Tuesday, February 27, 2007

Kemarin, Sekarang dan Besok di Sini

Bagaimana sebenarnya "adaptive reuse" bekerja? Dalam perbincangan soal konservasi, "adaptive reuse" berarti memanfaatkan suatu bangunan lama dengan fungsi yang baru. Dengan kerangka berpikir ini, "adaptive reuse" dioperasikan dengan memodifikasikan seperlunya suatu bangunan sehingga fungsi yang baru dapat bekerja di bangunan tersebut.

Menuruti ketertarikan itu, dua hari lalu aku meniatkan untuk bersantap siang di sebuah restoran-bar-cafe (singkat resto) di jalan Ma May. Resto berjudul "69" -karena terletak di nomer 69 -ini dulunya sebuah rumah tradisional model ruko Cina. Kemudian direnovasi sekitar paruh kedua tahun 1990-an dan dimanfaatkan sebagai restoran. Informasi tentang resto ini aku dapat dari penjaga tamu di 87 Ma May, rumah tradisional yang direnovasi dalam kerangka yang sama. Bedanya, rumah ini sekarang dimanfaatkan sebagai museum serta ruang pamer kerajinan Vietnam.

Dari luar secara arsitektural, fasadnya menunjukkan tanda-tanda ruko Cina. Terdiri dari dua lantai, fasad lantai pertama berupa bilah-bilah papan yang dapat dibuka sepenuhnya dengan mencopoti semua bilah papan tersebut. Sedang lantai kedua, balkon yang tertutup rapat dengan dua jendela yang secara simetris berjejer. Adanya papan nama, buku menu serta dekorasi yang tidak umum seperti lampionlah yang menunjukkan kalau ini adalah sebuah restoran.

Melangkahkan kaki ke bagian teras, lebarnya sekitar 2 meter, atmosfer kafe mulai terasa. Tampak dari teras ini, bagian dalam terdiri dari bangku-bangku rapi serta meja bar di sisi kanan dengan rak bersisi berbagai jenis botol minuman beralkohol. Ruang ini disekat, dibatasi dengan tembok terbuat dari bata ekspos dengan ruang lain yang berfungsi juga sebagai ruang makan. Di bagian belakangnya lagi terlihat bagian dapurnya.

Lantai kedua dicapai dengan menggunakan tangga yang kelihatannya terletak di bagian yang dulunya adalah court yard. Sejauh mata memandang, termasuk bagian balkon, bagian ini seluruhnya adalah satu set meja makan. Di bagian belakang terlihat ada bekas void yang sudah ditutupi sejenis plastik. Rupanya di bawahnyalah terletak dapur.

Menggambarkan struktur resto ini jelaslah bahwa gagasan tentang ruko tradisional sudah tampak tiidak relevan untuk menjelaskan struktur resto ini. Deskripsi ruko tentang bagaimana courtyard berfungsi, penataan spasial serta manusia berkegiatan tidak akan menjelaskan resto ini.
Yang tinggal adalah fasad serta konstruksi kayu yang menjelaskan keberadaan mereka sendiri. Kelihatannya, bangunan ini harus dijelaskan dalam term restoran, ada bagian penyambut, meja bar, bagian meja makan, dapur serta kamar kecil.

Jadi, bagaimana "adaptive reuse" bekerja? Pertama, dia harus memutus hubungan dengan masa lalu demi mendapat manfaat yang sebesarnya dari hal yang diproyeksikan saat ini. Suatu bangunan tidak lagi memiliki kenangan secara utuh, secara arsitektural, yang bisa diceritakan dari dinding, lantai dan atap serta tatanan ruang yang dihasilkannya. Dengan ini, konstruksi tersebut lebih memiliki kaitan dengan pemanfaatannya di masa depan. Hasil-hasil yang diharapkan dengan rekonstruksi yang sekarang dikerjakan. Kedua, dia harus berani untuk mengadopsi cara produksi yang baru. Dalam konteks ekonomi, misalnya, ada indikator-indikator ekonomi yang harus diperhitungkan. Lalu, ada persoalan ruang baru karena kode-kode yang harus disampaikan baru sehingga dapat diartikan para pengguna dengan tepat sehingga tidak terjadi salah kaprah. Apakah benda ini termasuk pajangan, apakah ruang itu untuk dimanfaatkan untuk ruang makan juga. Dan terakhir, bagaimana lingkungan dapat memberi dukungan pada model proyek terebut. Secara sosial, proyeksi pekerjaan ini adalah dampak yang dihasilkannya menanggapi lingkungan yang secara dinamis berubah. Tafsir yang tidak lengkap terhadap lingkungan -sering dengan alasan mempertahankan kenangan atas bangunan tersebut- akhirnya membuat bangunan tersebut tertinggal di masa lalu atau terseret-seret dalam tebaran makna sekarang.



Thursday, February 22, 2007

Mudik juga ada di sini


Seperti fenomena mudik di Indonesia, Tet adalah waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Distribusi pembangunan yang belum rata telah mendorong tingginya mobilitas penduduk suatu daerah ke pusat-pusat pertumbuhan seperti Hanoi. Ini dilakukan baik untuk alasan ekonomi ataupun pendidikan. Urbanisasi sekarang terjadi, dibanding periode sebelumnya ketika orang justru didorong untuk ke desa untuk menggarap sawah di desa. Disurbanisasi.

Kehidupan antara kota yang moden, serta kehidupan asal yang tradisional mewarnai kehidupan orang vietnam. Tet adalah waktunya mengisi "batre". Mengangkat harapan, doa untuk tahun baru yang telah datang. Rasionalitas tinggal di kota terpadu dengan ritual-ritual yang masih menjadi tradisi.

Malam Tet, orang2 datang ke pagoda atau kuil untuk beribadah. Ibadah ini dilakukan sampai beberapa hari kemudian. Beberapa kuil besar di luar Hanoi juga menjadi sasaran para peziarah seperti Perfumes Pagoda, kira2 tiga jam dari Hanoi. Festival besar2an ada di Perfumes Pagoda, katanya yang paling besar di negri ini. Festival jangan dibayangkan ada tarian, senandung, ritual tertentu. Festival di sini menggambarkan keramaian ketika sekian banyak orang secara bersamaan datang untuk berdoa di Pagoda ini.

Dua jam jalan darat serta satu jam dengan sampan, panorama lansekap natural kawasan ini benar cantik. Perjalanan sungai dikelilingi oleh bukit-bukit batu tinggi yang berjejer silih berganti. Kabut tinggi memberi kesan misterius ada apa di balik batu-batuan tersebut. Dalam perjalanan, berpapasan dengan sampan yang lain atau sedikit bersenggolan dengan sampan yang lain kerap terjadi. Sungai yang lebarnya kira 20an meter jadi terlihat sempit karena banyaknya sampan yang beroperasi. Btw, karena aku ikut rombongan tur, sampan yang aku tumpangi jadi sedikit spesial, setidaknya bagi yang lain. Selalu saja ada yang menyapa "hello", "where are come from", hehe....

Begitu mendarat di pelabuhan, suasana ramai sudah terasa. Sepanjang jalan setapak menuju Pagoda, restoran yang berjejer dipenuhi oleh orang-orang yang sedang makan. Anjing, babi, serta ayam yang separuh matang dipajang utuh dengan cara digantungkan di depan resto. Anjing paling menaruh perhatian setidaknya untuk anggota turku. Tidak pernah terbayangkan memajang anjing dalam kondisi seperti itu.

Sayangnya, ramai sekali suasana di Pagoda sehingga aku tidak bisa menikmati.
Mungkin harus ke sini lagi kalau sudah lewat waktunya festival...:)

"Chúc mừng năm mới"


"Chúc mừng năm mới"
Artinya, Selamat Tahun Baru. Happy New Year. Bonne Année....

Ya, tanggal 17 Februari lalu adalah 01 Januari menurut versi kalender Vietnam.

Tahun Baru Vietnam atau "Tet" mengadopsi sistem kalender bulan. Karena banyak hal di Vietnam terlibat dengan sistem dunia, otomatis ada dua Tahun Baru yang harus dilewati oleh orang-orang Vietnam. Tahun Baru "Western" -menurut orang Vietnam- dan Tahun Baru Tet. Bagaimana dua sistem ini berjalan secara paralel dalam kehidupan orang setempat, ini PR yang moga2 dapat terjawab sebelum aku pulang nanti.

Tapi yang boleh terlihat antara lain soal hari libur. Sebagai negara berdaulat, Vietnam tentu saja mengatur waktunya menurut kepentingan sendiri. Libur Tahun Baru "Western" hanya satu hari, sedangkan "Tet" adalah empat hari. Tentu saja, karena di Indonesia tahun baru bukanlah soal penting, maka soal libur ini mungkin juga jadi tidak penting.

Tapi "Tet" bukan cuma tahun baru. Dalam "Tet" ada tradisi-tradisi yang dirayakan. Orang2 akan mudik, akan pergi ke pagoda dan akan menghadapi hidangan bersama keluarga serta saling berkunjung kepada kenalan. "Tet" benar-benar waktu untuk menjadi baru, baik secara lahir serta batin, dalam waktu dan tempat.









Menunggu 00:00










Skyflowers di pukul OO:OO




Saturday, February 10, 2007

Sampaikah salamku untuk dia...

Hari-hari mendekati Tahun Baru Tet. Seperti tahun baru Cina, tahun Baru Tet mengikuti sistem perhitungan hari menurut kalender bulan. Tahun ini, tahun Baru Tet akan bertepatan dengan tanggal 17 Februari Masehi.

Hari ini, tujuh hari menjelang tahun baru Tet adalah hari spesial. Menurut Lonely Planet, karena Tao Quan -a man- kata resepsionis apartemenku- akan naik ke surga untuk melaporkan hal-hal yang terjadi sepanjang tahun ini kepada the Jade Emperor. Tao Quan akan mengendarai ikan, sehingga hari ini orang-orang membeli ikan dan melepaskannya ke Red River atau danau-danau di Hanoi. Selain itu, hari ini orang-orang berkumpul serta makan bersama.

Menjelang tahun baru Tet ini, pertanyaan berulang yang aku terima adalah "Apakah kamu juga punya perayaan seperti ini?". Pertanyaan ini pertama kali datang dari bule Australia pemilik toko buku "Bookworm' di Ngo Van So. Dengan mantap aku bilang, "tidak ada". Kami hanya punya Tahun Baru yang cukup dirayakan dengan nonton TV atau berhitung. "Oh, aku pikir karena kalian punya kebudayaan yang berbeda kalian punya tahun baru yang berbeda pula...."

Pertanyaan itu makin kerap muncul, sehingga aku jawab saja, "tidak ada perayaan yang khusus di mana orang-orang harus mudik. Tapi ada Hari Raya Lebaran yang dirayakan dengan mudik dan libur selama kurang lebih sepekan. Tidak semua merayakan, tapi hampir semua menikmati liburnya." Lantas aku sadar. Kalau ada yang kurang untuk bisa diceritakan, itu adalah "sesuatu yang dirayakan". Kenapa di Indonesia tidak ada "sesuatu yang dirayakan" alasannya mungkin supaya tidak kelihatan kalau senang berpesta, maka tidak perlu ada banyak perayaan2 yang khusus. Tapi dengan alasan ini pula, ada daerah2 tertentu yang menjadi unik. Mereka tampak berbeda karena memelihara perayaan masing2. Ya, jawabannya mungkin tidak bisa pendek. Indonesia adalah negara kepulauan, terdiri dari banyak suku dan masing2 suku punya tradisi perayaannya sendiri....

Di Hanoi, tidak banyak orang yang beragama Kristen. Tapi menjelang Natal kemarin, seolah Hanoi akan merayakan Natal. Boneka Santa Klaus, lampu-lampu yang digantung di pohon, tulisan-tulisan "Selamat Natal". Dan ketika harinya tiba, semua orang merayakan dengan keluar ke jalan keliling kota. Hoan Kiem Lake jadi sasaran dipenuhi dengan orang-orang tua muda, termasuk turis-turis seperti aku yang bengong dengan bagaimana Natal dirayakan.

Ada yang perlu dirayakan untuk dapat menikmati kota yang sedang kita tinggali....

In the Mood for Love


"Chungking Express" (1994) adalah film pertama Wong Kar Wai yang aku tonton. Kalau tidak salah, aku kebetulan sedang ganti-ganti channel tv, dulu hanya ada RCTI, SCTV, TPI dan TVRI, sampai menemukan film itu sedang diputar RCTI. Film yang aneh. Antar adegan seperti tidak runtut, miskin dialog, dan kaya gambar, maksudnya seperti melebih-lebihkan suatu obyek dan mengontraskan terang gelap. Aku masih ingat, Tony Leung jadi seorang polisi yang senang memainkan pesawat-pesawatankecil.

Film kedua yang aku tonton adalah "Fallen Angels", film yang kesannya serba gelap, tentang seorang pembunuh. Lalu "Ashes of Times", film silat yang ancur luar biasa. Lalu "2046" yang aku tonton di Paris dua tahun lalu. Olivier, suaminya Rozenn, yang cerita kalau film ini bagus, termasuk soundtracknya yang banyak ambil lagu-lagu Amerika Latin. Film "The Hand", satu dari tiga film pendek dalam "Eros" aku tonton akhir 2005. Dan terakhir "In the Mood for Love" (2000) yang DVD bajakannya baru aku beli tadi siang di sebuah toko di jalan Hang Bac.

"In the Mood for Love", film ini bisa dibilang seri sebelumnya "2046", yang cerita bagaimana Mr. Chan dan Mrs. Chow bertemu. Masing-masing telah menikah, tapi adalah mereka berdua adalah karakter yang sendiri karena Mrs. Chan yang kerap kerja sampai larut dan Mr. Chow yang sering bertugas ke luar negri. Berawal dari "cerita tentang dasi dan tas", akhirnya mereka memutuskan untuk kerap bertemu dan berhubungan. Akhir cerita ditetapkan dengan perginya Mr. Chan ke Singapura untuk tetap bisa bilang "we wouldn't be like them....". Lingkungan memang telah menciptakan sistem yang membuat kode2 untuk dapat mengalihkan perasaan, seperti telepon, makan malam dan payung. Mungkinkah itu cukup....

He remembers those vanished years.
As though looking through a dusty window pane,
the past is something he could see, but not touch.
And everything he sees is blurred and indistinct.


---
Sepanjang jalan Hang Bac ini ada sekitar tiga toko yang menjual produk-produk gagal (gagal asli karena memang bajakan) seperti VCD atau CD musik dan DVD film. Harga per satuannya antara 15000 - 16000 VND atau 1 USD.