Friday, May 11, 2007

Sejarah Kota Museum (2)



Sebagai bagian dari generasi yang dikenyangkan dengan sejarah panjang penjajahan dan perjuangan kemerdekaan, pertanyaan sederhana untuk Hanoi adalah "kenapa tidak ada cerita seram" seperti Daendels. Apa kolonisasi hanya seram di Nusantara? Apa eksploitasi maksimal hanya di Nusantara? Vietnam memang membenci -waktu itu- Prancis, tapi itu merupakan resistensi kultural (baru perang2 menjadi cerita seram yang mempengaruhi identitas tradisional orang Vietnam). Metode kolonisasi Prancis adalah mengimplan total struktur metropolis dengan tesis "urbanisme kolonial". Meskipun sama juga seperti Belanda dan Inggris yang membangun struktur pinggiran pada kota2 di Nusantara, tapi imajinasi reflektif tentang Paris memberi kriteria tersendiri bagi pembangunan Hanoi, dan Vietnam secara umum.

Apa itu urbanisme kolonial dan sampai batas apa menentukan rupa Hanoi. Masih berlanjut....

Sunday, May 06, 2007

Sejarah Kota Museum (1)





Damn!!!

Kita menghadapi bagian2 kota yang semakin sama, secara rasa dan rupa. Penyakit yang akut bernama "memuseumkan ruang kota" menjebak di antara batas yang ditipis2kan antara memori dan kontekstual

Memori harusnya dibangun secara 70-80an. Ingatan kembali dituntun dengan deretan rapi foto2 dalam album foto. Dalam periode yang berikutnya, foto2 ditata rapi dalam folder2 laptop kita. (Teknologi dan kegagapan yang berlebihan bahkan mendorong orang2 untuk memelihara memori sampai pada batas2 privasinya.)

Dalam skala kota, memori dibangun dengan membuat museum. Oke, candi2 antik yang tersebar di Jawa Timur dan Tengah bisa dibayang2 dengan mengunjungi museum2 nasional seperti di Jakarta. Atau manfaatkan buku sejarah. Kalau kurang, kunjungi langsung candi2 dan elemen2 hiburannya yang diharap2 bisa membangun imaji2 sifat yang baru. Seperti mengunjungi museum perang, apa kita mengharapkan mengalami perang? Apa yang diharapkan?

Tanpa berangkat dari pertanyaan terakhir, memorialisasi telah dibadankan dalam ruang2 kota kita. Alih2 menjadi beda di bawah ancaman globalisasi, proyeksi metode dan produksi menghasilkan persamaan.
Sedang kontekstual, sebenarnya menempatkan proses yang natural dari perubahan pada kota sebagai dasar intervensi atas kota. Tapi membuat ruang kota semakin sama, karena kontekstual diartikan dengan konsumsi citra, memanfaatkan yang ada dengan fungsi yang baru. Boleh jadi manfaat baru muncul. Tapi seperti lumrah terjadi, konsumsi citra juga bisa jadi penyakit (atau bukan) yang baru seperti gentrifikasi....

Membangun Kota Sendiri

Tapi apakah itu dunia kecil kita? Seperti apa kita menggambarkan dunia itu dengan kata2? Apakah model kosmologi Jawa, di mana kita mengimajinasikan dunia atas diri kita atas gunung dan laut. Atau kosmologi Cina (Feng Shui)? Tradisi mungkin membesarkan kita dengan pengetahuan2 yang menempatkan kita pada suatu bentang geografis. Kiri dan kanan dalam konteks kota modern yang dibangun secara rasional. Tapi utara, timur, selatan serta barat yang menempatkan kita pada bentang yang lebih spesifik. Yang lokal. Tapi keseharianlah yang sebenarnya menempatkan kita pada dunia. Geografi yang lebih manusiawi berdasarkan pengalaman keseharian. "Dari sana, terus sampai ke kios koran di kiri jalan, terus belok kiri. Jalan sekian meter ntar di kanan jalan." Detil2 yang hilang dari tuturan geografis itu dilengkapi dengan keseharian kita masing2. Hasilnya adalah sebuah peta yang lengkap dalam imajinasi kita. ....

But in the Postmodern age, architecture and the city will restore private life to its rightful place, in many different forms. For example: narrow streets that are fun to walk along all by yourself; pocket parks just the right size for a couple to squeeze into, hand in hand; a bench set under a single tree; space with the thrill of a maze; special places, restaurants, boutiques that suggest you are the only one who knows where they are; places that are so frightening and terrifying that you never dare to return; places that come alive at night; a little niche where you can lose yourself in your own thoughts. These are core images of private life. By incorporating spaces of private life into the city, and into its public spaces, they will become more interesting and more complex.
(Kisho Kurokawa, EACH ONE A HERO-The Philosophy of Symbiosis)


Narrow, fun dan lainnya adalah pilihan2 yang individual. Tentu saja, standar2 arsitektur dan urban boleh memberi angka2 yang pasti tapi memberi kesamaan dan akhirnya mengaburkan batas individual. Seperti ruang2an yang dihasilkan oleh resto, kafe yang fashionable, yang turistik. Kecenderungan mereka untuk menciptakan imaji2 sendiri, mendorong kita untuk mengonsumsi imaji2 tersebut. Ketimbang membangun dan memikirkan sendiri, kita tunduk pada simbol dan maka detil2 tingkah yang menjadi bagian dari bangunan imaji tersebut. Trendy, fashionable, cs.

Bagaimanapun, kata2 sifat itu yang membuat kita dapat berkuasa atas dunia kecil kita (atas dunia yang luas ini). Kecenderungan setiap orang untuk secara nyata menyatakan "kekuasaannya". Maka tidak akan habisnya kota menjadi medan tanda2 ini.

Saturday, May 05, 2007

Mengisi Kota, Merangkai Makna

Heidegger, misalnya, beranggapan bahwa pengetahuan filosofis tentang "Ada" sudah terselip dalam keseharian. Oleh karena itu, alih-alih berfokus pada "Ada" yang abstrak, filsafat diminta berhening di depan samudra keseharian. Para filsuf dituntut Heidegger agar berlaku layaknya mistikus keseharian.
Donny Gahral Adian

Apa yang kita harapkan kita lihat dari jendela rumah kita? Di luar dari dunia kecil yang mewakili memori kita, yang mengawinkan dunia nyata dengan abstrak, di luar sana adalah dunia yang tidak tertata. Dunia di mana ide yang tidak sama mengadu kekuatan untuk dispasialkan. Di sini kita membawa dunia kecil kita ke luar rumah kita. Dengan itu, meskipun secara fisik kita meninggalkan rumah, secara ruang kita selalu menempatkan dapat menempatkan diri dalam dunia yang lebih besar tanpa batas yang jelas.

Kota adalah sebuah instrumen untuk mengendalikan teritori. Pengetahuan tentang itu dibangun dalam periode2 berbeda, seperti kue lapis atau bawang bombay, kota berlapis2 mewakili periode2 yang berbeda. Tapi, apakah melihat kota seperti mengiris bawang dalam lapisan2nya? Mengupas bawangpun dengan gaya, satu2 dalam gagasan yang kelihatannya sambil lalu tapi terumuskan secara tetap. Memotong menjadi dua, lalu dua lagi. Membiarkan sisi yang rata merapat pada telenan, lalu memotong dari sisi yang paling pipih secara teratur tiap sekian mili. Alih2 secara periode, kota sebenarnya dibangun menurut suatu intensi. Siapa yang peduli atau boleh, darinya intensi atas kota terspasialisasi.

Tapi kalau tidak hati2, gagasan ini bisa mudah usang. Siapa bilang intensi individual boleh merumuskan (sekaligus mengendalikan) bentuk kota. Kesepakatannya adalah bagaimana mendorong dunia2 kecil bisa menemukan tempatnya di dunia yang besar. Karena itu, daripada mencari sesuatu yang abstrak untuk mewakili yang umum, keseharian kemudian dipahami dan dicarikan bentuknya. Bukan berarti menyerahkan keseharian untuk merayakan dan menyatakan dirinya. Secara haluspun, dunia2 kecil akan saling bersinggungan dan membentuk kesepakatan2 spasial-sosial.

Sumber Teks:
Donny Gahral Adian, Filsafat Tanpa Kedaulatan Semantik, http://kompas.com/ (Senin, 30 April 2007)


Thursday, May 03, 2007

A Talk with Johannes Widodo

Komunitas Gerilya Kota bekerjasama dengan Jurusan
Arsitektur UII mempersembahkan:

A Talk with Johannes Widodo
"Sense of Place: Singapore Experience"

Kafe Momento
Jl. Jembatan Merah (Timur LB LIA) Gejayan Yogyakarta
Jumat, 4 Mei 2007
Pukul 18.30-20.00 WIB


Asian cities sebagaimana ditengarai oleh para arsitek,
termasuk Rem Koolhas, Korff, dan pengamat perkotaan
lainnya adalah salah satu wilayah di dunia ini yang
sangat dinamis, penuh perubahan terutama yang
berkaitan dengan wajah kota dan identitasnya.

Berjalan-jalan ke seantero Asia kita akan mendapati
juxtaposition antara bangunan-bangunan pencakar
langit yang terbaru dengan bangunan heritage atau
bahkan slum area hanya di dalam jarak satu pelontaran
batu. Keadaan ini menjadikan "Sense of Place" menjadi
isu yang sangat penting untuk dibahas dan dikenali
elemen-elemen pembentuknya.

Singapore sebagai salah satu kota yang paling
progresif di Asia dalam perkembangan fisik kota dari
hasil pertumbuhan ekonomi negara yang pesat ternyata
banyak menyimpan kisah-kisah sukses dan kegagalan dari
para urban designernya. Catat saja, tahun 1970 an
ketika Singapore berubah menjadi hutan beton dan
membabat beratus-ratus bangunan bersejarahnya,
akhirnya merasa semakin kehilangan identitas dirinya.
Baru di tahun 1980an akhir menyadari penting aset
bangunan pusaka nya dan merubah visi pembangunan kota
yang peka terhadap pelestarian bangunan pusaka dan
ini terbukti dari semakin ramainya Singapore sebagai
tujuan wisata kota sebagai implikasi dari kegiatan
urban conservation terutama di Chinatown, Little
India, dan Kampung Glam.

Dr. Johannes Widodo seorang Arsitek, Urban Historian
yang menjabat sebagai salah satu Dosen di Jurusan
Arsitektur National University of Singapore akan
berbagi tentang pengalaman Singapore dalam
mempertahankan Sense of Place-nya ditengah pelukan
globalisasi dan modernisme dalam segala lini.

Kehadiran teman-teman ditunggu untuk meramaikan
diskusi ini, ditunggu ya...

Komunitas Gerilya Kota
Jurusan Arsitektur UII

Wednesday, May 02, 2007

RUKO-Elemen Konstitutif Kota-Kota di Asia






Rumah Toko (Ruko) yang kerap kita temui di berbagai kota dunia sebagai bangunan komersial, konon, merupakan bangunan arsitektur Tiong Hoa. Adaptasi dengan keadaan setempat membuat bentuknya beragam dan ada yang yang sudah tidak mengikuti aturan feng shui. Kalau sampai bentuk ruko ini dapat eksis di banyak kawasan lain, tentunya ini arsitektur ini memiliki faktor yang membuatnya dapat beradaptasi dengan kota dan konteks yang berbeda. Menarik untuk membincangkan faktor apakah tersebut, lebih jauh lagi, dikaitkan dengan bentuk kota-kota yang terus berkembang.


Diaspora Tiong Hoa dan Terbentuknya Kota

Kota-kota di Asia Tenggara dapat dikelompokkan kota perdagangan dan kota pertanian (Lombard 1994). Meskipun keduanya, antara perdagangan dan pertanian, memiliki karakter sendiri, bukan berarti kota perdagangan tidak didukung oleh keberbedaan hasil-hasil pertanian, demikian pula kota pertanian tidak akan hidup tanpa adanya pasar.

Pedagang Tiong Hoa merupakan faktor yang cukup penting dalam tumbuhnya kota-kota tersebut, terutama kota dagang. Kita tahu bahwa, kedatangan mereka pertama kali terangkai dengan pelayaran yang dimaksudkan untuk berdagang, misalnya rempah-rempah. Mereka kerap singgah di pelabuhan-pelabuhan sepanjang pelayaran mereka, baik untuk mengadakan transaksi atau mengisi persediaan. Sembari menunggu angin yang memungkinkan melanjutkan perjalanan, para pedagang itu tinggal di daratan dan membangun kelompok permukiman. Konstruksi rumah tersebut sama dengan yang pernah tinggali di daerah asalnya. Permukiman tersebut juga dilengkapi dengan bangunan pendukung seperti pasar dan klenteng membentuk suatu pola permukiman tertentu. Dengan itu, mereka telah membuat identitas yang unik pada lokasi yang mereka bangun.

Dengan latar inilah, kawasan-kawasan komersial yang dihuni oleh masyarakat Tiong Hoa (kerap disebut Pecinan), bersama dengan kampung-kampung penduduk asli, pusat pemerintahan, pasar dan pelabuhan menjadi elemen konstitutif terbentuknya sebuah kota.

Menyadari potensi tersebut, kawasan komersial yang dihuni pedagang Tiong Hoa dikonstruksi pula untuk mendorong aktivitas komersial serta pengembangan sebuah kota. Seperti di Yogyakarta, kita lihat dapat menemukan permukiman Tiong Hoa di sebelah utara Pasar Beringharjo, sekarang dikenal Kampung Ketandan. Selain karena ada aturan keluaran Belanda yang membatasi pergerakan dan permukiman orang Tiong Hoa, Sultan Hamengku Buwono II menempatkan mereka di kawasan tersebut dengan tujuan untuk mendorong aktivitas pasar dengan dukungan aktivitas komersial para pedagang Tiong Hoa.

Hal serupa juga ditemui di Hanoi, di kawasan yang sekarang dikenal dengan 36 Old Streets Quarter, letaknya antara kawasan pusat pemerintahan dan Sungai Merah. Kawasan ini dirancang sebagai daerah pasar dan daerah pertukangan yang kemudian dihuni pedagang Tiong Hoa serta asing lainnya (Ros 2001). Sementara di Thailand, Raja Rama IV dalam usahanya mengembangkan strategi pembangunan Bangkok sampai mengirimkan mentrinya untuk mempelajari kawasan komersial di Singapura. Hasilnya, ruko-ruko baru dibangun di sepanjang perpanjangan jalan Charoen Krung sebagai strategi untuk membuat kawasan komersial, sekaligus mengembangkan kawasan di luar pusat Bangkok masa itu. Ruko-ruko tersebut kemudian dimanfaatkan baik pedagang Tiong Hoa juga pedagang barat (Borthaam 2004).

Rumah Toko

Bangunan-bangunan rumah toko (ruko)-lah elemen yang penting dari kawasan pedagang Tiong Hoa. Bangunan khas yang dulu hanya dibangun di kawasan permukiman Tiong Hoa ini dianggap tepat untuk beraktivitas komersial sekaligus untuk tinggal di kota. Sistemnya di mana dalam satu bangunan terdapat fungsi residensial dan komersial dianggap ideal, sehingga tipe bangunan ruko kemudian menjadi elemen penting dalam menciptakan sebuah daerah komersial di banyak kota (Godlblum 1989). Fungsi campuran itu membuat bentuk ruko dianggap efektif; pemilik toko bisa mengawasi langsung barang-barang dagangannya saat malam hari. Pemilik toko bisa mengurangi biaya transportasinya karena tidak perlu berpindah dari rumah (kalau berada di daerah lain) ke toko. Selain itu, bila dibutuhkan mudah mendapat bantuan dari anggota keluarga yang lain.




Jenis arsitektur ini sendiri mungkin dibawa oleh para pelayar Tiong Hoa dari Cina daratan bagian selatan, seperti Provinsi Fujian dan Guangdong. Di kota Quanzhou, kita bisa menemukan arsitektur tipe ini eksis di sekitar pelabuhan (Elisa 1999; Widodo 2004).

Bangunan ruko awalnya dapat ditemukan di berbagai belahan bumi yang dibangun oleh para pedagang Tiong Hoa dalam misi pelayaran perdagangan mereka, misalnya di Malaka, Singapura, Batavia dan Semarang. Organisasi ruang dalamnya mungkin berbeda-beda antar daerah, tapi elemen perkotaannya; letaknya yang berhadap-hadapan mengapit tegak lurus jalan, berada tepat di tepi jalan dan dibangun berderet (Widodo 2004), merupakan unsur yang permanen yang ditemui di daerah-daerah tersebut. Deretan-deretan ruko sendiri bisa terkonsentrasi dalam satu kawasan dan membentuk blok, ataupun linier mengikuti suatu ruas jalan tertentu. Jalan Malioboro di Yogyakarta yang terkenal merupakan deretan ruko yang mengikuti jalan tertentu, sedang Kawasan Ketandan yang ada di belakangnya kemudian merupakan konsentrasi ruko-ruko dalam blok-blok.

Ruko biasanya dibangun penuh di atas suatu persil memanjang serta diapit langsung ruko tetangganya, sehingga ruko hanya memiliki satu fasad muka yang berada di atas tepi jalan. Fasad depan arsitektur ruko tidak lebar, rata-rata 4-6 m, sedang kedalamannya dapat mencapai 20 m, bahkan 50 m seperti di Hanoi dan Taiwan.

Untuk menambah luasan ruangan, konstruksi berarti pekerjaan membangun lantai yang lebih tinggi. Menurut Elisa (1999), ruko di Batavia awalnya dibangun satu lantai. Untuk memperbesar luasan bangunan sekaligus beradaptasi dengan sistem pembagian blok yang dikembangkan pemerintah kolonial, kegiatan bisnis dan hunian kemudian direalisasikan dengan pemisahan lantai bangunan. Kegiatan bisnis yang pokok ditempatkan di lantai pertama, dan hunian ditempatkan di atasnya. Teknologi masa lalu yang mengandalkan kayu sebagai struktur membatasi jumlah lantai secara alami, sehingga ruko tua biasanya terbatas terdiri dari dua lantai. Namun di kota lain ditemui ruko yang sudah sejak awalnya terbangun berlantai dua.

Di beberapa kota, ada yang muka lantai pertama ruko dimundurkan kira-kira 5 kaki dan ruang yang dihasilkan dimanfaatkan untuk sirkulasi. Lantai dua yang kemudian lebih lebar berfungsi sebagai peneduh. Ruko-ruko di Singapura mengadopsi sistem ini pada masa pemerintahan Raffles. Sementara ruko di sepanjang Malioboro dimundurkan pada tahun 1980an atas usul tim perencana kota Yogyakarta, Rm. Mangunwijaya dan tim. Ruko model ini lantas menyerap kehadiran aktivitas komersial yang menggunakan kotak-kotak tidak permanen sebagai etalasenya, kemudian disebut pedagang kaki lima (PKL). Di Malioboro, hubungan ruko dan PKL tersebut membuat kehidupan di jalan lebih dinamis.

Konstruksi baru yang muncul seiring dengan perkembangan kota biasanya juga bercampur dengan kultur setempat. Di Singapura, ruko-ruko tua diperkaya dengan dekorasi yang merupakan kombinasi seni Eropa, Tiong Hoa dan lokal (URA 1995). Sementara di Indonesia, contoh yang nyata dapat kita lihat di Denpasar, didorong cita-cita untuk menempatkan identitas lokal di setiap bangunan, fasad ruko dihiasi dengan ragam hias tradisional Bali (Lancret 1997).

Ruko Sekarang

Model ruko telah populer sebagai inspirasi bagi pembangunan kota modern. Karakter campurannya, residen dan komersial membuatnya dapat beradaptasi dengan kota modern.

Keberadaan ruko dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan suatu kawasan. Kita lihat kawasan Kya-Kya, Kembung Jepun di Surabaya, Gang Lombok di Semarang dan Kawasan Ketandan, Yogyakarta yang perlahan bertransformasi, selain tetap menjadi kawasan komersial juga menjadi kawasan wisata makanan tradisional dan wisata pecinan (Kompas 25/01/2006). Tentu saja, tanpa keberadaan masyarakat yang tinggal di kawasan, rencana ini hanya akan bersifat reka-reka dan tanpa jiwa.

Lebih jauh, karakter komersialnya yang dapat dibangun di tepi jalan di atas lahan kecil, dan dapat ditingkat menjadikan ruko alat untuk mengembangkan suatu kawasan. Ruko telah memiliki peran penting dalam menciptakan kantung-kantung komersial di kota, tidak lagi terbatas pada permukiman atau kawasan Tiong Hoa. Sayangnya, ini kadang lebih mengutamakan pertimbangan untuk meminimalkan biaya konstruksi sehingga nilai estetika dan kenyamanan yang kita temui pada ruko-ruko tua lantas diabaikan. Banyak ruko yang dibangun dengan tingkat lebih dari dua, namun tidak lagi disertai dengan lubang udara ataupun halaman belakang terbuka sehingga tidak ada sirkulasi udara dan penerangan alami untuk lantai-lantai bawah.

Bagaimanapun, ruko telah dianggap bentuk arsitektur yang tepat untuk daerah komersial. Bentuk ini juga dapat mengikuti berkembangnya kegiatan ekonomi dan sosial dari waktu ke waktu dan di kota yang berbeda. Terbukti, kita bisa melihat bagaimana sampai sekarang banyak konstruksi direalisasikan dalam bentuk ruko. Tantangannya sekarang adalah menghasilkan bentukan yang nyaman untuk dimanfaatkan dan atraktif untuk menciptakan wajah kota yang menarik serta hidup.

(tulisan ini pernah dimuat di Kompas, tapi aku lupa tanggal muatnya)

Le Marais : Strategi Konservasi dalam Konteks Transformasi Paris








AWAL ABAD 20, ketika Paris yang juga ibukota Prancis sedang mencari yang penting adalah bagaimana sebuah kota dengan sejarah panjang dan kaya dengan peninggalan bersejarahnya dapat terintegrasi dengan dinamika perkotaan dan munculnya kebutuhan-kebutuhan baru.

Gagasan Plan Voisin datang dari arsitek kelahiran Swiss, Charles-Edouard Jeanneret kemudian bernama Le Corbusier : menghancurkan bagian-bagian historis kota Paris yang terlalu padat dan kumuh, sehingga di pusat kota, lahan akan tersedia bagi menara-menara -yang dipadu dengan ruang terbuka hijau- sebagai habitat dari tiga juta penduduk Paris.

Paris ternyata memilih untuk tumbuh dengan melestarikan bentuk kota tuanya -ketimbang mengikuti ide Le Corbusier- sebagai bagian dari pembentukan identitas perkotaan. Terbukti, salah satu kawasan yang historis yang sebenarnya kumuh kemudian sungguh dilestarikan : Le Marais.

Terletak di sisi kanan Sungai Seine, dia kawasan historis Paris yang khas karena pernah menjadi pusat pertumbuhan dan aktivitas di Paris. Selain itu, dia juga memiliki arti penting dalam proses transformasi urban Paris sebagai kawasan tempat dilakukannya eksperimen-eksperimen renovasi perkotaan.

SEJARAH le Marais dimulai pada abad 11, komunitas Order of the Temple membangun permukiman mereka dengan terlebih dulu membersihkan daerah rawa-rawa yang terjadi akibat luapan Sungai Seine. Daerah ini tepatnya terletak di utara dinding perlindungan yang dibangun oleh Raja Philippe Auguste. Tiga abad kemudian (1360), Charles V, raja Prancis membangun kediamannya, Hôtel St Pôl di le Marais dengan terlebih dulu memperluas dinding perlindungan Paris untuk memasukkan kawasan tersebut yang populasinya mulai berkembang.

Puncak pembangunan terjadi pada masa pemerintahan Henry IV, raja terbesar Prancis. Henry IV memperluas dinding Paris serta memelopori model arsitektur urban modern dengan membuat taman Place des Vosges (1605-1612) berbentuk segi empat (140mx140m) yang dikelilingi deretan bangunan-bangunan hampir simetris terbuat dari bata dengan aksen garis-garis vertikal dari batu serta arkad yang melengkung. Taman dan bangunan yang melingkupinya kemudian menjadi model di kota-kota Eropa lainnya. Lansekap urban yang indah membuat kaum bangsawan dan borjuis tertarik membangun rumah mereka yang selanjutnya membuat le Marais semakin berkembang. Pertumbuhannya terhenti, ketika pada masa Louis XIV para bangsawan meninggalkan Paris berpindah mendekati Istana Versailles dan membuatnya berangsur-angsur terpuruk.

RESTRUKTURISASI urban besar-besaran oleh Georges Eugène Haussmann untuk membawa Paris menjadi modern mengintegrasikan ide komposisi kota yang baru ke struktur lama Paris berdasarkan pusaka urbannya. Proyek ini merupakan wujud cita-cita Napoleon III yang ingin melihat Paris, menjadi ibukota negara yang indah dan sederajat dengan ibukota negara Eropa lainnya, baik sosial dan ekonomi. Sayang le Marais batal dikenai proyek ini sehingga belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam jaringan komunikasi kota Paris.

Kawasan dengan rentang sejarah 8 abad makin terbengkalai dan menjadi daerah industri kecil dan produksi kerajinan yang kumuh. Antara 1895-1905, bagian layanan kesehatan kota Paris melakukan pemeriksaan dengan mengunjungi setiap bangunan-bangunan permukiman. Tahun 1920, 17 îlot (kumpulan blok-blok bangunan yang dibatasi jalan) dinyatakan kumuh dan diusulkan untuk direnovasi. Kebanyakan terletak di pinggiran Paris yang luput dari renovasi Haussmann. Kekumuhan terkait dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat estetis dan kesehatan seperti jarak antar bangunan hanya 12 m dibanding tinggi bangunan yang bisa mencapai 5 lantai sehingga tidak memungkinkan sinar matahari dan udara masuk ke lantai dasar. Kondisi demikian dinyatakan mudah menimbulkan penyakit TBC. Luas total 17 ïlot tersebut 250 ha dengan populasi waktu itu 186 594 orang.

Ilot n° 16 berada, di kawasan le Marais, sebelah timur Hôtel de Ville (balai kota) yang berarti meskipun kumuh namun memiliki latar historis yang dalam. Problem tersebut dilihat sebagai kesempatan bereksperimen mengembangkan teori disain urban. Muncul pertentangan antara yang ingin menggusur saja îlot-îlot tersebut seperti digagas Le Corbusier atau mempertahankannya seperti para arsitek yang ingin melindungi bagian bersejarah serta meningkatkan nilainya, seperti Robert Azuelle dan Albert Lamparde (1940). Pihak yang terakhir ini memandang lebih baik membersihkan bangunan-bangunan baru di bagian dalam îlot yang disebut Azuelle parasit daripada menghancurkan sama sekali seluruh îlot.

Membersihkan bagian dalam berarti memberi jarak lebih besar antar bangunan untuk membiarkan udara dan matahari masuk ke dalam masing-masing ruangan. Metode tersebut digagas oleh arsitek Italia, Gustavo Giovannoni (1931) untuk tetap memelihara garis yang dihasilkan deretan muka bangunan dan mempertahankan wajah kota lama secara keseluruhan.

PROBLEM berikutnya muncul pada tahun 1960an, alih-alih isu îlot kumuh dan rencana pembuatan bangunan perkantoran, banyak bangunan tua di le Marais dihancurkan tanpa melihat sejarahnya. Setelah menghentikan rencana penghancuran Hôtel de Vigny, Andre Malraux, yang ketika itu mentri kebudayaan, akhirnya membuat undang-undang pembentukan kawasan yang dilindungi dengan syarat kawasan tersebut menunjukkan karakter bersejarah, nilai estetis tinggi dan kultural yang pantas untuk dilestarikan, direstorasi dan ditingkatkan nilainya baik keseluruhan ataupun sebagian dari kesatuan bangunan yang ada. Ditetapkan 4 Agustus 1962, Aturan Malraux ini mengacu pada seberapa penting kawasan tersebut bagi Negara, bukan lokal semata.

Aturan yang tadinya menyikapi aksi penolakan masyarakat setempat (kemudian melahirkan Association pour la sauvegarde et la mise en valeur du Paris Historique), terutama atas rencana penghancuran bangunan tua di Paris, selanjutnya diterapkan luas di seluruh Prancis dan diaplikasikan dengan pengatributan ‘rencana pelestarian dan peningkatan nilai’, PSMV (le plan de sauvegardé et de Mis en Valeur). Andre Malraux meyakini, bahwa suatu bangunan pusaka tidak hanya bernilai karena keberadaannya- sejarah ataupun estetis-, namun juga dimaknai dari lokasinya. Dan Paris ingin melindungi keduanya untuk menjaga keutuhan nilainya.

Atribut PSVM pada suatu kawasan memberi asosiasi arsitek Prancis, ABF (Les Architectes des Bâtiments Français) dan Kementerian Kebudayaan hak untuk mengabulkan atau menolak pemberian ijin pembangunan dan pembongkaran guna membuat sesedikit mungkin perubahan terutama penggunaan persil di kawasan yang dikonservasi. Dengan agen perbaikan permukiman ANAH (l’Agence Nationale de l’Amélioration de l’Habitat), ABF bekerja sama untuk mendapat subsidi bagi proyek renovasi bangunan2 tua yang memiliki nilai sejarah tinggi. Di seluruh Prancis ada 98 (data 2001) dengan PSMV le Marais sebagai satu dari dua yang ada di Paris. Luasnya 126 hektar, terletak di dua distrik 3 dan 4 Paris, merupakan kawasan konservasi yang terluas di Prancis.

Dengan Aturan Marlaux, perubahan fisik menjadi terbatas namun tetap memperhatikan aspek fungsi, sosial dan ekonomi kawasan. Fungsi tiap bangunan baik fungsi residensial serta komersial dipertahankan. Pemilik bangunan tidak bisa sembarang bahkan merubah fasad bangunan, juga dekorasi dan kondisi interiornya. Untuk meningkatkan nilai kawasan, le Marais kemudian didorong menjadi sebuah area unik museum, galeri seni dan situs bersejarah yang dilindungi, seperti Museum Picasso, Museum Carnavalet, Places des Vosges atau rumah penulis terkenal Prancis Victor Hugo.

Ketika kegiatan turisme berkembang, butik lokal ataupun yang memegang hak merk-merk mahal, kafé serta restoran turut tumbuh dinamis. Kecenderungan kemudian, meskipun bukan lagi tempat tinggal para bangsawan dan borjuis, suasana yang hidup membuat le Marais kawasan yang makin diminati untuk ditinggali, walaupun berarti nilai tanah dan harga sewa menjadi mahal. Demikian Paris dapat mempertahankan bangunan-bangunan juga lingkungan tuanya, membangun identitasnya sekaligus menggerakkan aktivitas ekonomi distrik kawasan tersebut.


PENGALAMAN le Marais menunjukkan bahwa usaha konservasi bangunan-bangunan tua selain tuntutan alasan emosional juga terintegrasi secara rasional dengan usaha transformasi kota. Faktor penting mengapa memilih melindungi bangunan-bangunan tua serta lingkungannya muncul dalam visi melakukan transformasi Paris dengan memberi ciri khusus bagi kota secara keseluruhan, kota bersejarah. Selain adanya peran pemerintah dan masyarakat setempat, strategi konservasi juga mengacu pada aktivitas ekonomi dan kondisi sosial kawasan yang efeknya merubah dari kawasan kumuh menjadi berkelas.