Friday, October 14, 2011

ia Anang Saptoto

Malam kemarin kami bertemu. Sekitar empat video report "Green Map" yang digarapnya bersama rekan-rekan Green Map Maker lain ditayangkan di Dalem Sopingen, Kotagede. Salah satu videonya, tentang restorasi tembok Masjid/Makam Kotagede. Dibuat tahun 2006, video ini katanya selesai dua tahun kemudian. Sebenarnya rekaman audia/video yang jarang ditemukan dari sebuah proses pelestarian.
Beberapa tahu lalu, kami pernah diskusi tentang Lahan Resapan yang kemudian menjadi salah satu program keseniannya:
AWAS! LAHAN RESAPAN
(Water Supply Areas) 
Anang Saptoto was born in Yogyakarta, September 23, 1982. He currently lives and works in the city. He graduated from Akademi Desain Visi Yogyakarta, Visual Communication Design Department and Indonesian Institute of the Art, Television Department. He is a part of Ruang MES 56 community, Video Report Jogja. He has been actively involved in various contemporary art exhibitions within and outside the country, especially with photography and video medium.

Wednesday, October 12, 2011

tentang Omah UGM

Omah UGM adalah sebuah rumah adat di Kotagede. Pada tahun 2007, UGM membelinya dari keluarga Parto Darsono. Meski lokasinya di Desa Jagalan, sedang kita tahu selainnya ada Kelurahan Purbayan dan Prenggan, prinsipnya rumah adat ini dapat digunakan oleh siapa saja.

Rumah adat Jawa sebenarnya terdiri dari beberapa bangunan, antara lain ndalem, pendapa dan gandok. Pendapa rumah ini sudah lama tidak ada. Untuk itu, dicarilah sebuah pendapa yang kemudian dipasangkan di sebelah selatan bagian ndalem. Pendapa memang selalu berada di depan ndalem.

Mengapa UGM membeli rumah ini?
Setelah gempa tahun 2006, banyak rumah adat yang terkena dampak. Mereka rubuh, rusak dan sementara tidak dapat digunakan. UGM mengambil peran untuk melestarikan pusaka Kotagede dengan membeli rumah ini. Menjadikannya "pusat gerakan pelestarian", rumah ini dapat menyerap dan mendorong dinamika pelestarian di Kotagede. Berbagai kegiatan seperti IFSAH tahun 2007 berpusat di rumah ini.

Terakhir ada kuliah lapangan dari Prodi Magister Rancang Kota ITB sekitar bulan April 2011 yang dikelola oleh Pak Widjaja Martokusumo. Bertepatan dengan pelaksanaan Nawu Sendang ketiga.

Tuesday, October 11, 2011

Jalan

Yogyakarta rasanya sering disederhanakan menjadi sekadar jalan Malioboro. Apa boleh buat, jalan ini layaknya pusat pelayanan kota, dan karenanya semua serba di sana. Mal Malioboro, Pasar Beringharjo, Kepatihan, hotel, oleh2, kuliner, dst. Paris juga dikenal dengan Champs Ellysees dan Barcelona dengan Las Ramblas.
Jalan itu sendiri sesungguhnya menarik. Bisa aja ia makin menarik kalau ada aktivitas. Sekarang kita kenal Kawaan Ngarsopuro di Kota Surakarta, yang direncanakan menjadi arena kaki lima. Ngarsopuro terletak di selatan Pura Mangkunegaran. Tiap akhir pekan jalan ini ditutup untuk kendaraan bermotor dan digunakan untuk pejalan kaki yang ingin menikmati ruang kotanya.
Ingatan melayang sampai ke Melaka, dengan Jonker Street-nya yang sesak. Di Medan ada Kesawan Square dan di Surabaya ada Kembang Jepun. Dua yang terakhir ini sekarang menjadi kenangan.
 

Tun Tan Cheng Lock Centre for Asian Architectural and Urban Heritage

Jurusan Arsitektur NUS punya satu rumah toko (ruko) di Melaka. Ruko ini berlokasi di Jalan Tan Cheng Lock 54-56 dan adalah The Tun Tan Cheng Lock Centre for Asian Architectural and Urban Heritage. Adalah keluarga Tan Cheng Lock yang menghibahkan ruko ini.

Kalau mahasiswa NUS sedang kuliah lapangan, mereka bisa pakai ruko ini. Tidak hanya untuk studio, tp sehari-hari jg utk memajang hasil studio mereka. Ada karya studio Melaka dan juga Fez, Maroko. Di satu rak kaca kecil, ada buku hasil lapangan mereka di Taiping dan Kuala Trengganu.
Rumah ini mengingatkan saya pada Omah UGM di Kotagede....

Friday, September 23, 2011


Sejarah sebuah kampung dapat dilihat dari namanya. Istilahnya toponim.
Yogyakarta salah satu yang sejarah ruangnya dapat dikenali dengan mudah. Nama-nama jalan atau kampung bercerita tentang masa lalunya, meski mungkin tidak sungguh persis benar saya dapat pahami. Kadang-kadang hanya nama saja, tidak ada artefak atau bukti lainnya. Di Malioboro misalnya, ada kampung Dagen, Pajeksan atau Sosrowijayan. Dagen artinya orang yang bekerja di bidang perkayuan. Banyak yang berasumsi kalau di Kampung Dagenlah dulunya merupakan tinggalnya komunitas orang-orang yang ahli di bidang ini. Sementara Pajeksan dari kata "jaksa" sedang Sosrowijayan dari kata "Sosrowijaya". Keduanya menunjuk adanya seorang tokoh, seperti jaksa atau pangeran bernama Sosrowijaya. 
Tentang toponim ini saya temukan juga di Malaka, salah satu world heritage di Malaysia. Salah satu jalan mereka panggil Jalan Tukang Besi. Saya yakin komunitas pandai besi dulunya tinggal di sekitar jalan ini.
Namun dimana para tukang besi itu?

Tidak hanya para tukang besi yang telah pergi, bukti-bukti kehadiran mereka sering tidak ada. Tetapi, penamaan kampung telah bertahan lama. Saya rasa, tiap orang kampung tanpa direncanakan telah memelihara memorinya tentang sejarah kampungnya. Pengalaman di Bumen menunjukkan bagaimana hal ini disampaikan saat generasi yang baru bermunculan. Namun, siapa yang menjamin cerita tersebut serupa versinya.

Friday, July 01, 2011


Lycée Le Corbusier Aubervilliers


Pertama kalinya saya menemukan nama sekolah berdasarkan nama seorang arsitek. Walaupun setelah saya telusuri lagi, sekolah ini semacam SMK di bidang perancangan bangunan.

Thursday, June 30, 2011

Shakespeare and Company


Toko buku ini muncul sekilas di film Woody Allen terbaru, Midnight in Paris (2011). Gil Penders saat itu digambarkan keluar dari toko ini.

Film ini bukan yang pertama menunjukkan toko Shakespeare and Company. Sebelumnya ia muncul pada film berjudul Before Sunset (2004) yang kelanjutan Before Sunrise (1995) dengan setting di Wina.

Shakespeare and Company terletak tidak jauh dari Sungai Seine dan seberang Katedral Notre Dame. Ciri khasnya adalah papan nama panjang, berwarna kuning dengan tulisan nama toko itu. Oya, ada potret Shakespeare juga. Konon buka sejak tahun 1919.

Saya ingat, di dalamnya ada semacam sumur, jauh lebih kecil daripada yang kita kenal di sini. Uniknya sumur itu penuh dengan koin. Ini seperti cerita tentang sumur permintaan. Saya sempat tergelitik untuk menyimpan beberapa koin di sumur itu.

Tidak jauh darinya adalah Quartier Latin. Banyak toko buku besar yang berdampingan dengan restoran, toko suvenir, dsb. Dibanding toko buku lainnya, saya suka tawarannya untuk melepas suasana formal. Ia tidak hanya toko buku, tetapi juga tempat berkumpul yang menyenangkan.

berbagi cerita..














Rasanya selalu ada bagian kota yang diberikan bagi siapa saja yang sekadar datang berkunjung. Di sini semua orang berbagi kenangan dan cerita yang sama. Dan bagi siapapun dan darimanapun, kenangan tersebut memang mudah untuk dimengerti dan dengan rela untuk dibagi bersama.
Misalnya cerita tentang gembok atau "love padlock". Biasanya dipajang di jembatan, seperti di Passerelle-Léopold-Sédar-Senghor di Paris yang menghubungkan dua sisi Sungai Seine di Jardin Tuileries. Kerumunan gembok ini tidak serimbun di Ponte Vecchio. Tapi, mereka berbagi cerita yang sama tentang harapan untuk cinta sepanjang masa.
Atau aktivitas lain diyakini bisa membawa keberuntungan atau setidaknya membawa kita kembali ke kota tersebut. Seperti berdiri di atas Point Zero di depan Katedral Notre Dame, Paris. Boleh percaya atau tidak, tapi begitulah kita bisa menikmati kota-kota itu....

Wednesday, June 29, 2011

Menjelajahi dunia dalam dua jam


Ada dua nama besar dapat ditemukan di plakat ini, yaitu Jacques CHIRAC dan Jean Nouvel. Yang pertama adalah presiden Perancis, sebelum diganti oleh Sarkozy sedang yang kedua adalah arsitek.
Keduanya sepakat untuk menghadirkan sebuah wahana yang dapat mengantar semua orang menjelajahi dunia dalam dua jam, yaitu Museum Quai Branly.

Monday, June 13, 2011

Menghidupi bangunan tua lebih lama..


Salah satu bangunan di Wina yang aku kunjungi adalah Gasometer. Tentang Gasometer ini, ceritanya pertama kali aku tahu saat Prof. Erich Lehnner presentasi di BI (eks DJB) Jogja sekitar dua tahun lalu. Ia dosen arsitektur di TU Wien, Austria.
Gasometer adalah tangki penyimpanan gas yang melayani Kota Wina. Jumlahnya ada empat dengan kapasitas sekitar 90.000 m3 atau yang terbesar di seluruh Eropa. Dibangun tahun 1896-1899 oleh perusahaan gas Gaswerk Simmering.
Lokasinya di Distrik 11, Simmering. Dari pusat kota, bisa menumpang subway nomer 3 jurusan Ottakring-Simmering.
Karena perubahan sumber gas, Gasometer tidak digunakan lagi sekitar tahun 1980an. Kemudian dimatikan, namun sebelumnya telah ditetapkan sebagai pusaka kota sekitar tahun 1978. Bentuknya yang besar, diselimuti oleh material batu-batu terawat dengan baik.
Sekitar tahun 1990an, Kota Wina memutuskan untuk menghidupkan kembali Gasometer. Bukan sebagai Gasometer, tetapi untuk fungsi lain seperti tempat tinggal, komersial dan perkantoran. Ada empat arsitek yang terpilih, yaitu Jean Nouvel (Gasometer A), Coop Himmelblau (Gasometer B), Manfred Wehdorn (Gasometer C) dan Wilhelm Holzbauer (Gasometer D).
Gasometer ini contoh bagaimana bangunan tua dan bersejarah sebenarnya memiliki alternatif perlakukan selain sekadar diawetkan. Contoh lain seperti Museum Orsay di Paris, yang sebelumnya adalah stasiun kereta api. Di Jakartapun kita punya contoh seperti Museum Fatahilah yang sebelumnya adalah Balai Kota.


Friday, June 10, 2011

Kota Ramah Anak

 
Siang ini aku diminta "Cah Irenk" untuk menjadi narasumber di Siaran Green Radio di RRI. Siaran ini merupakan kerjasama antara RRI Pro 2 dan Peta Hijau Yogyakarta tiap hari Jumat, pukul 10 siang.
"Temanya 'Tata Ruang yang Ramah Anak dan Lingkungan," katanya. 
Aku menawar. 
"Cukup yang ramah anak saja." Pikirku, dengan tema itu saja sudah banyak yang bisa dibahas.
Untuk Yogyakarta, konsep "Kota yang ramah anak" bukanlah baru. Tahun 2009 lalu, bersamaan dengan Hari Anak Nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan menetapkan Kota Yogyakarta dan 9 kota/kabupaten lain sebagai ramah anak. Salah satu indikator adalah adanya Taman Pintar, fasilitas kota di jalan Senopati yang ditujukan untuk tempat bermain sekaligus belajar bagi anak-anak.

Menurutku, kota yang ramah sesungguhnya konsep yang tidak hanyak fisikal tetapi juga perseptual. Keramahan tidak hanya dirasakan di satu tempat tertentu, tetapi juga dalam keseharian anak. Mulai ia keluar rumah dan aktivitas apapun yang dilakukannya. 
Selama di Wina, mbak Ririk banyak memotret berbagai ruang terbuka. Berbagai bentuk dan skala. Ruang terbuka kota, kawasan, permukiman. Ia simpulkan, tidak hanya ruang terbuka harus ada, tetapi aman dan perlu atraktif. Tentu saja untuk user-nya, baik anak-anak atau orang tua yang perlu tempat untuk mengasuh anaknya. Tidak bisa pelit soal perabotan lingkungan yang perlu ada untuk merangsang siapapun berkegiatan di ruang kota.

Tram

Pertama kali aku melihat tram adalah di Paris. Rutenya sepanjang jalan lingkar kota. Tram bersilangan dengan jalur RER dan sedikit metro yang membawa warga dari pusat ke arah luar kota. Selain Paris, juga tram di Strasbourg, Milan dan Napoli.

Tetapi tram yang berkesan adalah tram di Bordeaux. Alain Juppe, walikota tahun 1990-an, mengupayakan kehadiran tramway de Bordeaux yang merajang Kota Bordeaux sekaligus memberi akses terhadap pusat kota. Tanpa banyak kendaraan bermotor, bagian kota yang bersejarah tampak lebih ramah untuk pejalan kaki.

Di Indonesia, Belanda juga pernah menghadirkan tram antara lain di Jakarta dan Surabaya. Namun, transportasi ini kemudian kalah saing oleh kendaraan pribadi. Seperti juga tram di Hanoi yang dihapus karena dianggap tidak modern. Nyatanya, beberapa tahun kemudian, kota-kota ini berlomba-lomba untuk menghadirkan kembali tram atau alat transportasi sejenis.

Bulan lalu, aku kembali naik tram. Kali ini mencicipi jalur tram di Kota Wina, Austria. Rasanya masih sama. Dibanding masuk bawah tanah naik subway, tram jelas lebih menarik.