Friday, June 10, 2011

Kota Ramah Anak

 
Siang ini aku diminta "Cah Irenk" untuk menjadi narasumber di Siaran Green Radio di RRI. Siaran ini merupakan kerjasama antara RRI Pro 2 dan Peta Hijau Yogyakarta tiap hari Jumat, pukul 10 siang.
"Temanya 'Tata Ruang yang Ramah Anak dan Lingkungan," katanya. 
Aku menawar. 
"Cukup yang ramah anak saja." Pikirku, dengan tema itu saja sudah banyak yang bisa dibahas.
Untuk Yogyakarta, konsep "Kota yang ramah anak" bukanlah baru. Tahun 2009 lalu, bersamaan dengan Hari Anak Nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan menetapkan Kota Yogyakarta dan 9 kota/kabupaten lain sebagai ramah anak. Salah satu indikator adalah adanya Taman Pintar, fasilitas kota di jalan Senopati yang ditujukan untuk tempat bermain sekaligus belajar bagi anak-anak.

Menurutku, kota yang ramah sesungguhnya konsep yang tidak hanyak fisikal tetapi juga perseptual. Keramahan tidak hanya dirasakan di satu tempat tertentu, tetapi juga dalam keseharian anak. Mulai ia keluar rumah dan aktivitas apapun yang dilakukannya. 
Selama di Wina, mbak Ririk banyak memotret berbagai ruang terbuka. Berbagai bentuk dan skala. Ruang terbuka kota, kawasan, permukiman. Ia simpulkan, tidak hanya ruang terbuka harus ada, tetapi aman dan perlu atraktif. Tentu saja untuk user-nya, baik anak-anak atau orang tua yang perlu tempat untuk mengasuh anaknya. Tidak bisa pelit soal perabotan lingkungan yang perlu ada untuk merangsang siapapun berkegiatan di ruang kota.

Tram

Pertama kali aku melihat tram adalah di Paris. Rutenya sepanjang jalan lingkar kota. Tram bersilangan dengan jalur RER dan sedikit metro yang membawa warga dari pusat ke arah luar kota. Selain Paris, juga tram di Strasbourg, Milan dan Napoli.

Tetapi tram yang berkesan adalah tram di Bordeaux. Alain Juppe, walikota tahun 1990-an, mengupayakan kehadiran tramway de Bordeaux yang merajang Kota Bordeaux sekaligus memberi akses terhadap pusat kota. Tanpa banyak kendaraan bermotor, bagian kota yang bersejarah tampak lebih ramah untuk pejalan kaki.

Di Indonesia, Belanda juga pernah menghadirkan tram antara lain di Jakarta dan Surabaya. Namun, transportasi ini kemudian kalah saing oleh kendaraan pribadi. Seperti juga tram di Hanoi yang dihapus karena dianggap tidak modern. Nyatanya, beberapa tahun kemudian, kota-kota ini berlomba-lomba untuk menghadirkan kembali tram atau alat transportasi sejenis.

Bulan lalu, aku kembali naik tram. Kali ini mencicipi jalur tram di Kota Wina, Austria. Rasanya masih sama. Dibanding masuk bawah tanah naik subway, tram jelas lebih menarik.