Saturday, November 06, 2010

DENGAN BDL BIDANG PUSAKA, MELESTARIKAN KEAHLIAN BERTUKANG JOGLO

Dimuat di http://rekompakjrf.org/index.php?act=isiberita&id=228
Tanggal : 11/10/2010

Salah satu pusaka yang signifikan dan merupakan bagian tak terpisahkan dari karakter Kawasan Kotagede adalah rumah-rumah tradisional. berbagai ragam rumah tradisional Jawa yang ada, yaitu rumah joglo, limasan maupun kampung. Ciri khas yang membedakan satu dan lainnya adalah bentuk atapnya. Di antara ketiganya, bentuk atap joglo merupakan yang terumit. Selain rumah tradisional, ada pula rumah Kalang yang dibangun oleh Kaum Kalang yang sukses pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Meskipun sedikit sekali rumah tradisional baru, diperkirakan masih ada ratusan rumah tradisional di Kawasan Kotagede. Jumlah tersebut Tidak banyak yang mengetahui tata cara memperbaiki maupun memelihara sehingga tidak semua rumah dalam kondisi yang baik.

Gempa pada 26 Mei 2006 menunjukkan apa adanya kondisi rumah-rumah tersebut. Tim Pusaka Jogja Bangkit UGM (PJB) melaporkan kerusakan 88 dari sekitar 150 rumah tradisional akibat goyangan gempa. Rinciannya, ada 8 rumah tradisional (9%) rusak, 47 rumah tradisional (54%) roboh dan tidak dapat dihuni, 16 rumah tradisional (18%) roboh sebagian dan tidak dapat dihuni serta 17 rumah tradisional (19%) retak-retak.

Tidak hanya di Kotagede sebenarnya. Banyak bangunan pusaka yang mengalami kerusakan seperti rumah-rumah di Kawasan Njeron Beteng, bahkan Bangsal Trajumas di Kompleks Keraton dan Candi Prambanan dan menimbulkan pertanyaan, siapa yang akan merehabilitasi pusaka-pusaka yang mengalami kerusakan tersebut. Sebagai satu pusaka dunia, Candi Prambanan ditangani dengan dukungan UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization).

Sementara pemugaran rumah-rumah tradisional di Kotagede didukung oleh berbagai organisasi yang peduli pelestarian termasuk lembaga internasional. Dengan dukungan International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) yang berkantor di Paris dan perwakilan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia di Belanda, Jogja Heritage Society (JHS) telah menominasikan Kawasan Pusaka Kotagede sebagai situs terancam bahaya ke World Monuments Watch di New York. Pada tahun 2008, Kawasan Pusaka Kotagede dinyatakan sebagai salah satu dari 100 List of World Endangered Sites. Upaya revitalisasi Kawasan Kotagede telah menjadi perhatian dunia. Namun begitu, siapakah yang dapat menangani rumah-rumah tradisional tersebut kalau tidak para ahli bangunan setempat.

Hampir lima tahun setelah gempa, belum semua rumah yang rusak telah dipugar kembali. Proses masih berjalan dimulai dengan kegiatan Community Empowerment Program (CEP) yang merupakan kerjasama antara UGM dan Japan International Cooperation Agency (JICA), Tim PJB bersama masyarakat menyeleksi rumah tradisional yang dapat diperbaiki dengan dana Pemerintah Belanda serta donor lain. Kriteria pemilihan adalah adanya kehendak pemilik untuk terus melestarikan serta kerelaan untuk pemanfaatan rumah tersebut bagi fungsi publik.

Rumah pertama yang direkonstruksi dengan dukungan Pemerintah Belanda terletak di utara Pasar Gede di wilayah Kelurahan Prenggan. Rumah ini diberi sebutan Omah Lor Ing Pasar dan dimanfaatkan oleh masyarakat pemerhati pusaka. Dana dari Pemerintah Belanda disalurkan pula untuk merehabilitasi rumah Keluarga Joko Nugroho di Kelurahan Purbayan, serta Keluarga Edy Priyanto dan Keluarga Sudibyo Prasetyo (Gembong) di Desa Jagalan. Sementara, rehabilitasi dan rekonstruksi Omah UGM di Desa Jagalan didanai bersama-sama oleh JICA, perusahaan Total Indonesie, dan perusahaan Exxon Mobile Oil.

Perusahaan Total Indonesie juga memugar rumah Keluarga Mukadi yang terdapat di Kelurahan Purbayan. Rumah ini digunakan untuk kegiatan lingkungan bahkan pengelolaannya dilakukan bersama dengan warga di lingkungan tersebut. Rumah ini disebut Omah Cokroyudan sesuai dengan nama kampung tempat rumah ini berada.

Program Rekompak-JRF konsisten dengan proses rehabilitas dan rekonstruksi di Kawasan Kotagede, yaitu berbasis pelestarian dan komunitas. Contohnya adalah Pak Is, salah seorang warga yang sedang ikut menangani pemugaran rumah tradisional di Desa Jagalan Kabupaten Bantul. Terlibat dalam menangani Omah Cokroyudan, bekal pengalaman tersebut dimanfaatkan sepenuhnya oleh Pak Is dalam menangani rumah Pak Herlan. Rumah yang sedang ditanganinya dalam rangka implementasi BDL (Bantuan Dana Lingkungan) untuk pusaka ini terletak di klaster Soka-Tumenggungan dan bagian pendapa memenuhi kriteria penanganan rumah privat, yaitu kerusakan pada bagian strukturnya.

Pemugaran dilakukan sejak hari Sabtu, 25 September 2010. Persiapannya sudah dilakukan jauh hari sebelumnya termasuk penggambaran secara mendetil. Dari hasil identifikasi yang dilakukan oleh warga, beberapa kolom dari total yang berjumlah 12 batang di bagian pinggir atau soko rowo perlu diganti. Bagian struktural lainnya yang mendesak ditangani adalah sambungan pada tumpang sari yang telah keropos. Pada bagian ini, saka guru tidak menyambung pada pertemuan antara blandar pamidangan panyelak maupun pamanjang. Kedua elemen ini yang menjadi prioritas untuk ditangani karena merupakan bagian struktural yang penting.


Kerusakan pada bagian tumpang sari dan saka rowo/gonjo

Oleh Panitia Pembangunan (PP), pemugaran dimulai dengan memperbaiki saka rowo. Untuk sementara saka rowo diturunkan dan perannya digantikan dengan bambu untuk mempertahankan bagian atap tetap pada posisinya. Tujuannya supaya tidak perlu membongkar seluruh bagian atap.

Pemahaman Pak Is terhadap kaidah pelestarian terlihat dari bagaimana ia mengelola pemugaran rumah ini. Menurutnya, kayu bekas saka rowo jangan langsung dibuang begitu saja. “Kalau dibuang sayang, karena masih dapat dimanfaatkan. Bagian yang rusak dapat dipotong dan disambung dengan kayu lainnya,” katanya menjelaskan.

Pada saat kunjungan tim heritage NMC, Pak Is terlihat sedang mengerjakan ukiran untuk bagian gonjo, yaitu bagian yang mempertemukan saka rowo dan blandar (panyelak maupun pamanjang). Ia menunjukkan dua gonjo yang tidak dapat digunakan lagi karena telah keropos. Kayu yang digunakan sebagai gonjo didapatkan dari saka rowo. Setelah digambar pola ornamennya, ia kemudian menatah sendiri kayu tersebut dengan peralatannya. Pengalamannya selama bekerja di perusahaan mebel sejak tahun 1980-an telah membuatnya fasih dalam mempertemukan tatah dan kayu.

Tak dapat dipungkiri, penanganan pusaka pasca gempa menunjukkan bahwa orientasi pelestarian tidak lagi pada monumen yang adiluhung, tetapi juga pusaka rakyat sebagai cipta karya masyarakat. Masyarakat yang memiliki rumah tradisional dan ambruk peduli untuk mengembalikan pada bentuk yang semula ketimbang membangun rumah yang baru. Meski begitu, dalam masyarakat sering timbul pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya tata cara dalam memugar rumah joglo yang mereka miliki. Apa yang sedang dialami Pak Is dkk dapat menjadi perhatian bagi masyarakat Kotagede lainnya supaya menjadi pembelajaran bersama. (Sumber: HUD / Sosinfo - NMC Rekompak-JRF)