Wednesday, November 15, 2017

Kelembagaan Pengelolaan Kota Pusaka

Tata kelola merupakan satu isu yang penting dalam mengelola kota pusaka di Indonesia. Definisi pengelolaan belum pernah didudukkan dalam konteks kegiatan pelestarian. Selain itu, stakeholders yang mana yang sebenarnya paling pas mengemban tugas tersebut. Atau paling tidak, bagaimana hubungan antar lembaga yang terlibat dalam mengelola satu kota pusaka mengingat setidaknya ada pemerintah pusat (Kemendikbud, BPCB, Balai Arkeologi dan BPNT), daerah (Bappeda, Dinas Kebudayaan), dan komunitas peduli pelestarian. 

Di Indonesia, kata heritage management telah diadopsi dan diterjemah menjadi pengelolaan (kota) pusaka. Selain itu, dokumen management plan telah diterjemah menjadi rencana pengelolaan dalam konteks tata kelola, management board menjadi badan pengelola. Dalam praktiknya, badan pengelola hadir di Semarang dalam wujud Badan Pengelola Kawasan Kota Lama (BPK2L) dan ditiru di Yogyakarta dengan nama Badan Pengelola Kawasan Cagar Budaya (BPKCB) Kotagede. Saat ini ada tiga lembaga yang bisa disebut sebagai pengelola kawasan cagar budaya atau pusaka bila menyertakan UPK Kota Tua, Jakarta.

Dalam konteks tersebut, minggu lalu kami berkunjung ke kantor badan pengelola kawasan warisan dunia George Town di Malaysia atau George Town World Heritage Incorporated (GTWHI). Sejak 2008, George Town bersama dengan Malaka adalah warisan dunia. Dalam dokumen nominasinya, keduanya berkomitmen untuk membentuk sebuah world heritage office yang berfungsi sebagai mitra pemerintah setempat. Menurut Dr. ANG, general manager, GTWHI merupakan mitra Jabatan Konservasi Warisan atau kantor di pemerintahan setempat yang mengurusi soal pelestarian. Sebagai panduan kegiatannya, GTWHI menggunakan dokumen Special Area Plan yang baru saja ditetapkan pada 2016. 



Sunday, January 22, 2017

CSR dan Pengelolaan Pusaka

Diskusi Bulanan BPPI atau disbul kali ini (29/06/2016) mengundang Asanti Astari, lulusan program master "World Heritage Studies" di Brandenburg University of Technology di Cottbus. Topik tesis yang ia tulis sangat menarik, dengan judul "Integrating Cultural Sustainability into the Focus of Corporate Social Responsibility (CSR) Agenda: Study Case of National Private Companies in Indonesia.

CSR adalah media bagi dunia usaha memberi kembali kepada masyarakat dan lingkungan, sebagaimana mereka berusaha mengejar keuntungan. Namun, menurut Asanti dunia usaha saat ini belum memberi perhatian kepada budaya. Mengutip Starr (2013), menurutnya, dunia usaha belum sadar pentingnya pusaka dan bagaimana dukungan terhadap pelestarian pusaka kemudian dapat memberi nilai tambah bagi usahanya.

Sumber: https://www.instagram.com/p/BHO_d8uA9E6/

Riset yang dibuat oleh Asanti menyimpulkan bahwa kontribusi dunia usaha pada pelestarian pusaka masih kurang disebabkan hal berikut: (1) tidak ada dukungan dari pemerintah, seperti informasi bagaimana budaya dapat berkontribusi terhadap pembangunan keberlanjuntan dan insentif di bidang budaya, dan (2) tidak jelasnya timbal balik terhadap bisnis mereka.

Asanti menganjurkan supaya lebih banyak informasi yang disajikan terkait peran budaya dalam pembangunan berkelanjutan dan bagaimana dunia usaha dapat berkontribusi. Ada beberapa perusahaan yang telah memberi perhatian, ia mencontohkan, antara lain Google Cultural Institute dan National Geographic Acces 360' World Heritage.

 


Bacaan Terkait:
Ratman, D. R., 2016. Pembangunan Destinasi Pariwisata Prioritas 2016-2019. [online] Available at: [Accessed 27 July 2016]
Starr, F., 2013. Corporate Responsibility for Cultural Heritage: Conserva6on, Sustainable Development and Corporate Reputa6on. New York: Routledge. 

Wednesday, June 08, 2016

Masa Depan Kota Pusaka

Sejak 2012, BPPI bekerjasama dengan DJ Penataan Ruang, Kementerian PU- merintis dan mengembangkan sebuah program bernama Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). Sampai dengan 2016, partisipan kegiatan ini sekitar 50an kota/kabupaten di Indonesia. Sebagian besar juga sebagai anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Dua kabupaten di antaranya bahkan menjadi anggota Organization of World Heritage City (OWHC) untuk Asia-Pasifik. 
Antusiasme kota/kabupaten mengikuti program kota pusaka sangatlah menggembirakan. Setidaknya bisa diharapkan bahwa semakin banyak pemerintah daerah yang sadar bahwa mereka memiliki aset yang berharga. Bila jeli, aset tersebut dapat dijadikan bekal untuk merumuskan konsep kota tematik mereka.
Di lain sisi, konsep kota pusaka tidak bisa selama-lamanya bergantung pada P3KP. Keberhasilkan P3KP adalah menempatkan isu mengenai pusaka dalam isu pembangunan perkotaan. Hari-hari ini tidak ada yang tidak kenal dengan kota pusaka. Hampir setiap minggu, ada saja kota yang mendeklarasikan diri sebagai kota pusaka. Tidak ragu-ragu kepala daerah yang baru saja bergabung dengan program menyatakan diri sebagai kota pusaka, bahkan tingkat dunia. Jangan sampai soal kota pusaka hanya dilihat sebagai branding kota.

Wednesday, September 24, 2014

Kota Pusaka Dunia

"Kenapa di Amerika Serikat tidak ada kota pusaka dunia?" cetus Denis Ricard.
Sejenak kami terdiam. Saya, yang bersama Profesor Kim, Sung-Woo dan Augusto Villalon sedang mengitari meja penuh dengan set masakan Korea, membayangkan hal-hal teknis terkait kriteria kota pusaka. 
"Karena di sana, perlu 100 persen konsensus dari warga untuk bisa menetapkan sebuah pusaka," Denis menjawab ringan. Taman Nasional merupakan pusaka yang mudah ditemui karena pemerintah bisa memiliki seluruh properti. 
Denis Ricard adalah Sekjen OWHC atau Organization of World Heritage Cities, sebuah organisasi kepala daerah pengelola situs pusaka dunia yang bertujuan untuk mempromosikan pengetahuan dalam mengelola kota pusaka bagi para kepala daerah, sekaligus membangun jejaring antar kota. Pada 25-26 September 2014 ini, OWHC di wilayah Asia Pasifik menyelenggarakan pertemuan pertama, didahului pertemuan para pakar pada 24 September dengan topik "people-centered conservation". Kegiatan ini diselenggarakan di Gyeongju, sebuah kota yang ditempuh sekitar 4 jam dari Seoul.

Ia mengulangi kembali ajakannya pada saat pertemuan pakar untuk mengingat-ingat beban yang harus ditanggung kota dengan label pusaka dunia. Tentu saja ada warga kota yang akan bahagia dan bangga dengan identitas dan peluang usaha baru. Di sisi lain, ada warga yang menanggung biaya pemeliharaan label tersebut. Melekat pada label tersebut adalah standar pemeliharaan bangunan dan lingkungan yang lebih tinggi. Kadang-kadang bahkan mengatur lebih banyak aspek kehidupan sehari-hari warga kota.
Pelibatan masyarakat adalah mungkin dan dalam pelestarian, ini tentu saja adalah proses. Prof. Adishakti, mengutip salah satu paparan peserta, menekankan sekali pada proses tahap demi tahap dalam mengelola keterlibatan masyarakat. Tidak ada satu model yang unik dalam mengelola kota pusaka dunia. Semua pendekatan berlaku pada konteks kota dan kapasitas warganya. Denis pun menambahkan, "belum ada definisi operasional yang tetap mengenai kota pusaka dunia. Pusaka adalah konsep yang berkembang, begitu pula kita sedang mengembangkan konsep kota pusaka ini."  

Tuesday, September 16, 2014

Heritage Impact Assessment

Tahun 2014 ini ada dua tawaran workshop mengenai "Heritage Impact Assessment". Satu diadakan di Hong Kong, pada bulan Mei oleh the Architectural Conservation Programmes (ACP), Faculty of Architecture, The University of Hong Kong dan lainnya di Cina pada bulan Oktober oleh World Heritage Institute of Training and Research for the Asia and the Pacific Region under the auspices of UNESCO, Shanghai Centre (WHITRAP, Shanghai) dan ICCROM. 
Saya mengikuti salah satunya di Hong Kong. Pada saat bersamaan bertemu dengan dua teman baru dari Indonesia, Iin dari UNESCO dan Dedi dari Riau Heritage. Iin ini ternyata membantu kami menerjemahkan buku Panduan Pelestarian Pasca-Gempa di Padang. Selain itu, peserta juga datang dari India dan Jepang, 
Mengenai Heritage Impact Assessment atau HIA bisa disimak melalui http://www.icomos.org/world_heritage/HIA_20110201.pdf. Menurut staf pengajar kami, Dr. Richard A. Engelhardt dan Dr. Ayesha Pamela Rogers, masih banyak yang perlu dikembangkan dari implementasi HIA ini. HIA cukup berkembang di Hong Kong, justru karena instrumen-instrumen pelestarian bangunan atau kawasan pusaka belum cukup lengkap. Mereka belum mengenal konsep seperti kawasan pusaka, karena itu pelestarian bangunan pusaka dilakukan dengan pendekatan tiap pembangunan.
Cerita berlanjut, studi kasus kami adalah Kampung Pok Fu Lam, yang pada tahun 2013 dinyatakan sebagai salah satu the 2014 World Monuments Watch. Kabar terbaru, American Express dan World Monuments Fund memberikan $1.5 Juta untuk pelestarian kampung ini. Selamat untuk Nigel dan teman-teman dari komunitas yang memperjuangkan Pok Fu Lam dalam isu pelestarian.

Friday, March 28, 2014

Tantangan Kota Pusaka

Sekira lima tahun lalu bersamaan dengan "Temu Pusaka 2008", ada tulisan di sebuah media nasional berjudul "Kota Pusaka Menuju Kehancuran Sistematis, Tak Sekadar Terkait Peraturan". Sebagai sebab adalah kemampuan pengelola kota dalam merevitalisasi dan mempertahankan dari ancaman kehancuran.

Pada tahun 2012, dicanangkanlah Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) yang mudah-mudahan bisa menjawab tantangan kota pusaka.


Kota Pusaka Menuju Kehancuran Sistematis, Tak Sekadar Terkait Peraturan

Bukittinggi, Kompas - Sebagian besar kota pusaka di Indonesia saat ini tengah menuju kehancuran sistematis akibat ketidakpedulian pengelola kota. Hanya di Surakarta, Jawa Tengah, dan Sawahlunto, Sumatera Barat, yang pengelolanya mampu merevitalisasi warisan sejarah dan mempertahankannya dari ancaman kehancuran.

Kota Sawahlunto di Sumatera Barat menjadi salah satu kota di Indonesia yang cukup memiliki kepedulian terhadap pelestarian warisan sejarah atau pusaka (heritage). Gedung-gedung sekolah maupun rumah ibadah di Jalan Imam Bonjol, Sawahlunto, yang dibangun pada masa kolonial saat kota ini dibuka pertama kali oleh Belanda sebagai kota pertambangan batu bara, masih tetap utuh dan terjaga. (KOMPAS/KHAERUDIN/ Kompas Images)

Demikian hal yang mengemukakan dalam ”Temu Pusaka 2008” di Bukittinggi, Sumatera Barat, Sabtu (23/8).

Pengajar dan peneliti Center for Heritage Conservation, Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Laretna T Adhisakti, mengatakan, kota yang didirikan dan didesain pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun sultan dan raja lokal Nusantara jumlahnya sangat banyak. ”Meski demikian, saat ini belum ada data yang pasti tentang jumlah kota pusaka di Indonesia,” katanya.

Tentang penyebab kehancuran kota pusaka, Laretna mengatakan, ”Ada satu masa yang tidak nyambung. Saat pengelola kota membangun kotanya, tetapi tidak pernah mengidentifikasi cagar budaya yang ada di kota tersebut. Kepala daerah membangun kotanya tanpa melihat masa lalu kota tersebut.”

Klasifikasi

Di Indonesia, kata Laretna, sebenarnya cukup banyak kota yang memiliki kelimpahan keragaman pusaka (heritage). Namun, pemerintah belum pernah menetapkan klasifikasi kota pusaka secara formal. ”Itu pula sebabnya, kehancuran kota-kota pusaka dengan mudah terjadi di negeri ini,” ujarnya menambahkan.

Penghancuran yang dimaksud antara lain pembiaran pemerintah daerah terhadap hancurnya gedung-gedung bersejarah dan keengganan mengonservasi pusaka kota, baik yang berwujud (tangible) maupun tak berwujud (intangible).

Laretna lebih lanjut mengatakan, tidak seperti di Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara Asia yang pemerintahnya cukup sadar untuk melestarikan kota- kota pusaka, di Indonesia pemerintah daerah yang peduli pada upaya konservasi kota-kota pusaka masih sangat sedikit. Berdasarkan catatan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), katanya, baru Surakarta dan Sawahlunto yang pemerintah daerahnya cukup peduli melestarikan pusaka kota.

Soehardi Hartono dari Badan Warisan Sumatera berpendapat, ketidaksiapan pemerintah daerah memahami kegiatan pelestarian pusaka kota mengakibatkan kepala daerah cenderung mengabaikan ancaman kehancuran kota pusaka. ”Kegiatan pelestarian bukan sekadar membuat peraturan daerah tentang perlindungan benda cagar budaya, tetapi lebih dari itu. Bagaimana memanfaatkan benda cagar budaya, bagaimana mengembangkannya agar bisa mendatangkan manfaat ekonomi,” katanya.

Kasus di Medan

Soehardi menambahkan, kehancuran gedung-gedung yang memiliki nilai sejarah tinggi di hampir semua kota di Indonesia membenarkan sinyalemen adanya kehancuran sistematis dari kota-kota pusaka. Contoh konkretnya antara lain yang terjadi di Medan, Sumatera Utara. Sejak tahun 1988, kata Soehardi, Medan sebenarnya memiliki peraturan daerah yang melindungi kawasan, seperti Kesawan, yang bisa dianggap sebagai pusaka kota.

”Di dalam peraturan tersebut, jelas dilarang mengubah bentuk bangunan yang ada di sepanjang Jalan Kesawan. Namun, Dinas Tata Kota Medan tetap menerbitkan izin membangun bangunan untuk ruko (rumah toko) yang jelas-jelas mengubah bentuk asli bangunan di Jalan Kesawan. Ini kan pembiaran dari pemerintah daerah. Upaya menghancurkan pusaka kota secara sistematis,” ujarnya. (BIL)

Sumber: Kompas, Senin, 25 Agustus 2008

Sunday, March 02, 2014

PIAGAM PELESTARIAN KOTA PUSAKA INDONESIA 2013

Sebagai tonggak Tahun Pusaka Indonesia 2013, diluncurkanlah Piagam Pelestarian Kota Pusaka Indonesia 2013. Piagam ini adalah kesepakatan masyarakat pendukung pelestarian pusaka yang akan mengawal dan terus mendorong penataan dan pelestarian Kota Pusaka. Menurut Piagam, Kota Pusaka (Heritage City) adalah kota/kabupaten yang mempunyai aset pusaka istimewa, berupa rajutan pusaka alam dan pusaka budaya yang lestari tercakup unsur ragawi/cagar budaya (artefak, bangunan, dan kawasan dengan ruang terbukanya) dan kehidupan fisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Sebagai Kota Pusaka, rajutan pusaka yang istimewa merupakan keunggulan yang harus lestari sepanjang masa. Dalam piagam dinyatakan Kota Pusaka wajib memiliki Rencana Pengelolaan Kota Pusaka yang menjadi panduan dalam melindungi, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan keunggulan nilai pusakanya.

Ada 8 (delapan) instrumen penyusunan Rencana Pengelolaan Kota Pusaka. Instrumen tersebut adalah (1) Kelembagaan & Tata Kelola; (2) Inventarisasi & Dokumentasi; (3)Informasi, Edukasi, Promosi;(4) Ekonomi Pusaka; (5) Pengelolaan Resiko Bencana pada Kota Pusaka; (6) Pengembangan Kehidupan Budaya Masyarakat; (7) Penataan Ruang dan Sarana-Prasarana; (8) Olah Disain Bentuk. Instrumen tersebut perlu dilakukan secara paralel, partisipatif dan komprehensif.

Piagam ini adalah kesepakatan masyarakat pendukung pelestarian pusaka yang akan mengawal dan terus mendorong penataan dan pelestarian Kota Pusaka.