille Grand Palais in France

Wednesday, March 21, 2007

Saya Suka Indonesia....

Hari ini aku bertemu dengan seorang Prancis yang enam bulan lalu ada tinggal di Jakarta. Kerja untuk Bank Dunia. Sekarang dia bekerja untuk Kedutaan Prancis di Hanoi, sudah tinggal empat bulan dan masih akan terus berjalan. Rindunya untuk bicara bahasa membuatnya mengirimku SMS untuk bisa bertemu. Jadilah, kami janjian makan siang di resto "Little Hanoi" di Ta Hien no.9, Old Quarter. "Makanan di sini semua enak," katanya. Dan Ta Hien ini termasuk jalan yang populer untuk turis. Satu pojokan terkenal dengan nama Bia Hoi Corner. Satu gelas cukup bayar 2 000 VND.

Ini pertama aku bertemu dengan seorang "pengagum Jakarta". Yes. Meski hanya tinggal selama tiga bulan, apa yang dialami kelihatannya membekas dalam dan membuatnya menempatkan Jakarta di peringkat pertama kota2 yang nyaman ditinggali. Alasannya? Pertama tentu saja, orang2 Jakarta, secara umum Indonesia, ramah2. Mereka akan senang bisa berkomunikasi dengan orang asing. Dan makin senang kalo si orang asing tadi bisa bercakap bahasa. "Aduh, sudah bisa bahasa Indonesia. Sudah bisa bahasa Jawa belum," katanya mengulang ucapan lawan bicaranya sambil terkekeh. Ini yang kedua, bahwa bahasa Indonesia tidak sulit untuk dipelajari, meski untuk bisa membaca dan menulis merupakan soal yang lain lagi. Tapi dibanding bahasa Vietnam yang ampun (dan aku setuju), sulitnya minta ampun, bahasa tentu saja jadi menyenangkan. Ini membuatnya makin menyenangi Jakarta. Tidak sulit untuk bisa berkomunikasi dengan orang2.

Dan yang ketiga, Jakarta itu jujur. Hm. Kota yang jujur, konsep macam apa ini....

Clem -panjangnya Clemence- lahir dan besar di Paris. Menurutnya (dalam versi panjang lebar, tapi aku lupa), kota yang cantik ini sebenarnya hanya "fasad" yang terus dibesarkan dan didorong untuk semakin cantik. Tujuannya supaya bisa semakin unggul dibanding kota2 yang lain. Bukan sesuatu yang dibuat untuk benar2 suatu kebutuhan. Turis ada di mana2 di Paris. Dan supaya semakin banyak turis yang datang, semakin saja kota Paris dipermak untuk tampak semakin cantik. Fasad. Apa yang tampak tidak menggambarkan apa yang ada. Seperti apa kehidupan di balik "fasad" tidak ada yang tahu. Atau justru tidak ada kehidupan?

Sedang Jakarta, well, kota ini dibuat apa adanya. Dengan semua kekurangannya dan kelebihannya, bagaimanapun, kota ini tidak memiliki pretensi untuk terlihat cantik. Karena tidak cantik, tidak ada turis yang datang. Dan Clem senang melihat tidak banyak turis seliweran di Jakarta.

KOMENTAR? Hehe. Boleh tidak setuju dengan apa kata Clem. Menurutnya Jakarta sangat luar biasa. Tapi pasti di antara kita banyak yang lebih suka kalau Jakarta juga bisa berdandan hingga seperti Paris. Dan kalau turis juga suka datang ke Jakarta -bukan cuma transit semalam- pasti juga ada pekerjaan2 baru bermunculan. Jalan Jaksa akan ramai lagi. Jakarta Tua semanis Le Marais. Jakartapun sebenarnya tidak benar juga dibilang tidak berdandan. Waaah. Patung2 baru ada di mana2 dan lampu di sepanjang Thamrin-Sudirman. Ada Busway TransJakarta. Mal bertebaran. Apa Jakarta memang apa adanya?

Memotret atau "Memotret"

Pertanyaan sederhana, "apakah memotret untuk satu kepentingan dapat digantikan dengan memotret untuk kesenangan?"

Jadi begini. Bila saat aku mencamtumkan dalam proposal riset begini, "Pengumpulan data akan dilakukan dengan cara observasi dan blabla.... Observasi akan meliputi pengamatan terhadap suatu kawasan. Alat yang digunakan selain buku catatan adalah kamera.... Analisa terhadap setting kegiatan di kawasan tersebut akan menggunakan interpretasi terhadap foto2 yang telah diambil...." Dengan demikian, memotret menjadi bagian yang integral dengan kegiatan penelitian. Memotret dan hasil potretan bolehlah terhitung kegiatan ilmiah dan barang ilmiah (hehe, apapun istilahnya).

Tapi bagaimana bila kita memotret tapi tidak dengan sengaja sebagai bagian dari riset. Mungkin dilakukan jauh sebelum riset, ketika sedang jalan-jalan atau sedang berwisata. Atau dilakukan ketika riset tapi "di luar" aktivitas riset. Singkatnya, kita punya koleksi sejumlah foto ini dan itu yang secara garis besar satu adalah foto riset dan lainnya foto jalan-jalan. Ambil contoh, aku sekarang riset tentang Hanoi. Tapi aku jalan-jalan ke Hoi An, Hue, Perfumes Pagoda, dsb.

Lalu, suatu saat ketika kita mulai melakukan kegiatan analisa, mengurutkan foto, membuat daftar foto dan tersadar bahwa foto bukan riset ternyata bisa digunakan juga untuk bagian analisa atau juga foto pendukung. Aku mau bilang, Citadel di Hanoi adalah sama dengan Citadel2 lain di Vietnam, misalnya di Hue. Ups, apa foto yang aku buat di Hue lalu boleh valid dan aku masukkan di dalam laporan? Sedangkan ga ada niat untuk foto2 di Hue untuk jadi bagian laporan penelitian.

Hiks. Gimana ini?

Kota kebetulan

Apakah kota pernah dirancang untuk beroperasinya kebetulan-kebetulan?

Cerita ini tidak mewakili soal kebetulan sebagai sebuah hasil dari disain besar. Tapi membuatku terus berpikir tentang kebetulan sebagai sebenarnya sebuah hasil yang menentangkan makna "kebetulan" itu. Kemarin ketika aku ke Hanoi University of Architecture, kebetulan bertemu seorang teman yang sebenarnya punya kelas bahasa Prancis. Ternyata kelas batal karena satu dan lain hal (frase yang jadul banget). Kami kemudian ke kafe sebelah bareng pula dengan teman2 kursus dia yang lain. Ada tiga orang lain, yang semuanya peserta program DPEA "Patrimoine, Projet Urbaine et Ville Durable". Dan kebetulan, mereka sedang mengerjakan mémoire2 seperti studi tentang Pasar Dong Xuan di Old Quarter. Kami kebetulan berdiskusi panjang lebar ini itu sejak referensi atau juga pengalaman lapangan, metode dan persoalan. Akhir cerita, aku akan diajak untuk melihat2 site2 yang jadi bahan mémoire mereka. Jadilah ini kebetulan yang menyenangkan....

Sunday, March 18, 2007

Whose Identity, Whose Heritage


I'd like to open this article by quoting King (1991), "the political economy of colonialism focused attention on the unequal distribution of power, between Europeans as colonizers and Indians as colonized, in the production of the built environment: a situation in which a cultural division of labour needed to be built into any explanatory model".

It doesn't correspond directly to what I'm thinking now about the cultural heritage in the present (colonialism) Hanoi. However, it does make me consider that somehow the concept of heritage was possibly created under the influence of the economy, society, culture and their relation to building form (copied from p. 107). It is the logic of colonialism itself which can explain the work of this concept. Especially as Cooper (2002) has explained that what actually happened with the practices of urban design and architecture in Indochina was an ambuigity. On one hand, it intended to express French good will in associating local culture to French spatial planning, but on the other hand it intended equally to strengthen the distribution of colonial power in the colonized territory (Lim, 2006). In this context, the role of the "local" cultural heritage was to become the tools to differentiate the European built forms from the indigenous forms.

The next question is how we can explain changes from "local" building forms into French version of historic monument.

In Vietnamese perspectives, the notion of heritage derived from the idea of monument, an establishment constructed with memorial value. This mode of production can be seen at the construction of the Van Mieu Temple by Ly Thai To in respecting the Confucianism (1047). Other establishments such as pagodas (Chua), temples (Den) and communal houses (Dinh) built by people over period were also the expression of this idea. Those places are until now used to remember important people and also as worship place. Furthermore, from the old cartography of Hanoi, we may see that the ensemble of nature and built environment were also treated as monuments (Mangin, 2002).

(Urban) heritage in Hanoi was transfered as a concept during the period of French dominiation (The importation of this term also took place in other colonized countries in south-east asia cities). As concept, according to Choay (1999), its origin meaning was historic monument. This was French invention which emerged at the late of 18th century. This concept later was formalized with the establishment of the historic monument office in 1830 and some regulations. During the French colonial expansion, this concept was spread over the world including to Indochina along with the religious, military and administrative mission (Mangin, 2002).

To transform this abstract concept into a concrete practices
in different territory is not a very difficult task to carry out. Firstly, because this concept was equipped with clear criteria concerning the value of the monument. This variety of value was based on this several issues, for instance (1) the age of the building; (2) architectural value (Mangin, 2002). Secondly, there was already the organisations like the EFEO who were in charge and whose interest relate to cultural heritage.

In 1930s, a list of historic monuments was made by the Ecole Française d’Extrême-Orient (EFEO). It showed the emergence of concern to Hanoi's archaeological relics (Pédélahore, 1993). The list included the vestiges of old citadel and religious building: pagodas, temples and communal house. Certain specific buildings from hundred of year’s history were claimed as historic monuments by modifying the vietnamese cultural value into western value (Mangin, 2002) under the French interest. For instance, the Quan Chuong Gate was put in the list since the governor Jean Dupuis first entered Hanoi trough this gate. This gate is the only gate from 13 gates which was decided to preserve whike the other gates were totally demolished.

This concept and definition of urban heritage involved the term of heritage restoration and conservation as the means to protect the monuments from serious damage. The data base was then used to develop a practical and applicable value system (Cooper, 2002) which was at that time officially introduced as heritage regulations.

Different case was the master plan of Hanoi created by Ernest Hébrard, an architect-urbanist which was the director of the service d’urbanisme, manifested an attempt to think carefully in designing an Indochinese metropolitan city. In this master plan, the modernity of Hanoi was overlaid on existing traditional city of Hanoi. The museum of Louis Finot, the museum of EFEO(now museum of history) and the Pasteur Institute were the fruit of Hébrard’s architectural design in incorporating the western technology to the Vietnamese knowledge. The use of indigenouse architecture elements to decorate those buildings can be seen as an attempt to achieve a consolidation between the local and the French culture. Like in other colonial constructs, the physical bodies of this architecture represent the interest of the colonizer. Thus, instead of creating the form of consolidation (this word I borrow from Lim, 2006), this architecture in fact tried to create a definition for itself.

Briefly, those two stories -cultural heritage and Indochinese architecture - seemingly tended to create a condition in which architectural artifact can contains identities of the local culture. On the contrary, a
s it is argued by Cooper (2002) by using western perspectives, this whole process actually more or less is the way of re-creating the image of Hanoi city for the sake of western interest. Its intention was actually to express the difference between the colonizer and the colonized. The colonizer was represented by its modernity as it was shown in the design of (now) French Quarter while the colonized remained traditional. Urban Heritage, although it was produced from the local architecture, was a manipulation to be a model to divide the colonizer and colonized.

---

Bibliography

Cooper, N., 2000, Urban Planning and Architecture in Colonial Indochina : French Cultural Studies

Hung, Tran, Enjeux de la Conservation du Patrimoine Urbain in Hanoi - Enjeux Modernes d’une Ville Millénaire. Paris. Edition Trames, 2002.

Logan, W.L., 1995, Heritage planning in Post-doi moi Hanoi. The National and International contributions: Journal of the American Planning Association, v. 61, no. 3 (Summer 1995).

Papin, Philipe. Hanoi. Histoire de La Ville. Paris: Fayard, 2001.

Pédelahore de Loddis, Ch."Hànôi, miroir de l'architecture indochinoise", Etudes vietnamiennes, n. 107 (1993 / 1).

Phuc, Nguyen Vinh. Ha Noi Past and Presents. Hanoi: The Gioi, 2004.

Saturday, March 17, 2007

Kota-Kota yang akan semakin sama


Ternyata kita mengekspor arsitektur juga.

Itu yang aku pikir ketika berkunjung ke Ciputra Hanoi International City "Khu Do Thi Nam Thang Long". Dari judulnya, kita bisa menebak kalo ada hubungannya dengan Ciputra Indonesia, pengembang properti yang muncul di Indonesia sejak 25 tahun lalu. Usahanya meliputi sekian proyek properti di Indonesia seperti perumahan, komersial, dsb. Tepat. Ciputra Hanoi ini salah satu proyek Ciputra yang ada di luar Indonesia selain yang ada di Kalkota.

Khu Do Thi bisa diartikan sebagai "kota baru". Dibangun sejak 2000, kota ini merupakan kota satelit pertama terbesar di Hanoi, Vietnam. Luasnya sekitar 368 ha, yang akan terdiri perumahan, apartemen (kelas menengah dan atas), dan fasilitas-fasilitas penunjang seperti sekolah international (UNIS), pusat perbelanjaan (di Indonesia shopping mall) yang konon akan terbesar di Vietnam, rumah sakit, perkantoran, kedutaan, hotel, yang akan dilengkapi dengan taman-taman yang asri. Terbagi dalam tiga tahap, total semua pekerjaan ini akan benar-benar selesai sekitar tahun 2020.

Konsep bangunan pada CHIC ini - menurut situs Ciputra - mengacu kepada gaya Asia, Eropa, dan juga Vietnam. Kalau kita perhatikan yang disebut gaya Eropa sebenarnya gaya yang kita lihat juga di Indonesia. Rumah dua-tiga lantai yang kemudian dipoles dengan tambahan elemen-elemen dekorasi seperti kolom-kolom Corinthian Yunani Kuno atau fasad arsitektur Renaissance yang mengingatkan pada S. Maria Nouvela yang didisain Alberti.

Rumah-rumah itu konon sudah laris manis. Untuk rumah tahap pertama, seluruhnya sudah terjual. Sedang yang tahap kedua, sebentar juga sudah terpesan. Jadi, selera arsitektur orang-orang di Indonesia bisa juga dinikmati di Hanoi. Globalisasi, sepertinya benar dapat mendorong kota-kota di dunia untuk semakin sama. Termasuk untuk persoalan-persoalan selera kultural seperti ini....

Tuesday, March 13, 2007

Refleksi lagi soal "heritage"

Aku selalu memikirkan sesuatu yang kurang dalam pendekatan konservasi heritage. menurutku heritage itu sendiri perlu dilihat definisinya yang tepat sebelum masuk pada aksi-aksi konservasi dan itu kelihatannya tidak secara serius digarap. Karena definisi itu tidak terjawab, jangan salahkan bila sering “heritage” diartikan untuk perlakuan terhadap bangunan tertentu (tua atau antik) saja. Akhirnya berhenti pada restorasi yang membutuhkan biaya tinggi. Karena ada kesulitan pengadaan dana, akhirnya harus mencari bantuan asing. Dalam model ini, kita kemudian berada pada sistem dunia per”heritage”an. Konsekuensinya kita juga mengadopsi pengetahuan-pengetahuan asing yang diformulasikan dalam banyak Charta (charta sendiri model peresmian pengetahuan bukan), deklarasi serta lainnya. Tanpa didasari pada pendefenisian terlebih dulu apa itu “heritage” yang kita punya, kita justru menjadi gagap mendefinisikan operasionalisasi “gerakan heritage”. Debat soal apakah produk kolonial bisa menjadi "heritage" merupakan representasi kebingungan antara di satu sisi pengakuan atas "arsitektur modern" dengan teknik serta estetikanya dan di sisi lain (tidak ada) pengakuan atas arsitektur yang merupakan peninggalkan jaman terkolonisasi yang kelam.

Atau mengharap bantuan kapitalis (pengusaha) untuk memberi bantuan tapi jangan lupa pula bahwa fundamentalnya kapitalis adalah soal “untung-rugi” sehingga melibatkan kapitalis tentu dengan diiringi kemampuan untuk menunjukkan bahwa terlibat di soal heritage memiliki manfaat yang sebanding dengan laba ekonomis (Begitu Pak Antok?).

Tulisan Choay kiranya dapat membantu melihat akar persoalan heritage terutama urban heritage lebih jelas. Fundamental heritage bukannya definisi yang sudah ada, tetapi terkait dengan bidang-bidang yang lain. Urban heritage, misalnya, dilihat sebagai solusi untuk persoalan identitas bagi suatu teritori (kota atau apapun). Heritage yang mewakili periode, prestasi atau identitas kemudian menjadi penanda dalam bentang teritori yang luas. Kenangan (monumen) yang dikandung oleh heritage dimanipulasi supaya faktor tersebut dapat menjadi milik bersama.

Nilai kultural yang ada pada heritage secara fisik (kemegahan konstruksi, keunikan) ataupun secara keindahan seni dibuat sedemikian sehingga heritage dapat mewakili identitas yang kita bayangkan. Kenapa identitas yang kita bayangkan? Karena bukan pada “heritage” itu kita menemukan identitas kita, tapi kita membadankan identitas kita. Gagasan tentang identitas yang di awang-awang kita carikan bentuk2 fisiknya, di mana kita menggantungkan standar nilai tertentu yang diadopsi dan dipahami secara kolektif.

Bahayanya: heritage dapat menjadi mainan2 orang tertentu untuk mempresentasikan identitasnya sendiri2. Jadi sifatnya individual sekali. Baik arsitek, sejarawan atau arkeolog dapat menggunakan heritage sebagai alat untuk menyatakan dirinya atau khususnya keilmuannya yang diklaim sebagai “identitas” kolektif.

Sementara pemerintah, mereka mengolah monumen sebagai heritage untuk menyatakan kekuasaannya. Identitas yang digagas oleh baik pemerintah serta arsitek dan kaum akademia lain kerap didorong untuk memberi logika bagi peresmian serta pelestarian “heritage”. Ketidakseimbangan terjadi ketika gagasan yang dikelola satu komuniti tidak disampaikan dengan baik pada komuniti yang lain.

Orang2 yang tinggal bersama “heritage” justru seolah menjadi korban dari “proses pembentukan identitas” yang digagas oleh kelompok tertentu. Ya, aku pikir itulah yang kerap terjadi pada “gerakan heritage” yang kerap belepotan dalam menyampaikan obyektifnya.

Note:
Istilah “heritage” aku pakai. Karena definisi dibangun bersama dengan konsep, mengalihbahasakan tentu tidak berarti dapat mentransfer definisi serta konsep yang telah melekat pada istilah tersebut.