Wednesday, March 21, 2007

Saya Suka Indonesia....

Hari ini aku bertemu dengan seorang Prancis yang enam bulan lalu ada tinggal di Jakarta. Kerja untuk Bank Dunia. Sekarang dia bekerja untuk Kedutaan Prancis di Hanoi, sudah tinggal empat bulan dan masih akan terus berjalan. Rindunya untuk bicara bahasa membuatnya mengirimku SMS untuk bisa bertemu. Jadilah, kami janjian makan siang di resto "Little Hanoi" di Ta Hien no.9, Old Quarter. "Makanan di sini semua enak," katanya. Dan Ta Hien ini termasuk jalan yang populer untuk turis. Satu pojokan terkenal dengan nama Bia Hoi Corner. Satu gelas cukup bayar 2 000 VND.

Ini pertama aku bertemu dengan seorang "pengagum Jakarta". Yes. Meski hanya tinggal selama tiga bulan, apa yang dialami kelihatannya membekas dalam dan membuatnya menempatkan Jakarta di peringkat pertama kota2 yang nyaman ditinggali. Alasannya? Pertama tentu saja, orang2 Jakarta, secara umum Indonesia, ramah2. Mereka akan senang bisa berkomunikasi dengan orang asing. Dan makin senang kalo si orang asing tadi bisa bercakap bahasa. "Aduh, sudah bisa bahasa Indonesia. Sudah bisa bahasa Jawa belum," katanya mengulang ucapan lawan bicaranya sambil terkekeh. Ini yang kedua, bahwa bahasa Indonesia tidak sulit untuk dipelajari, meski untuk bisa membaca dan menulis merupakan soal yang lain lagi. Tapi dibanding bahasa Vietnam yang ampun (dan aku setuju), sulitnya minta ampun, bahasa tentu saja jadi menyenangkan. Ini membuatnya makin menyenangi Jakarta. Tidak sulit untuk bisa berkomunikasi dengan orang2.

Dan yang ketiga, Jakarta itu jujur. Hm. Kota yang jujur, konsep macam apa ini....

Clem -panjangnya Clemence- lahir dan besar di Paris. Menurutnya (dalam versi panjang lebar, tapi aku lupa), kota yang cantik ini sebenarnya hanya "fasad" yang terus dibesarkan dan didorong untuk semakin cantik. Tujuannya supaya bisa semakin unggul dibanding kota2 yang lain. Bukan sesuatu yang dibuat untuk benar2 suatu kebutuhan. Turis ada di mana2 di Paris. Dan supaya semakin banyak turis yang datang, semakin saja kota Paris dipermak untuk tampak semakin cantik. Fasad. Apa yang tampak tidak menggambarkan apa yang ada. Seperti apa kehidupan di balik "fasad" tidak ada yang tahu. Atau justru tidak ada kehidupan?

Sedang Jakarta, well, kota ini dibuat apa adanya. Dengan semua kekurangannya dan kelebihannya, bagaimanapun, kota ini tidak memiliki pretensi untuk terlihat cantik. Karena tidak cantik, tidak ada turis yang datang. Dan Clem senang melihat tidak banyak turis seliweran di Jakarta.

KOMENTAR? Hehe. Boleh tidak setuju dengan apa kata Clem. Menurutnya Jakarta sangat luar biasa. Tapi pasti di antara kita banyak yang lebih suka kalau Jakarta juga bisa berdandan hingga seperti Paris. Dan kalau turis juga suka datang ke Jakarta -bukan cuma transit semalam- pasti juga ada pekerjaan2 baru bermunculan. Jalan Jaksa akan ramai lagi. Jakarta Tua semanis Le Marais. Jakartapun sebenarnya tidak benar juga dibilang tidak berdandan. Waaah. Patung2 baru ada di mana2 dan lampu di sepanjang Thamrin-Sudirman. Ada Busway TransJakarta. Mal bertebaran. Apa Jakarta memang apa adanya?

Memotret atau "Memotret"

Pertanyaan sederhana, "apakah memotret untuk satu kepentingan dapat digantikan dengan memotret untuk kesenangan?"

Jadi begini. Bila saat aku mencamtumkan dalam proposal riset begini, "Pengumpulan data akan dilakukan dengan cara observasi dan blabla.... Observasi akan meliputi pengamatan terhadap suatu kawasan. Alat yang digunakan selain buku catatan adalah kamera.... Analisa terhadap setting kegiatan di kawasan tersebut akan menggunakan interpretasi terhadap foto2 yang telah diambil...." Dengan demikian, memotret menjadi bagian yang integral dengan kegiatan penelitian. Memotret dan hasil potretan bolehlah terhitung kegiatan ilmiah dan barang ilmiah (hehe, apapun istilahnya).

Tapi bagaimana bila kita memotret tapi tidak dengan sengaja sebagai bagian dari riset. Mungkin dilakukan jauh sebelum riset, ketika sedang jalan-jalan atau sedang berwisata. Atau dilakukan ketika riset tapi "di luar" aktivitas riset. Singkatnya, kita punya koleksi sejumlah foto ini dan itu yang secara garis besar satu adalah foto riset dan lainnya foto jalan-jalan. Ambil contoh, aku sekarang riset tentang Hanoi. Tapi aku jalan-jalan ke Hoi An, Hue, Perfumes Pagoda, dsb.

Lalu, suatu saat ketika kita mulai melakukan kegiatan analisa, mengurutkan foto, membuat daftar foto dan tersadar bahwa foto bukan riset ternyata bisa digunakan juga untuk bagian analisa atau juga foto pendukung. Aku mau bilang, Citadel di Hanoi adalah sama dengan Citadel2 lain di Vietnam, misalnya di Hue. Ups, apa foto yang aku buat di Hue lalu boleh valid dan aku masukkan di dalam laporan? Sedangkan ga ada niat untuk foto2 di Hue untuk jadi bagian laporan penelitian.

Hiks. Gimana ini?

Kota kebetulan

Apakah kota pernah dirancang untuk beroperasinya kebetulan-kebetulan?

Cerita ini tidak mewakili soal kebetulan sebagai sebuah hasil dari disain besar. Tapi membuatku terus berpikir tentang kebetulan sebagai sebenarnya sebuah hasil yang menentangkan makna "kebetulan" itu. Kemarin ketika aku ke Hanoi University of Architecture, kebetulan bertemu seorang teman yang sebenarnya punya kelas bahasa Prancis. Ternyata kelas batal karena satu dan lain hal (frase yang jadul banget). Kami kemudian ke kafe sebelah bareng pula dengan teman2 kursus dia yang lain. Ada tiga orang lain, yang semuanya peserta program DPEA "Patrimoine, Projet Urbaine et Ville Durable". Dan kebetulan, mereka sedang mengerjakan mémoire2 seperti studi tentang Pasar Dong Xuan di Old Quarter. Kami kebetulan berdiskusi panjang lebar ini itu sejak referensi atau juga pengalaman lapangan, metode dan persoalan. Akhir cerita, aku akan diajak untuk melihat2 site2 yang jadi bahan mémoire mereka. Jadilah ini kebetulan yang menyenangkan....