Tuesday, March 13, 2007

Refleksi lagi soal "heritage"

Aku selalu memikirkan sesuatu yang kurang dalam pendekatan konservasi heritage. menurutku heritage itu sendiri perlu dilihat definisinya yang tepat sebelum masuk pada aksi-aksi konservasi dan itu kelihatannya tidak secara serius digarap. Karena definisi itu tidak terjawab, jangan salahkan bila sering “heritage” diartikan untuk perlakuan terhadap bangunan tertentu (tua atau antik) saja. Akhirnya berhenti pada restorasi yang membutuhkan biaya tinggi. Karena ada kesulitan pengadaan dana, akhirnya harus mencari bantuan asing. Dalam model ini, kita kemudian berada pada sistem dunia per”heritage”an. Konsekuensinya kita juga mengadopsi pengetahuan-pengetahuan asing yang diformulasikan dalam banyak Charta (charta sendiri model peresmian pengetahuan bukan), deklarasi serta lainnya. Tanpa didasari pada pendefenisian terlebih dulu apa itu “heritage” yang kita punya, kita justru menjadi gagap mendefinisikan operasionalisasi “gerakan heritage”. Debat soal apakah produk kolonial bisa menjadi "heritage" merupakan representasi kebingungan antara di satu sisi pengakuan atas "arsitektur modern" dengan teknik serta estetikanya dan di sisi lain (tidak ada) pengakuan atas arsitektur yang merupakan peninggalkan jaman terkolonisasi yang kelam.

Atau mengharap bantuan kapitalis (pengusaha) untuk memberi bantuan tapi jangan lupa pula bahwa fundamentalnya kapitalis adalah soal “untung-rugi” sehingga melibatkan kapitalis tentu dengan diiringi kemampuan untuk menunjukkan bahwa terlibat di soal heritage memiliki manfaat yang sebanding dengan laba ekonomis (Begitu Pak Antok?).

Tulisan Choay kiranya dapat membantu melihat akar persoalan heritage terutama urban heritage lebih jelas. Fundamental heritage bukannya definisi yang sudah ada, tetapi terkait dengan bidang-bidang yang lain. Urban heritage, misalnya, dilihat sebagai solusi untuk persoalan identitas bagi suatu teritori (kota atau apapun). Heritage yang mewakili periode, prestasi atau identitas kemudian menjadi penanda dalam bentang teritori yang luas. Kenangan (monumen) yang dikandung oleh heritage dimanipulasi supaya faktor tersebut dapat menjadi milik bersama.

Nilai kultural yang ada pada heritage secara fisik (kemegahan konstruksi, keunikan) ataupun secara keindahan seni dibuat sedemikian sehingga heritage dapat mewakili identitas yang kita bayangkan. Kenapa identitas yang kita bayangkan? Karena bukan pada “heritage” itu kita menemukan identitas kita, tapi kita membadankan identitas kita. Gagasan tentang identitas yang di awang-awang kita carikan bentuk2 fisiknya, di mana kita menggantungkan standar nilai tertentu yang diadopsi dan dipahami secara kolektif.

Bahayanya: heritage dapat menjadi mainan2 orang tertentu untuk mempresentasikan identitasnya sendiri2. Jadi sifatnya individual sekali. Baik arsitek, sejarawan atau arkeolog dapat menggunakan heritage sebagai alat untuk menyatakan dirinya atau khususnya keilmuannya yang diklaim sebagai “identitas” kolektif.

Sementara pemerintah, mereka mengolah monumen sebagai heritage untuk menyatakan kekuasaannya. Identitas yang digagas oleh baik pemerintah serta arsitek dan kaum akademia lain kerap didorong untuk memberi logika bagi peresmian serta pelestarian “heritage”. Ketidakseimbangan terjadi ketika gagasan yang dikelola satu komuniti tidak disampaikan dengan baik pada komuniti yang lain.

Orang2 yang tinggal bersama “heritage” justru seolah menjadi korban dari “proses pembentukan identitas” yang digagas oleh kelompok tertentu. Ya, aku pikir itulah yang kerap terjadi pada “gerakan heritage” yang kerap belepotan dalam menyampaikan obyektifnya.

Note:
Istilah “heritage” aku pakai. Karena definisi dibangun bersama dengan konsep, mengalihbahasakan tentu tidak berarti dapat mentransfer definisi serta konsep yang telah melekat pada istilah tersebut.