Saturday, July 25, 2009

Bulan Juli lalu, saya ke Palembang. Tidak sangka perjalanan yang pendek terasa padat. Tas di kabin tertukar. Barang yang ketinggalan di Jakarta. Padahal saya tahu, waktu yang akan dihabiskan di Palembang sebenarnya tidak akan lama jadi tidak ada waktu untuk soal-soal di luar rencana ini.

Tahun ini sudah 2 kali saya hadir di Palembang. Beberapa tahun lampau saya tinggal di Bagus Kuning. Salah satu klaster permukiman milik Pertamina. Dinamakan Bagus Kuning, karena konon ada makam Pangeran Bagus Kuning. Lokasinya di tepi Sungai Musi yang kalau ada waktu duduk-duduk di pinggir sungai itu, Jembatan Ampera terlihat dengan jelas. Luar biasa dan mewah.

Satu hal yang tidak pernah saya lakukan saat itu adalah benar-benar berdiri di Jembatan yang dibangun dengan pampasan Jepang ini. Saya pernah jalan dari satu ujung ke ujung yang lain jembatan Long Bien di Hanoi. Juga jembatan di Paris, Roma yang tidak hanya fungsional tapi cantik. Dan Jembatan Gondolayu yang menghubungkan dua sisi Kota Yogyakarta yang dibelah Sungai Code di mana di bawahnya terdapat Permukiman Kali Code yang tenar itu.



Akhirnya, saya bisa juga mampir juga di Jembatan Ampera. Memegang dan turun di kaki jembatan panjang ini. Tepi sungainya sudah ditata dengan pelataran yang rasanya belum dilengkapi dengan fasilitas penyandaran kapal. Cukuplah, dengan pelataran ini saya bisa jalan di sepanjang tepian sungai menikmati rumah terapung, kelenteng, dan kapal2 yang mondar-mandir di atas Sungai Musi.

Saturday, July 18, 2009



Kamis lalu saya hadir di "seminar" tentang Olah Disain dan Pembangunan Ekonomi ARsitektur Pusaka di Gedung Bank Indonesia Jogja. Kaitannya dengan rencana BI untuk merevitalisasi properti mereka yang merupakan eks de Javasche Bank. Pembicaranya Pak Bondan, Bu Laretna dan Pak Erich. Beritanya ada di Kompas. Saya teruskan beritanya di blog saya ini....



Dari Bank Kolonial ke Bank Indonesia Yogyakarta

Jumat, 17 Juli 2009 | 15:15 WIB

Oleh Idha Saraswati

Tak hanya tampilan fisiknya yang anggun dan megah ala bangunan neo-renaissance, konstruksi gedung peninggalan Belanda ini juga sangat kuat. Masyarakat yang kerap melewati kawasan Kilometer nol Yogyakarta pasti akan ikut mengagumi tampilan fisik dari eks kantor De Javasche Bank yang sekarang menjadi kantor Bank Indonesia Yogyakarta ini. Kekaguman itu mungkin akan bertambah manakala mereka mendapat kesempatan untuk menengok ke dalam bangunan.

Mulai 16 Juli, Bank Indonesia (BI) Yogyakarta membuka kantor ini untuk umum. Dibukanya akses bagi masyarakat umum tersebut merupakan awal dari langkah BI untuk memfungsikan kembali gedung tua ini dengan tetap memerhatikan sisi pelestarian bangunan pusaka. ”Renovasinya tidak hanya bertujuan mengembalikan ke bentuknya yang asli, melainkan juga memelihara sejarah yang melekat pada bangunan dan kawasan di sekitarnya,” kata Pemimpin BI Yogyakarta Tjahjo Oetomo, beberapa waktu lalu.

Untuk merenovasi gedung yang berada persis di sebelah kanan Kantor Pos Besar Yogyakarta ini, BI menggandeng tim dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada dan Jogja Heritage Society. Arsitek dan pendiri Jogja Heritage Society, Laretna T Adhisakti, menuturkan, bagi DI Yogyakarta, dibukanya gedung ini akan menambah ruang publik di kawasan Kilometer nol yang saat ini sudah semakin minim. Mendukung bisnis

Kantor Cabang (KC) De Javasche Bank (DJB) ”Djokdjakarta” dibuka pada 1 April 1879 sebagai KC ke-8. Berdirinya KC Djokdjakarta ini terutama untuk mengakomodasi usulan Firma Dorrepaal and Co Semarang. Presiden De Javasche Bank ke-7, Mr N P Van den Berg dan jajaran direksi menyetujui usulan itu mengingat volume perdagangan di Yogyakarta yang semakin besar.

Hal itu tecermin dari jumlah transfer uang ke Yogyakarta melalui KC DJB Soerakarta yang waktu itu mencapai 2 juta gulden-3,5 juta gulden. Yogyakarta pada waktu itu merupakan daerah penghasil gula dengan produksi 300.000 pikul per tahun atau setara dengan 2.580 ton. Cabang DJB Yogyakarta didirikan pada 1879 di atas tanah seluas 300 meter persegi. Tanah tempat DJB berdiri berstatus eigendom yang berarti merupakan tanah milik DJB sendiri dan bukan lagi milik Sultan Yogyakarta.

Sejak 1879 hingga akhirnya dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia pada 1953, fungsi gedung bank ini naik turun. Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, kegiatan operasional bank ini berhenti. Bersamaan dengan itu, Nanpo Kaihatsu Ginko difungsikan Jepang sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa. Setelah melalui masa buka tutup akibat agresi militer Belanda, KC DJB ini beroperasi kembali pada 22 Maret 1950 hingga dinasionalisasi pada 1953. Tahan terhadap tsunami

Laretna menjelaskan, seperti juga gedung DJB lainnya, gedung DJB Djokdjakarta dirancang oleh arsitek Hulswitt dan Cuypers dengan hasrat menampilkan kemegahan arsitektural. Gedung ini terdiri atas tiga lantai yang memiliki ruang-ruang dengan fungsi yang berbeda. Ruang di lantai dasar berfungsi sebagai ruang penyimpanan, dengan brankas besar (ruang khazanah) yang berfungsi untuk menyimpan uang. Di lantai satu terdapat ruang kantor dan kasir yang merupakan fungsi utama dalam gedung bank. Lantai dua dengan tambahan balkon yang dibangun tahun 1950-an menjadi tempat tinggal bagi direksi dan keluarganya.

Menurut Laretna, bentuk muka DJB di DIY ini sangat mirip dengan gedung yang ada di Aceh. Selain bentuknya yang megah, konstruksinya juga kuat. Saat tsunami menghantam Aceh pada akhir 2004, eks gedung DJB yang menjadi gedung BI Aceh luput dari terjangannya. Namun, saat diperiksa, persediaan uang tunai dalam khazanah yang disimpan di lantai dasar ternyata tak tersentuh air barang sedikit pun.

Secara prinsip, lanjut Laretna, gedung DJB akan dikembalikan ke bentuk asal. Lantai dasar akan tetap menjadi ruang penyimpanan, lengkap dengan khazanahnya. Meja kasir di lantai satu akan dikembalikan, ditambah dengan ruang pertunjukan. Lantai tiga akan berfungsi sebagai perpustakaan.

Kelak, selain melihat detail konstruksi bangunan kolonial yang megah dan kuat ini, masyarakat juga bisa berkunjung untuk menambah pengetahuan di perpustakaan. Tak hanya itu, ruang pertunjukan juga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan seni dan sosial.

Laretna menuturkan, proses pemanfaatan gedung ini memakai metode olah desain arsitektur pusaka. Artinya, pelestarian tidak hanya dilakukan dengan mempertahankan bentuk aslinya, melainkan juga memperhitungkan sisi kemanfaatannya.

Old – New Rethinking Architecture in Asia

The 8th Silpakorn Symposium on Architectural Discourse
United Nations Conference Centre, Bangkok

Thursday - Friday, August 20 – 21, 2009

Opposing views, such as old and new, are apparent in architecture in Asia and have raised several questions among architects and societies. Although countries in Asia have been undergoing a process of rather rapid transformation from traditional (old) to modern (new) for over a century, the two have not blended together smoothly.

Keynote Speakers

“Architecture and Cultural Significance”
Professor Rahul Mehrotra, an Indian architect, is known for contemporary architectural design not only in India but also abroad. He has an excellent academic background and practices architecture which engages both the old, in terms of architectural conservation, and the new, in terms of contemporary architectural design.

"Copying the Tradition: Brand New Old Buildings"
Dr. Pierre Pichard, a French architect, is the former director of the Bangkok Centre of the École Française d'Extrême-Orient (EFEO), Bangkok . He has worked for EFEO for over thirty years and has been involved in numerous projects on archaeology, architectural conservation, and the history of architecture in India and Southeast Asia .

“Conservation as a Catalyst in the Development of Historic City”
Professor Dr. Harsha Munasinghe, a Sinhalese architect, specializes in architectural and urban conservation as well as urban design. His current research focuses on heritage and society, development through conservation, ecological sustainability in architecture, and the ergonomics of furniture.

Papers will be presented in Thai and English with Thai translation on broad topics, such as tradition, modernization, Asian identity, internationalization, preservation, development, local wisdom, and modern technology from speakers of India, Sri Lanka, Bangladesh, Australia, Vietnam, Myanmar and Thailand.

Registration and Payment
Student participant: 900 baht or USD$ 40
Regular participant: 1,200 baht or USD$ 50
Please register by August 14, 2009 and download a registration form at http://www.arch.su.ac.th

For more information, please contact
Faculty of Architecture, Silpakorn University , Na Pralan Road, Bangkok 10200 , Thailand
Tel: +662-2215877 ext. 1216, 1218
Fax: +662-2218837, 2215872
Email: SilpakornADS@gmail.com
Website: http://www.arch.su.ac.th

Coco Chanel

Coco Chanel. Hadir saat Perang Dunia I ketika tragedi pembunuhan seorang pangeran Sarajevo. Paris sedang susah karena Jerman sudah dekat. Ada jam malam dan si nyonya besi Eiffel yang gelap.

Ketika Hidup sedang susah, apa iya orang masih berpikir tentang fashion. Ternyata ya, intuisi Coco yang nama kecilnya Gabrielle Chanel mengatakan dengan keterbatasannya pun orang akan berusaha tampil cantik. Fashion dimurahkan tapi cocok dengan kebutuhan perempuan pekerja. Butiknya di Deauville menjadi perwujudan visinya bahwa perempuan berbaju untuk diri mereka sendiri dan bukan untuk laki-laki mereka.

Film ini menunjukkan bagaimana Peragaan busana diadakan di dalam rumah, dekat tangga. Pengunjung berkurumun membentuk huruf U di sekitar tangga. Peragawati melangkah turun sejak di lantai atasnya. Di situ Coco Chanel diam mengamati rekasi pengunjung....