Sunday, May 06, 2007

Sejarah Kota Museum (1)





Damn!!!

Kita menghadapi bagian2 kota yang semakin sama, secara rasa dan rupa. Penyakit yang akut bernama "memuseumkan ruang kota" menjebak di antara batas yang ditipis2kan antara memori dan kontekstual

Memori harusnya dibangun secara 70-80an. Ingatan kembali dituntun dengan deretan rapi foto2 dalam album foto. Dalam periode yang berikutnya, foto2 ditata rapi dalam folder2 laptop kita. (Teknologi dan kegagapan yang berlebihan bahkan mendorong orang2 untuk memelihara memori sampai pada batas2 privasinya.)

Dalam skala kota, memori dibangun dengan membuat museum. Oke, candi2 antik yang tersebar di Jawa Timur dan Tengah bisa dibayang2 dengan mengunjungi museum2 nasional seperti di Jakarta. Atau manfaatkan buku sejarah. Kalau kurang, kunjungi langsung candi2 dan elemen2 hiburannya yang diharap2 bisa membangun imaji2 sifat yang baru. Seperti mengunjungi museum perang, apa kita mengharapkan mengalami perang? Apa yang diharapkan?

Tanpa berangkat dari pertanyaan terakhir, memorialisasi telah dibadankan dalam ruang2 kota kita. Alih2 menjadi beda di bawah ancaman globalisasi, proyeksi metode dan produksi menghasilkan persamaan.
Sedang kontekstual, sebenarnya menempatkan proses yang natural dari perubahan pada kota sebagai dasar intervensi atas kota. Tapi membuat ruang kota semakin sama, karena kontekstual diartikan dengan konsumsi citra, memanfaatkan yang ada dengan fungsi yang baru. Boleh jadi manfaat baru muncul. Tapi seperti lumrah terjadi, konsumsi citra juga bisa jadi penyakit (atau bukan) yang baru seperti gentrifikasi....

Membangun Kota Sendiri

Tapi apakah itu dunia kecil kita? Seperti apa kita menggambarkan dunia itu dengan kata2? Apakah model kosmologi Jawa, di mana kita mengimajinasikan dunia atas diri kita atas gunung dan laut. Atau kosmologi Cina (Feng Shui)? Tradisi mungkin membesarkan kita dengan pengetahuan2 yang menempatkan kita pada suatu bentang geografis. Kiri dan kanan dalam konteks kota modern yang dibangun secara rasional. Tapi utara, timur, selatan serta barat yang menempatkan kita pada bentang yang lebih spesifik. Yang lokal. Tapi keseharianlah yang sebenarnya menempatkan kita pada dunia. Geografi yang lebih manusiawi berdasarkan pengalaman keseharian. "Dari sana, terus sampai ke kios koran di kiri jalan, terus belok kiri. Jalan sekian meter ntar di kanan jalan." Detil2 yang hilang dari tuturan geografis itu dilengkapi dengan keseharian kita masing2. Hasilnya adalah sebuah peta yang lengkap dalam imajinasi kita. ....

But in the Postmodern age, architecture and the city will restore private life to its rightful place, in many different forms. For example: narrow streets that are fun to walk along all by yourself; pocket parks just the right size for a couple to squeeze into, hand in hand; a bench set under a single tree; space with the thrill of a maze; special places, restaurants, boutiques that suggest you are the only one who knows where they are; places that are so frightening and terrifying that you never dare to return; places that come alive at night; a little niche where you can lose yourself in your own thoughts. These are core images of private life. By incorporating spaces of private life into the city, and into its public spaces, they will become more interesting and more complex.
(Kisho Kurokawa, EACH ONE A HERO-The Philosophy of Symbiosis)


Narrow, fun dan lainnya adalah pilihan2 yang individual. Tentu saja, standar2 arsitektur dan urban boleh memberi angka2 yang pasti tapi memberi kesamaan dan akhirnya mengaburkan batas individual. Seperti ruang2an yang dihasilkan oleh resto, kafe yang fashionable, yang turistik. Kecenderungan mereka untuk menciptakan imaji2 sendiri, mendorong kita untuk mengonsumsi imaji2 tersebut. Ketimbang membangun dan memikirkan sendiri, kita tunduk pada simbol dan maka detil2 tingkah yang menjadi bagian dari bangunan imaji tersebut. Trendy, fashionable, cs.

Bagaimanapun, kata2 sifat itu yang membuat kita dapat berkuasa atas dunia kecil kita (atas dunia yang luas ini). Kecenderungan setiap orang untuk secara nyata menyatakan "kekuasaannya". Maka tidak akan habisnya kota menjadi medan tanda2 ini.