Saturday, April 21, 2007

Pesan atas Pesan....


Kota2 besar Asia, Eropa Amerika serta di manapun kelihatannya persoalannya banyak miripnya. Minggu ini aku membaca satu artikel yang Rani kirimkan ke milis2 Arsitektur.Judulnya :

Billboard ban in São Paulo angers advertisers:
New 'clean city' law angers advertisers
By Larry Rohter
Published: December 12, 2006

http://www.iht. com/articles/ 2006/12/12/ news/brazil. php

Pemerintah Sao Paulo, Brasil berniat menerapkan larangan pemasangan papan iklan (termasuk neon, dsb) di kota. Niatnya supaya kota bisa dibersihkan dari polusi visual ini. Dua barisan yang satu pro dan lainnya kontra kemudian saling berhadapan merespon larangan ini. Yang pro melihat kesempatan untuk mewujudkan lansekap kota yang ideal sedang yang kontra merujuk pada masyarakat yang konsumtif, masyarakat mobil yang butuh hiburan serta masyarakat pekerja periklanan yang butuh proyek. Masyarakat umum, menurut artikel ini, sepakat dengan larang ini.

Persoalan iklan di kota ini bukan hanya soal bagi Sao Paulo. Kota yang mengklaim telah menjadi ideal seperti Paris juga mengalami soal ini. Barisan "anti-pub" kerap membuat aksi coret2 pada iklan2 di stasiun metro. Iklan memang menghasilkan uang besar. Untuk membuatnya lebih terkontrol, biasanya kemudian dibuatkan papan2 iklan dengan model2 macam2. Ditaruh di trotoar, di stasiun metro. Tapi ada juga yang terang2an merusak pemandangan seperti iklan LV di gambar atas. Atau di bioskop Rex di samping ini.

Di negara kita, semakin ke sini kelihatannya cara2 untuk membuatkan iklan ini tempat yang lebih layak semakin digalakkan. Setelah langit2 Jogja dipenuhi iklan2 berbentuk gerbang, muncul pula yang berbentuk video.


Mungkin tidak ada yang salah dengan iklan2 itu atau tempatnya. Tapi masyarakat yang sekarang memang sudah berubah. Disain kota yang kita yakini secara tekstual, arsitektur bagus yang dicita2kan sejak Vitruvius sudah harus menemukan rasionalitasnya lagi. Mungkin tidak perlu arsitektur bagus, tapi apapun yang secara visual bagus. Dan tidak hanya cukup bagus, tapi pesan yang mudah dipahami. Arsitektur, terlalu banyak kode yang harus dipecahkan untuk memahami pesannya. Garis, bentuk. Apa semua orang harus jadi arsitek untuk bisa mengapresasi arsitektur? Bandingkan dengan iklan di samping, "pria punya selera" dengan gambar2 laki2 bergaya. Baigan bawah bangunan, kolom2 arked diberi warna merah menyala untuk memperkuat pesan merah si djarum merah (atau rokok apa? tolong dibantu). Hasilnya? Yes. Itu iklan rokok to....


Saturday, April 14, 2007

Religiositas dan Teritori...


Jauh sebelum munculnya tradisi organisasi teritorial modern, bangunan religius memiliki peranan penting dalam mendeskripsikan suatu teritori. Dalam struktur formatif suatu perabadan di nusantara misalnya, candi sebagai representasi spasial suatu religi menjadi orientasi bagi tatanan teritorialnya. Struktur formatif kerajaan Mataram dan turunannya juga menempatkan Masjid sebagai bagian integral dalam formasi intinya. Bangunan religius pernah memiliki peran yang berlapis. Candi Borobudur menempatkan dirinya secara vertikal juga horisontal. Dia adalah perantara antara dunia di sini dan dunia yang lain tetapi juga menjadi penjalin lingkungan alam dan lingkungan manusia. Dalam masjid (Gede Yogyakarta, misalnya), hubungan antara manusia dengan religi diformalkan secara spasial. Ritual2 menjelaskan adanya hubungan antara kraton serta masjid dan ruang menjadi arenanya. Kalau kita membuka peta (lama) gagasan tentang formasi kota tradisional, kita akan mendapati bahwa kota dibangun di atas ide religiositas ini.

Gagasan tentang kota yang semakin kompleks (dengan program dan bentuk) dan berlapis (urbanisasi dan globalisasi) membutuhkan kreativitas urban yang semakin unik (untuk berbeda) tapi juga jitu (untuk menyelesaikan masalah). Kota yang merupakan bentuk spasial terbaik atas kontrol teritori terus mendefinisikan diri (metropolis, megalopolis, mega-urban) untuk mengidentifikasikan problem yang nyata. Dasar-dasar disain kemudian dibangun berdasar kehendak politis yang rasional seperti permasalahan perumahan. Secara tipologis dan morfologis, bentuk dan ruang kemudian terus diperbarui untuk dapat menyesuaikan kondisi yang sekarang.

Sampai di sini, bangunan religius bagaimanapun juga mendapati dirinya sedang direview kembali. Makna2 yang berlapis semakin berkurang yang berarti secara tipologis dan morfologis juga berubah pula bentuknya. Di negara Eropa, bangunan religius banyak berubah menjadi museum (hidup?) karena ditinggal umatnya. Tapi di banyak negara Asia, bangunan religius menjadi arena wisata meskipun masih banyak orang datang beribadah. Lapis yang berkurang diganti dengan lapis yang lain lagi (hasilnya sama, selalu ada alasan untuk memperbaiki). Sementara di Thailand, bangunan religius dapat menjadi sebuah kuil yang berada di pekarangan sebuah mal. Tanpa mengurangi makna religiusnya. Contoh2 tersebut menunjukkan terjadinya negosiasi dengan setting waktu.

Aku pernah dengar bahwa bangunan religius dapat merupakan perwakilan secara mendasar sebuah kebudayaan. Melihat bagaimana mereka dapat bertransformasi (secara tipologis), kebudayaan memang sedang mengalami perubahan.

Wednesday, April 11, 2007



Ada dua orang yang bilang kalau Hue cantik, Pak
Emile dan Ju. Mereka terkesan dengan Citadel yang World Heritage dan makam2 raja dari dinasti Nguyen (Raja Gia Long dan seterusnya). Pak Emile menambahkan saja kalo konservasi Citadel terlalu brutal karena metode restorasinya dan makam2 kurang terawat.

Aku sendiri tidak begitu terkesan dengan Hue. Tentu saja Citadel perlu mendapat apresiasi sendiri. Meskipun entah bagaimana aku harus mengapresiasi, sebuah model Citadel, struktur dari periode tertentu. Atau apa.

Tapi dalam skala kota, absennya kaitan antara manipulasi ruang dan produksi imej membuatku ilang mood atas kota ini.

Kota yang baik menurutku dibangun atas sebuah identitas (Thanks buat Arif). Ada sesuatu yang ingin dinyatakan dan lantas dispasialisasikan. Teori "Image of the City" soal landmark, node serta path yang dibangun Lynch mungkin bisa menjelaskan apa yang boleh kita cari atas sebuah kota. Tentu saja di atas itu politik tertentulah yang akan menjelaskan apa yang mendorong produksi imej tersebut. Boston akan berbeda dengan Jakarta (Kusno), Hanoi (Wright) atau Bangkok (Askew) bukan karena semata2 tipologi bangunannya, tetapi aktor2 yang berbeda yang berperan.

Tapi globalisasi -mungkin- telah mendorong kota2 untuk menjadi semakin sama. Produksi mal, hotel di atas jalinan 'jaringan internasional' hotel tertentu membuat absennya produksi imej yang unik. Apa hubungan antara Citadel dan sebuah calon hotel di jalan Huong Vuong? Tidak ada. Sedangkan Citadel diakui sebagai karakter Hue. Kalaupun hotel ini dibangun di atas laut, apa ada yang kehilangan? Tidak. Dibangun di atas bulan sekalipun tidak masalah karena secara tipologis dirancang untuk bisa dibangun di manapun.

Kontinuitas. Ingin sekali melihat kota yang memang dibangun secara kontiniu. Entah karena direncanakan dengan baik. Atau setidaknya struktur dibangun dengan pertimbangan yang tertata secara metodologis bukannya karena mantas2i. Struktur adalah instrumen untuk memanipulasi teritori lebih dari sekadar perpanjangan kapital.

Sunday, April 08, 2007

World Heritage Site or World Tourism Site


Sepuluh hari lalu aku di Hoi An untuk sebuah workshop. Satu malam di Hue dan pulang dengan kereta malam. Reunification Express yang menghubungkan Saigon (HCMV) dengan Hanoi.

Perjalanan makin menyenangkan karena diskusi panjang lebar dengan satu pasangan dari Jerman, Marcus dan Gwendoline. Marc, seorang fire engineer bekerja di London serta Gwen bekerja di urusan TI di Paris (dunia memang sempit bukan). Buat mereka, Vietnam adalah kunjungan pertama mereka ke Asia.

Diskusi kami terjadi di seputaran pengalaman selama di Hoi An. Atmosfer yang dirasakan di Hoi An menggelitik kami untuk mempertanyakan soal2 seperti ada apa dengan heritage, world heritage. Apa manfaat dan apa peran aktor2 tertentu dalam bidang ini.

Turisme merupakan pangkal soalnya. Hoi An memang luar biasa. Dengan banyak struktur tua yang terpelihara bisa jadi sebuah kisah keberhasilan sebuah kawasan konservasi. Dengan orang2 yang tinggal di kawasan ini, jadilah satu contoh pula untuk kisah sukses konservasi living heritage. Tapi buat kami Hoi An terlalu jauh sehingga kesan yang muncul justru sebuah teater living heritage. Gwen bahkan menyamakan Hoi An dengan disneyland, taman bertema yang secara spasial ditata sedemikian untuk jadi sebuah paket atraksi.

Sebetulnya, mungkin tidak sejauh itu. Tapi komersialisasi yang terlalu berlebihan mungkin membuat kesan semua2 yang ada di Hoi An hanyalah sebuah tontontan. Deretan kafe2 cantik a la Eropa, resto lokal dengan tawaran cooking class, deretan taylor serta toko sepatu yang semua2 menyasar turis memberi cap yang dalam spasialisasi industri kultural. Begitu pula kehidupan yang sebenarnya normal seperti orang2 yang duduk2 depan rumah, melakukan ritual ibadah, akhirnya tampak menjadi bagian dari tontonan tersebut.

Ketika mengaitkan dengan turisme yang menyasar orang barat, Gwen kemudian berhipoteses bahwa predikat world heritage sebenarnya hanya alih2 barat untuk mempertahankan hegemoninya atas Asia. Konsep barat sebagai yang dominan dan menempatkan Asia sebagai obyek eksplorasi. Meskipun yang disasar adalah orang barat berduit dengan dalih sumber devisa, pembangunan atau apapunlah namanya, namun pemosisian antara siapa memanfaatkan siapa adalah pertanyaan mendasarnya.

Diskusi kami hanya berputar2 pada pertanyaan tanpa jawaban. Tapi kami sepakat bahwa setiap orang, bangsa berhak... untuk memberi jawaban...:)