Wednesday, September 24, 2014

Kota Pusaka Dunia

"Kenapa di Amerika Serikat tidak ada kota pusaka dunia?" cetus Denis Ricard.
Sejenak kami terdiam. Saya, yang bersama Profesor Kim, Sung-Woo dan Augusto Villalon sedang mengitari meja penuh dengan set masakan Korea, membayangkan hal-hal teknis terkait kriteria kota pusaka. 
"Karena di sana, perlu 100 persen konsensus dari warga untuk bisa menetapkan sebuah pusaka," Denis menjawab ringan. Taman Nasional merupakan pusaka yang mudah ditemui karena pemerintah bisa memiliki seluruh properti. 
Denis Ricard adalah Sekjen OWHC atau Organization of World Heritage Cities, sebuah organisasi kepala daerah pengelola situs pusaka dunia yang bertujuan untuk mempromosikan pengetahuan dalam mengelola kota pusaka bagi para kepala daerah, sekaligus membangun jejaring antar kota. Pada 25-26 September 2014 ini, OWHC di wilayah Asia Pasifik menyelenggarakan pertemuan pertama, didahului pertemuan para pakar pada 24 September dengan topik "people-centered conservation". Kegiatan ini diselenggarakan di Gyeongju, sebuah kota yang ditempuh sekitar 4 jam dari Seoul.

Ia mengulangi kembali ajakannya pada saat pertemuan pakar untuk mengingat-ingat beban yang harus ditanggung kota dengan label pusaka dunia. Tentu saja ada warga kota yang akan bahagia dan bangga dengan identitas dan peluang usaha baru. Di sisi lain, ada warga yang menanggung biaya pemeliharaan label tersebut. Melekat pada label tersebut adalah standar pemeliharaan bangunan dan lingkungan yang lebih tinggi. Kadang-kadang bahkan mengatur lebih banyak aspek kehidupan sehari-hari warga kota.
Pelibatan masyarakat adalah mungkin dan dalam pelestarian, ini tentu saja adalah proses. Prof. Adishakti, mengutip salah satu paparan peserta, menekankan sekali pada proses tahap demi tahap dalam mengelola keterlibatan masyarakat. Tidak ada satu model yang unik dalam mengelola kota pusaka dunia. Semua pendekatan berlaku pada konteks kota dan kapasitas warganya. Denis pun menambahkan, "belum ada definisi operasional yang tetap mengenai kota pusaka dunia. Pusaka adalah konsep yang berkembang, begitu pula kita sedang mengembangkan konsep kota pusaka ini."  

Tuesday, September 16, 2014

Heritage Impact Assessment

Tahun 2014 ini ada dua tawaran workshop mengenai "Heritage Impact Assessment". Satu diadakan di Hong Kong, pada bulan Mei oleh the Architectural Conservation Programmes (ACP), Faculty of Architecture, The University of Hong Kong dan lainnya di Cina pada bulan Oktober oleh World Heritage Institute of Training and Research for the Asia and the Pacific Region under the auspices of UNESCO, Shanghai Centre (WHITRAP, Shanghai) dan ICCROM. 
Saya mengikuti salah satunya di Hong Kong. Pada saat bersamaan bertemu dengan dua teman baru dari Indonesia, Iin dari UNESCO dan Dedi dari Riau Heritage. Iin ini ternyata membantu kami menerjemahkan buku Panduan Pelestarian Pasca-Gempa di Padang. Selain itu, peserta juga datang dari India dan Jepang, 
Mengenai Heritage Impact Assessment atau HIA bisa disimak melalui http://www.icomos.org/world_heritage/HIA_20110201.pdf. Menurut staf pengajar kami, Dr. Richard A. Engelhardt dan Dr. Ayesha Pamela Rogers, masih banyak yang perlu dikembangkan dari implementasi HIA ini. HIA cukup berkembang di Hong Kong, justru karena instrumen-instrumen pelestarian bangunan atau kawasan pusaka belum cukup lengkap. Mereka belum mengenal konsep seperti kawasan pusaka, karena itu pelestarian bangunan pusaka dilakukan dengan pendekatan tiap pembangunan.
Cerita berlanjut, studi kasus kami adalah Kampung Pok Fu Lam, yang pada tahun 2013 dinyatakan sebagai salah satu the 2014 World Monuments Watch. Kabar terbaru, American Express dan World Monuments Fund memberikan $1.5 Juta untuk pelestarian kampung ini. Selamat untuk Nigel dan teman-teman dari komunitas yang memperjuangkan Pok Fu Lam dalam isu pelestarian.