Showing posts with label pusaka. Show all posts
Showing posts with label pusaka. Show all posts

Tuesday, September 22, 2009

GARDU-GARDU LISTRIK

Mungkin sering penasaran dengan keberadaan bangunan besar seperti gardu. Ukuran tidak selalu sama, ada yang seukuran gardu jaga, tapi ada pula yang seukuran kantor jaga keamanan. Lokasinya selalu kebanyakan di tepi jalan dekat dengan kawasan yang rasanya sudah ada sejak awal abad ke-19.

Ketika bangunan tersebut bercat kuning-merah-biru, barulah kita tahu kalau mereka gardu-gardu listrik yang merupakan aset PLN.









Sejarah Kelistrikan
Tentu saja, sejarah ketenagalistrikan di Indonesia sudah jauh ada sebelum PLN. Di internet saya menemukan sedikit sejarah ketenagalistrikan di Hindia Belanda yang dimulai pada akhir abad ke-19, ketika beberapa perusahaan Belanda mendirikan pembangkit tenaga listrik untuk keperluan sendiri. Pengusahaan tenaga listrik tersebut berkembang menjadi untuk kepentingan umum, diawali dengan perusahaan swasta Belanda yaitu NV NIGM (Nederlandsch Indie Gas Maatschappij) yang berdiri pada tahun 1897 yang memperluas usahanya dari hanya di bidang gas ke bidang tenaga listrik. Gedung kantornya yang monumental terletak tidak jauh dari Stasiun Gambir di Jakarta dan kini berfungsi sebagai Kantor Pusat PLN Jakarta Raya dan Tangerang. Pembangkit Listrik Tenaga Uap waktu itu terletak di Gambir.








Sumber:

NV NIGM kemudian berubah menjadi NV OGEM yang mendapat ijin untuk melakukan usaha di Batavia, Jatinegara serta Tangerang sejak 1913. Perusahaan listrik saat itu tidak hanya satu, ada pula yang lain seperti NV GEBEO, ELECTRA, SEM dan NV AINEM yang punya ijin untuk beroperasi di Surabaya, Yogyakarta dan Surakarta. Termasuk pula pelayanan di luar Jawa seperti di Padang dan Medan yang juga telah berkembang.

Setelah sempat di bawah kendali Jepang, dalam situasi gelora kemerdekaan para karyawan listrik mengambil alih perusahaan-perusahaan listrik dan menyerahkannya pada Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja waktu itu. Pemerintah kemudian menetapkan tanggal 27 Oktober 1945 sebagai Hari Listrik.

Nasionalisasi perusahaan listrik secara masif berlangsung setelah KMB. Pada 1961, dibentuklah Badan Pemimpin Umum Perusahaan Listrik Negara (BPU-PLN) dan pada 1972, PLN berubah menjadi perusahaan umum listrik negara. Berikutnya, status PLN yang semula berada di bawah Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik beralih di bawah Departemen Pertambangan dan Energi pada tahun 1982. Sebelumnya, pada 13 Mei 1965, telah terjadi pemisahan antara listrik dan gas dan terbentuklah Perusahaan Gas Negara (PN Gas).

Gardu-Gardu Listrik Sekarang
Dengan berkembangnya teknologi, gardu-gardu berukuran besar tersebut banyak tidak digunakan lagi. Ada yang terbengkalai, namun sebagai aset PLN, meski tidak termanfaatkan banyak yang terawat baik dengan polesan cat baru berwarna.

Ada saja yang punya gagasan dalam memanfaatkan gardu-gardu tersebut. Yogyakarta rasanya kota yang punya banyak gagasan. Misalnya saja di Jalan Abu Bakar Ali, Gardu Listrik 6 kv atau Gardu Aniem (disebut demikian karena gardu itu merupakan warisan NV ANIEM). saat ini digunakan sebagai media sosialisasi PLN. Penambahan elemen-elemen serupa benteng sempat dikecam para pemerhati bangunan bersejarah.









Di Kota baru, gardu distribusi listrik no. 20 yang dibangun pada tahun 1918 untuk melayani kebutuhan listrik di kawasan Nieuw Wijk atau Kota Baru dimanfaatkan sebagai kanvas oleh Kelompok Seniman "Apotek Komik" ketika mereka giat dengan proyek Mural Kota. Bangunan itu hingga kini berlukiskan burung dan sangkar.

Sementara di Kotagede, Babon Anim yang letaknya tidak jauh dari Pasar Gedhe sudah berulang kali berubah fungsi. Sempat jadi pos polisi, gardu ini direncanakan untuk menjadi pos informasi wisata Kotagede. Ambruk ketika gempa tahun 2006, gardu ini berdiri tegak kembali seturut program rehabilitasi dan rekonstruksi di Kotagede.

Bagaimana dengan gardu-gardu lain?
Rasanya gagasan pemanfaatan perlu dikembangkan dengan terbuka pada inisiatif masyarakat. Dua contoh di Yogyakarta menunjukkan bagaimana masyarakat baik yang tinggal bersama gardu maupun yang tidak telah mendorong pelestarian gardu-gardu tersebut.





Babon Anim Kotagede




Lain-lain:
Perusahaan-Perusahaan Listrik Swasta & Kota Praja pada Masa Kolonial Hindia Belanda
(Sumber: http://www.pln-jabar.co.id/nama_perusahaan.htm)

1. NV NIGM
Nederlans Indische Waterkracht Electriciteit Maatschappij
Regionale Consessie: Batavia, Kebajoran, Meester Cornelis, Tangerang, Medan, Palembang, Makassar, Manado, Tandjung Karang en Atjeh.

2. NV ANIEM
Algerneen Nederlands Indische Electriciteit Maatschappij
Regionale Consessie: Oost Java, Centrale Java, Banjarmasin, Pontianak en Singkawang.

3. NV GEBEO
Gerneenschappelijke Electriciteit Bedrijven Bandung en Ornstreken
Regionale Consessie: West Java.

4. NV NIWEM
Nederlands Indische Waterkarch Electriciteit Maatschappij
Regionale Consessie: Samarinda en Tenggarong.

5. NV STEM
Samarinda Tenggarong Electriciteit Maatschappij
Regionale Consessie: Samarinda en Tenggarong.

6. NV EMBP
Electriciteit Maatschappij Balikpapan & Bagan Siapi-api
Regionale Consessie: Balikpapan & Bagan Siapi-api.

7. NV EMB
Electriciteit Maatschappij Banjumas
Regionale Consessie: Banjumas.

8. NV EMR
Electriciteit Maatschappij Rembang
Regionale Consessie: Rembang.

9. NV OJEM
Oost Java Electriciteit Maatschappij
Regionale Consessie: Lumajang en Situbondo.

10. NV ELECTRA
Electriciteit Maatschappij Electra
Regionale Consessie: Tulungagung.

11. NV SEM
Soloche Electriciteit Maatschappij
Regionale Consessie: Solo, Klaten en Bojolali.

12. NV EMS
Electriciteit Maatschappij Sumatra
Regionale Consessie: Bukittinggi en Sibolga.

13. NV EBALOM
Electriciteit Maatschappij Bali & Lombok
Regionale Consessie: Denpasar, Ampenena, Singaraja, Ternate en Gorontalo.

14. NV EMTO
Electriciteit Maatschappij Timor Onderhorigheden
Regionale Consessie: Kupang en Waingapu.

15. NV EMA
Electriciteit Maatschappij Ambon
Regionale Consessie: Ambon.

16. NV YOUNGE
Electriciteit Maatschappij SW Younge
Regionale Consessie: Tanjung Pinang.

17. NV PRAPAT
Electriciteit Maatschappij Prapat
Regionale Consessie: Prapat, Balige, Sidikalang en Sungai Penuh.

18. NV REB
Electriciteit Maatschappij Bedrijven
Regionale Consessie: Lamongan, Trenggalek, Kendangan en Barabai.

19. NV GEB
Gerneenlijke Electriciteit Bedrijven
Regionale Consession: Padang, Jambi, Pematang Siangar, Batavia, Rengat, Tandjung Balai, Turuntung en Madiun.
Regionale Consessie: Solo, Klaten en Bojolali.


Saturday, September 19, 2009

Spasialisasi Pusaka...

Awalnya adalah gagasan mengenai adanya pusaka. Menyadari bahwa kehidupan berjalan linear, maka apa yang terjadi di masa sekarang sesungguhnya mendapat pengaruh dari yang terjadi di masa lalu. Dengan demikian, yang terjadi di masa mendatang merupakan buah dari kejadian di masa lalu serta masa sekarang.

Dalam "Architecture of the City", Rossi berpendapat bahwa artefak kota tidak sekadar sebuah bentuk fisik, melainkan non fisik yaitu berbagai memori mengenai bagaimana kota dibangun. Rasanya ini yang mengantar kejadian di masa lalu untuk bisa diketahui di masa sekarang.

Tentu saja, banyak pemahaman yang mengolah gagasan ini. Dalam "The Politics of Ruins and the Business of Nostalgia" Maurizio Peleggi menunjukkan bagaimana pemerintah Thailand mengangkat artefak-artefak dari masa lalu sebagai heritage atau pusaka bangsa melalui berbagai penelitian historis yang dilanjutkan dengan kegiatan konservasi. Kalau sebelumnya, bangunan ibadah Budha sebagai pusaka, maka kemudian artefak dari periode Sukhothai ataupun Ayutthaya. Pada perkembangannya, pariwisata melihat dengan cara yang lain yaitu sebagai obyek wisata.

Seperti Roma tidak dibangun dalam 1 hari, makna pusaka juga tidak sekali jadi. Apa yang terlihat sebagai sebuah artefak, bisa saja memiliki nilai signifikansi yang berbeda-beda. Implikasinya tentu saja pada pilihan tindakan pelestarian karena rasanya tiap signifikansi punya konsekuensi sendiri. Signifikansi berpengaruh pada elemen apa yang harus dipertahankan dan boleh dikembangkan. Begitulah bagaimana gagasan kemudian menemukan bentuknya....

Monday, August 31, 2009

Colonial buildings of Indonesian plantation town left to crumble

Sebenarnya tulisan lama, dikirim Meutia Chaerani lewat milis FDU. Saya ambil lagi karena akhir-akhir ini sering lewat Klaten, dan selalu melewati pabriknya PG Gondang, yang kalau dilihat rasanya kurang terawat.

MEDAN, Indonesia, April 5 (AFP) --

Art deco
homes, Chinese shopfronts, Moorish-inspired landmarks and Malay stilt-houses -- Medan's rich blend of architectural heritage tells the story of its unique history.

But the 600 colonial buildings gracing this city on the jungle-clad Indonesian island of Sumatra, the centre of a plantation boom more than a century ago, is slowly crumbling and activists blame apathy and ignorance.

"Medan, when it comes to old buildings, has reached a critical, worrying stage. We have reached the point where destruction should be halted for good," warns Soehardi Hartono executive director of the non-profit Sumatra Heritage Trust.

Medan's architectural heritage reflects the cosmopolitan nature of its population back in the 19th century, when it began a rapid expansion after tobacco and rubber plantations planted by Dutch settlers flourished on Sumatra.

Dutch and British expatriate families lived in opulent mansions from where they oversaw personal fiefdoms of thousands of Indonesian and migrant plantation workers, while Chinese merchants dominated trade.

Today a fusion of colonial buildings designed by the Dutch as well as British architects -- who came from their own nearby outpost of Penang -- mix with an array of others in this city on the banks of the Deli River.

The western settlers left Medan after Indonesia proclaimed independence from the Dutch in 1945, and their plantations were taken over by the young state. While tobacco continues to be grown in North Sumatra, palm oil has since replaced it as the region's top crop.

This city of some two million people, now Indonesia's fourth largest, remains largely off tourist maps, although glimpses of its more sedate past can still be seen in what remains.

But according to Hartono, less than a fifth of the 600 significant buildings are properly cared for, with the remainder neglected or simply left vacant, putting Medan's living history at risk.

Tavip Kurniadi, who heads the North Sumatra chapter of the Indonesian Association of Architects, says a combination of factors have conspired to threaten the buildings.

"Ignorance on the side of building owners and a lack of political will to preserve those buildings on the part of decision-makers are the core causes behind the ongoing rate of destruction," Kurniadi says.

He says that agencies were aware of the buildings' importance but lacked the power to protect them, with their top officials harbouring no vision for the future -- a complaint echoed around Indonesia, the world's fourth most populous nation, when it comes to urban planning.

"They are thinking short term, and business and economic considerations override other considerations most of the time when it comes to handing out permits and licenses" to pull down or modify buildings, Kurniadi says.

Ketut Wiradnyansa, who heads the government's North Sumatra Archeology Office, counters that compared to other major Indonesian cities, Medan's old buildings are "in general still in relatively good condition".

However, he agrees that stricter enforcement of existing laws is possible.

"We already have laws and regulations, at city, provincial and national levels. They are not perfect but if we could get them strictly enforced, it would represent a great step towards the preservation of the city's cultural and historical heritage," Wiradnyansa says.

But there has been a failure too to follow the spirit of the heritage laws.

For instance the former Bank Modern building, a prominent landmark, was torn down except for its two-storey facade and five new storeys now incongruously protrude upwards behind it.

The 1929-built building by Stork, a Dutch company supplying machinary to various plantation companies here, had been a focal point of Medan's former business district of Kesawan.

"The city authorities argue that the municipal law on protected old buildings only demand that the facade of the buildings in Kesawan be unchanged -- and nothing is mentioned of the inside part," Hartono says.

Nevertheless, Hartono says public awareness about the importance of the city's heritage is gradually growing, with his community-run organisation generating greater interest here.

The municipal administration also plans to survey heritage buildings next year, he says.

The Sumatra Heritage Trust meanwhile is actively lobbying authorities to expand Medan's list of 42 heritage buildings and provide incentives for owners of old buildings to care for them rather than tear them down.

"We have already lost many (of the buildings) and their destruction should not be in vain. Their destruction should become a lesson for us all, that it should be prevented in the future," Hartono says.

Wednesday, April 11, 2007



Ada dua orang yang bilang kalau Hue cantik, Pak
Emile dan Ju. Mereka terkesan dengan Citadel yang World Heritage dan makam2 raja dari dinasti Nguyen (Raja Gia Long dan seterusnya). Pak Emile menambahkan saja kalo konservasi Citadel terlalu brutal karena metode restorasinya dan makam2 kurang terawat.

Aku sendiri tidak begitu terkesan dengan Hue. Tentu saja Citadel perlu mendapat apresiasi sendiri. Meskipun entah bagaimana aku harus mengapresiasi, sebuah model Citadel, struktur dari periode tertentu. Atau apa.

Tapi dalam skala kota, absennya kaitan antara manipulasi ruang dan produksi imej membuatku ilang mood atas kota ini.

Kota yang baik menurutku dibangun atas sebuah identitas (Thanks buat Arif). Ada sesuatu yang ingin dinyatakan dan lantas dispasialisasikan. Teori "Image of the City" soal landmark, node serta path yang dibangun Lynch mungkin bisa menjelaskan apa yang boleh kita cari atas sebuah kota. Tentu saja di atas itu politik tertentulah yang akan menjelaskan apa yang mendorong produksi imej tersebut. Boston akan berbeda dengan Jakarta (Kusno), Hanoi (Wright) atau Bangkok (Askew) bukan karena semata2 tipologi bangunannya, tetapi aktor2 yang berbeda yang berperan.

Tapi globalisasi -mungkin- telah mendorong kota2 untuk menjadi semakin sama. Produksi mal, hotel di atas jalinan 'jaringan internasional' hotel tertentu membuat absennya produksi imej yang unik. Apa hubungan antara Citadel dan sebuah calon hotel di jalan Huong Vuong? Tidak ada. Sedangkan Citadel diakui sebagai karakter Hue. Kalaupun hotel ini dibangun di atas laut, apa ada yang kehilangan? Tidak. Dibangun di atas bulan sekalipun tidak masalah karena secara tipologis dirancang untuk bisa dibangun di manapun.

Kontinuitas. Ingin sekali melihat kota yang memang dibangun secara kontiniu. Entah karena direncanakan dengan baik. Atau setidaknya struktur dibangun dengan pertimbangan yang tertata secara metodologis bukannya karena mantas2i. Struktur adalah instrumen untuk memanipulasi teritori lebih dari sekadar perpanjangan kapital.

Sunday, April 08, 2007

World Heritage Site or World Tourism Site


Sepuluh hari lalu aku di Hoi An untuk sebuah workshop. Satu malam di Hue dan pulang dengan kereta malam. Reunification Express yang menghubungkan Saigon (HCMV) dengan Hanoi.

Perjalanan makin menyenangkan karena diskusi panjang lebar dengan satu pasangan dari Jerman, Marcus dan Gwendoline. Marc, seorang fire engineer bekerja di London serta Gwen bekerja di urusan TI di Paris (dunia memang sempit bukan). Buat mereka, Vietnam adalah kunjungan pertama mereka ke Asia.

Diskusi kami terjadi di seputaran pengalaman selama di Hoi An. Atmosfer yang dirasakan di Hoi An menggelitik kami untuk mempertanyakan soal2 seperti ada apa dengan heritage, world heritage. Apa manfaat dan apa peran aktor2 tertentu dalam bidang ini.

Turisme merupakan pangkal soalnya. Hoi An memang luar biasa. Dengan banyak struktur tua yang terpelihara bisa jadi sebuah kisah keberhasilan sebuah kawasan konservasi. Dengan orang2 yang tinggal di kawasan ini, jadilah satu contoh pula untuk kisah sukses konservasi living heritage. Tapi buat kami Hoi An terlalu jauh sehingga kesan yang muncul justru sebuah teater living heritage. Gwen bahkan menyamakan Hoi An dengan disneyland, taman bertema yang secara spasial ditata sedemikian untuk jadi sebuah paket atraksi.

Sebetulnya, mungkin tidak sejauh itu. Tapi komersialisasi yang terlalu berlebihan mungkin membuat kesan semua2 yang ada di Hoi An hanyalah sebuah tontontan. Deretan kafe2 cantik a la Eropa, resto lokal dengan tawaran cooking class, deretan taylor serta toko sepatu yang semua2 menyasar turis memberi cap yang dalam spasialisasi industri kultural. Begitu pula kehidupan yang sebenarnya normal seperti orang2 yang duduk2 depan rumah, melakukan ritual ibadah, akhirnya tampak menjadi bagian dari tontonan tersebut.

Ketika mengaitkan dengan turisme yang menyasar orang barat, Gwen kemudian berhipoteses bahwa predikat world heritage sebenarnya hanya alih2 barat untuk mempertahankan hegemoninya atas Asia. Konsep barat sebagai yang dominan dan menempatkan Asia sebagai obyek eksplorasi. Meskipun yang disasar adalah orang barat berduit dengan dalih sumber devisa, pembangunan atau apapunlah namanya, namun pemosisian antara siapa memanfaatkan siapa adalah pertanyaan mendasarnya.

Diskusi kami hanya berputar2 pada pertanyaan tanpa jawaban. Tapi kami sepakat bahwa setiap orang, bangsa berhak... untuk memberi jawaban...:)

Monday, March 26, 2007

Les Elément Constitutifs de la Ville de Hanoi

Il y a quatre modèles de structure de la vile de Hanoi mais ces modèles se mangent.

Le première modèle est la cité impériale, structure politique et administrative qui a disparu à la deuxième moitié du 19ème siècle en raison de la colonialisation français. Hanoi a perdu sa cité en 1882 lors de la prise par le militaires Française ce qu'a entrainé la chute du pouvoir royal.

La ville marchande traditionelle qui a perduré malgré l'histoire
est le deuxième modèle. Cette ville s'est peuplé de ruraux sous l'ordre royal et sont devenus artisans et commerçants. Hanoi aurait subi également l'influence de la ville-comptoir d'origine chinoise qui s'organise en compartiments dans les diffèrents quartiers.

La ville coloniale constitue le troisième élément. C'est un ensemble homogén, construit sur de grands axes. Cette ville différent du reste de la ville, est basé sur la ségrégation ethnique pour pouvoir dominer. Après l'indépendence, elle s'intégre au reste de la ville. Les bâtiments coloniaux seront réhabités sous des formes différentes, preuve d'un réaménagement possible non à l'identique. Au niveau architectural, il faut retenir une implantation dans la structure urbaine et de nouveaux styles.

Le quatrième élémént est le modèle du village communal qui forme le territoire autour de la ville. La maison typique est l'habitation rurale qui a des formes flexible grace aux terrains réduits.

Cet quatrième modèle est juxtaposé par le cinguième modèle : le quarter de grand ensemble de logement collectifs. Ce modèle a eu pour but de résoudre le problème urbanistique, sociaux et humaine en adoptant cette nouvelle forme architecturale venant de l'étranger. (résumé d'un article de C.Pédelahore de Loddis, paru dans "Etudes Vietnamiennes")

Sunday, March 18, 2007

Whose Identity, Whose Heritage


I'd like to open this article by quoting King (1991), "the political economy of colonialism focused attention on the unequal distribution of power, between Europeans as colonizers and Indians as colonized, in the production of the built environment: a situation in which a cultural division of labour needed to be built into any explanatory model".

It doesn't correspond directly to what I'm thinking now about the cultural heritage in the present (colonialism) Hanoi. However, it does make me consider that somehow the concept of heritage was possibly created under the influence of the economy, society, culture and their relation to building form (copied from p. 107). It is the logic of colonialism itself which can explain the work of this concept. Especially as Cooper (2002) has explained that what actually happened with the practices of urban design and architecture in Indochina was an ambuigity. On one hand, it intended to express French good will in associating local culture to French spatial planning, but on the other hand it intended equally to strengthen the distribution of colonial power in the colonized territory (Lim, 2006). In this context, the role of the "local" cultural heritage was to become the tools to differentiate the European built forms from the indigenous forms.

The next question is how we can explain changes from "local" building forms into French version of historic monument.

In Vietnamese perspectives, the notion of heritage derived from the idea of monument, an establishment constructed with memorial value. This mode of production can be seen at the construction of the Van Mieu Temple by Ly Thai To in respecting the Confucianism (1047). Other establishments such as pagodas (Chua), temples (Den) and communal houses (Dinh) built by people over period were also the expression of this idea. Those places are until now used to remember important people and also as worship place. Furthermore, from the old cartography of Hanoi, we may see that the ensemble of nature and built environment were also treated as monuments (Mangin, 2002).

(Urban) heritage in Hanoi was transfered as a concept during the period of French dominiation (The importation of this term also took place in other colonized countries in south-east asia cities). As concept, according to Choay (1999), its origin meaning was historic monument. This was French invention which emerged at the late of 18th century. This concept later was formalized with the establishment of the historic monument office in 1830 and some regulations. During the French colonial expansion, this concept was spread over the world including to Indochina along with the religious, military and administrative mission (Mangin, 2002).

To transform this abstract concept into a concrete practices
in different territory is not a very difficult task to carry out. Firstly, because this concept was equipped with clear criteria concerning the value of the monument. This variety of value was based on this several issues, for instance (1) the age of the building; (2) architectural value (Mangin, 2002). Secondly, there was already the organisations like the EFEO who were in charge and whose interest relate to cultural heritage.

In 1930s, a list of historic monuments was made by the Ecole Française d’Extrême-Orient (EFEO). It showed the emergence of concern to Hanoi's archaeological relics (Pédélahore, 1993). The list included the vestiges of old citadel and religious building: pagodas, temples and communal house. Certain specific buildings from hundred of year’s history were claimed as historic monuments by modifying the vietnamese cultural value into western value (Mangin, 2002) under the French interest. For instance, the Quan Chuong Gate was put in the list since the governor Jean Dupuis first entered Hanoi trough this gate. This gate is the only gate from 13 gates which was decided to preserve whike the other gates were totally demolished.

This concept and definition of urban heritage involved the term of heritage restoration and conservation as the means to protect the monuments from serious damage. The data base was then used to develop a practical and applicable value system (Cooper, 2002) which was at that time officially introduced as heritage regulations.

Different case was the master plan of Hanoi created by Ernest Hébrard, an architect-urbanist which was the director of the service d’urbanisme, manifested an attempt to think carefully in designing an Indochinese metropolitan city. In this master plan, the modernity of Hanoi was overlaid on existing traditional city of Hanoi. The museum of Louis Finot, the museum of EFEO(now museum of history) and the Pasteur Institute were the fruit of Hébrard’s architectural design in incorporating the western technology to the Vietnamese knowledge. The use of indigenouse architecture elements to decorate those buildings can be seen as an attempt to achieve a consolidation between the local and the French culture. Like in other colonial constructs, the physical bodies of this architecture represent the interest of the colonizer. Thus, instead of creating the form of consolidation (this word I borrow from Lim, 2006), this architecture in fact tried to create a definition for itself.

Briefly, those two stories -cultural heritage and Indochinese architecture - seemingly tended to create a condition in which architectural artifact can contains identities of the local culture. On the contrary, a
s it is argued by Cooper (2002) by using western perspectives, this whole process actually more or less is the way of re-creating the image of Hanoi city for the sake of western interest. Its intention was actually to express the difference between the colonizer and the colonized. The colonizer was represented by its modernity as it was shown in the design of (now) French Quarter while the colonized remained traditional. Urban Heritage, although it was produced from the local architecture, was a manipulation to be a model to divide the colonizer and colonized.

---

Bibliography

Cooper, N., 2000, Urban Planning and Architecture in Colonial Indochina : French Cultural Studies

Hung, Tran, Enjeux de la Conservation du Patrimoine Urbain in Hanoi - Enjeux Modernes d’une Ville Millénaire. Paris. Edition Trames, 2002.

Logan, W.L., 1995, Heritage planning in Post-doi moi Hanoi. The National and International contributions: Journal of the American Planning Association, v. 61, no. 3 (Summer 1995).

Papin, Philipe. Hanoi. Histoire de La Ville. Paris: Fayard, 2001.

Pédelahore de Loddis, Ch."Hànôi, miroir de l'architecture indochinoise", Etudes vietnamiennes, n. 107 (1993 / 1).

Phuc, Nguyen Vinh. Ha Noi Past and Presents. Hanoi: The Gioi, 2004.

Tuesday, March 13, 2007

Refleksi lagi soal "heritage"

Aku selalu memikirkan sesuatu yang kurang dalam pendekatan konservasi heritage. menurutku heritage itu sendiri perlu dilihat definisinya yang tepat sebelum masuk pada aksi-aksi konservasi dan itu kelihatannya tidak secara serius digarap. Karena definisi itu tidak terjawab, jangan salahkan bila sering “heritage” diartikan untuk perlakuan terhadap bangunan tertentu (tua atau antik) saja. Akhirnya berhenti pada restorasi yang membutuhkan biaya tinggi. Karena ada kesulitan pengadaan dana, akhirnya harus mencari bantuan asing. Dalam model ini, kita kemudian berada pada sistem dunia per”heritage”an. Konsekuensinya kita juga mengadopsi pengetahuan-pengetahuan asing yang diformulasikan dalam banyak Charta (charta sendiri model peresmian pengetahuan bukan), deklarasi serta lainnya. Tanpa didasari pada pendefenisian terlebih dulu apa itu “heritage” yang kita punya, kita justru menjadi gagap mendefinisikan operasionalisasi “gerakan heritage”. Debat soal apakah produk kolonial bisa menjadi "heritage" merupakan representasi kebingungan antara di satu sisi pengakuan atas "arsitektur modern" dengan teknik serta estetikanya dan di sisi lain (tidak ada) pengakuan atas arsitektur yang merupakan peninggalkan jaman terkolonisasi yang kelam.

Atau mengharap bantuan kapitalis (pengusaha) untuk memberi bantuan tapi jangan lupa pula bahwa fundamentalnya kapitalis adalah soal “untung-rugi” sehingga melibatkan kapitalis tentu dengan diiringi kemampuan untuk menunjukkan bahwa terlibat di soal heritage memiliki manfaat yang sebanding dengan laba ekonomis (Begitu Pak Antok?).

Tulisan Choay kiranya dapat membantu melihat akar persoalan heritage terutama urban heritage lebih jelas. Fundamental heritage bukannya definisi yang sudah ada, tetapi terkait dengan bidang-bidang yang lain. Urban heritage, misalnya, dilihat sebagai solusi untuk persoalan identitas bagi suatu teritori (kota atau apapun). Heritage yang mewakili periode, prestasi atau identitas kemudian menjadi penanda dalam bentang teritori yang luas. Kenangan (monumen) yang dikandung oleh heritage dimanipulasi supaya faktor tersebut dapat menjadi milik bersama.

Nilai kultural yang ada pada heritage secara fisik (kemegahan konstruksi, keunikan) ataupun secara keindahan seni dibuat sedemikian sehingga heritage dapat mewakili identitas yang kita bayangkan. Kenapa identitas yang kita bayangkan? Karena bukan pada “heritage” itu kita menemukan identitas kita, tapi kita membadankan identitas kita. Gagasan tentang identitas yang di awang-awang kita carikan bentuk2 fisiknya, di mana kita menggantungkan standar nilai tertentu yang diadopsi dan dipahami secara kolektif.

Bahayanya: heritage dapat menjadi mainan2 orang tertentu untuk mempresentasikan identitasnya sendiri2. Jadi sifatnya individual sekali. Baik arsitek, sejarawan atau arkeolog dapat menggunakan heritage sebagai alat untuk menyatakan dirinya atau khususnya keilmuannya yang diklaim sebagai “identitas” kolektif.

Sementara pemerintah, mereka mengolah monumen sebagai heritage untuk menyatakan kekuasaannya. Identitas yang digagas oleh baik pemerintah serta arsitek dan kaum akademia lain kerap didorong untuk memberi logika bagi peresmian serta pelestarian “heritage”. Ketidakseimbangan terjadi ketika gagasan yang dikelola satu komuniti tidak disampaikan dengan baik pada komuniti yang lain.

Orang2 yang tinggal bersama “heritage” justru seolah menjadi korban dari “proses pembentukan identitas” yang digagas oleh kelompok tertentu. Ya, aku pikir itulah yang kerap terjadi pada “gerakan heritage” yang kerap belepotan dalam menyampaikan obyektifnya.

Note:
Istilah “heritage” aku pakai. Karena definisi dibangun bersama dengan konsep, mengalihbahasakan tentu tidak berarti dapat mentransfer definisi serta konsep yang telah melekat pada istilah tersebut.