Friday, May 11, 2007

Sejarah Kota Museum (2)



Sebagai bagian dari generasi yang dikenyangkan dengan sejarah panjang penjajahan dan perjuangan kemerdekaan, pertanyaan sederhana untuk Hanoi adalah "kenapa tidak ada cerita seram" seperti Daendels. Apa kolonisasi hanya seram di Nusantara? Apa eksploitasi maksimal hanya di Nusantara? Vietnam memang membenci -waktu itu- Prancis, tapi itu merupakan resistensi kultural (baru perang2 menjadi cerita seram yang mempengaruhi identitas tradisional orang Vietnam). Metode kolonisasi Prancis adalah mengimplan total struktur metropolis dengan tesis "urbanisme kolonial". Meskipun sama juga seperti Belanda dan Inggris yang membangun struktur pinggiran pada kota2 di Nusantara, tapi imajinasi reflektif tentang Paris memberi kriteria tersendiri bagi pembangunan Hanoi, dan Vietnam secara umum.

Apa itu urbanisme kolonial dan sampai batas apa menentukan rupa Hanoi. Masih berlanjut....

Sunday, May 06, 2007

Sejarah Kota Museum (1)





Damn!!!

Kita menghadapi bagian2 kota yang semakin sama, secara rasa dan rupa. Penyakit yang akut bernama "memuseumkan ruang kota" menjebak di antara batas yang ditipis2kan antara memori dan kontekstual

Memori harusnya dibangun secara 70-80an. Ingatan kembali dituntun dengan deretan rapi foto2 dalam album foto. Dalam periode yang berikutnya, foto2 ditata rapi dalam folder2 laptop kita. (Teknologi dan kegagapan yang berlebihan bahkan mendorong orang2 untuk memelihara memori sampai pada batas2 privasinya.)

Dalam skala kota, memori dibangun dengan membuat museum. Oke, candi2 antik yang tersebar di Jawa Timur dan Tengah bisa dibayang2 dengan mengunjungi museum2 nasional seperti di Jakarta. Atau manfaatkan buku sejarah. Kalau kurang, kunjungi langsung candi2 dan elemen2 hiburannya yang diharap2 bisa membangun imaji2 sifat yang baru. Seperti mengunjungi museum perang, apa kita mengharapkan mengalami perang? Apa yang diharapkan?

Tanpa berangkat dari pertanyaan terakhir, memorialisasi telah dibadankan dalam ruang2 kota kita. Alih2 menjadi beda di bawah ancaman globalisasi, proyeksi metode dan produksi menghasilkan persamaan.
Sedang kontekstual, sebenarnya menempatkan proses yang natural dari perubahan pada kota sebagai dasar intervensi atas kota. Tapi membuat ruang kota semakin sama, karena kontekstual diartikan dengan konsumsi citra, memanfaatkan yang ada dengan fungsi yang baru. Boleh jadi manfaat baru muncul. Tapi seperti lumrah terjadi, konsumsi citra juga bisa jadi penyakit (atau bukan) yang baru seperti gentrifikasi....

Membangun Kota Sendiri

Tapi apakah itu dunia kecil kita? Seperti apa kita menggambarkan dunia itu dengan kata2? Apakah model kosmologi Jawa, di mana kita mengimajinasikan dunia atas diri kita atas gunung dan laut. Atau kosmologi Cina (Feng Shui)? Tradisi mungkin membesarkan kita dengan pengetahuan2 yang menempatkan kita pada suatu bentang geografis. Kiri dan kanan dalam konteks kota modern yang dibangun secara rasional. Tapi utara, timur, selatan serta barat yang menempatkan kita pada bentang yang lebih spesifik. Yang lokal. Tapi keseharianlah yang sebenarnya menempatkan kita pada dunia. Geografi yang lebih manusiawi berdasarkan pengalaman keseharian. "Dari sana, terus sampai ke kios koran di kiri jalan, terus belok kiri. Jalan sekian meter ntar di kanan jalan." Detil2 yang hilang dari tuturan geografis itu dilengkapi dengan keseharian kita masing2. Hasilnya adalah sebuah peta yang lengkap dalam imajinasi kita. ....

But in the Postmodern age, architecture and the city will restore private life to its rightful place, in many different forms. For example: narrow streets that are fun to walk along all by yourself; pocket parks just the right size for a couple to squeeze into, hand in hand; a bench set under a single tree; space with the thrill of a maze; special places, restaurants, boutiques that suggest you are the only one who knows where they are; places that are so frightening and terrifying that you never dare to return; places that come alive at night; a little niche where you can lose yourself in your own thoughts. These are core images of private life. By incorporating spaces of private life into the city, and into its public spaces, they will become more interesting and more complex.
(Kisho Kurokawa, EACH ONE A HERO-The Philosophy of Symbiosis)


Narrow, fun dan lainnya adalah pilihan2 yang individual. Tentu saja, standar2 arsitektur dan urban boleh memberi angka2 yang pasti tapi memberi kesamaan dan akhirnya mengaburkan batas individual. Seperti ruang2an yang dihasilkan oleh resto, kafe yang fashionable, yang turistik. Kecenderungan mereka untuk menciptakan imaji2 sendiri, mendorong kita untuk mengonsumsi imaji2 tersebut. Ketimbang membangun dan memikirkan sendiri, kita tunduk pada simbol dan maka detil2 tingkah yang menjadi bagian dari bangunan imaji tersebut. Trendy, fashionable, cs.

Bagaimanapun, kata2 sifat itu yang membuat kita dapat berkuasa atas dunia kecil kita (atas dunia yang luas ini). Kecenderungan setiap orang untuk secara nyata menyatakan "kekuasaannya". Maka tidak akan habisnya kota menjadi medan tanda2 ini.

Saturday, May 05, 2007

Mengisi Kota, Merangkai Makna

Heidegger, misalnya, beranggapan bahwa pengetahuan filosofis tentang "Ada" sudah terselip dalam keseharian. Oleh karena itu, alih-alih berfokus pada "Ada" yang abstrak, filsafat diminta berhening di depan samudra keseharian. Para filsuf dituntut Heidegger agar berlaku layaknya mistikus keseharian.
Donny Gahral Adian

Apa yang kita harapkan kita lihat dari jendela rumah kita? Di luar dari dunia kecil yang mewakili memori kita, yang mengawinkan dunia nyata dengan abstrak, di luar sana adalah dunia yang tidak tertata. Dunia di mana ide yang tidak sama mengadu kekuatan untuk dispasialkan. Di sini kita membawa dunia kecil kita ke luar rumah kita. Dengan itu, meskipun secara fisik kita meninggalkan rumah, secara ruang kita selalu menempatkan dapat menempatkan diri dalam dunia yang lebih besar tanpa batas yang jelas.

Kota adalah sebuah instrumen untuk mengendalikan teritori. Pengetahuan tentang itu dibangun dalam periode2 berbeda, seperti kue lapis atau bawang bombay, kota berlapis2 mewakili periode2 yang berbeda. Tapi, apakah melihat kota seperti mengiris bawang dalam lapisan2nya? Mengupas bawangpun dengan gaya, satu2 dalam gagasan yang kelihatannya sambil lalu tapi terumuskan secara tetap. Memotong menjadi dua, lalu dua lagi. Membiarkan sisi yang rata merapat pada telenan, lalu memotong dari sisi yang paling pipih secara teratur tiap sekian mili. Alih2 secara periode, kota sebenarnya dibangun menurut suatu intensi. Siapa yang peduli atau boleh, darinya intensi atas kota terspasialisasi.

Tapi kalau tidak hati2, gagasan ini bisa mudah usang. Siapa bilang intensi individual boleh merumuskan (sekaligus mengendalikan) bentuk kota. Kesepakatannya adalah bagaimana mendorong dunia2 kecil bisa menemukan tempatnya di dunia yang besar. Karena itu, daripada mencari sesuatu yang abstrak untuk mewakili yang umum, keseharian kemudian dipahami dan dicarikan bentuknya. Bukan berarti menyerahkan keseharian untuk merayakan dan menyatakan dirinya. Secara haluspun, dunia2 kecil akan saling bersinggungan dan membentuk kesepakatan2 spasial-sosial.

Sumber Teks:
Donny Gahral Adian, Filsafat Tanpa Kedaulatan Semantik, http://kompas.com/ (Senin, 30 April 2007)


Thursday, May 03, 2007

A Talk with Johannes Widodo

Komunitas Gerilya Kota bekerjasama dengan Jurusan
Arsitektur UII mempersembahkan:

A Talk with Johannes Widodo
"Sense of Place: Singapore Experience"

Kafe Momento
Jl. Jembatan Merah (Timur LB LIA) Gejayan Yogyakarta
Jumat, 4 Mei 2007
Pukul 18.30-20.00 WIB


Asian cities sebagaimana ditengarai oleh para arsitek,
termasuk Rem Koolhas, Korff, dan pengamat perkotaan
lainnya adalah salah satu wilayah di dunia ini yang
sangat dinamis, penuh perubahan terutama yang
berkaitan dengan wajah kota dan identitasnya.

Berjalan-jalan ke seantero Asia kita akan mendapati
juxtaposition antara bangunan-bangunan pencakar
langit yang terbaru dengan bangunan heritage atau
bahkan slum area hanya di dalam jarak satu pelontaran
batu. Keadaan ini menjadikan "Sense of Place" menjadi
isu yang sangat penting untuk dibahas dan dikenali
elemen-elemen pembentuknya.

Singapore sebagai salah satu kota yang paling
progresif di Asia dalam perkembangan fisik kota dari
hasil pertumbuhan ekonomi negara yang pesat ternyata
banyak menyimpan kisah-kisah sukses dan kegagalan dari
para urban designernya. Catat saja, tahun 1970 an
ketika Singapore berubah menjadi hutan beton dan
membabat beratus-ratus bangunan bersejarahnya,
akhirnya merasa semakin kehilangan identitas dirinya.
Baru di tahun 1980an akhir menyadari penting aset
bangunan pusaka nya dan merubah visi pembangunan kota
yang peka terhadap pelestarian bangunan pusaka dan
ini terbukti dari semakin ramainya Singapore sebagai
tujuan wisata kota sebagai implikasi dari kegiatan
urban conservation terutama di Chinatown, Little
India, dan Kampung Glam.

Dr. Johannes Widodo seorang Arsitek, Urban Historian
yang menjabat sebagai salah satu Dosen di Jurusan
Arsitektur National University of Singapore akan
berbagi tentang pengalaman Singapore dalam
mempertahankan Sense of Place-nya ditengah pelukan
globalisasi dan modernisme dalam segala lini.

Kehadiran teman-teman ditunggu untuk meramaikan
diskusi ini, ditunggu ya...

Komunitas Gerilya Kota
Jurusan Arsitektur UII

Wednesday, May 02, 2007

RUKO-Elemen Konstitutif Kota-Kota di Asia






Rumah Toko (Ruko) yang kerap kita temui di berbagai kota dunia sebagai bangunan komersial, konon, merupakan bangunan arsitektur Tiong Hoa. Adaptasi dengan keadaan setempat membuat bentuknya beragam dan ada yang yang sudah tidak mengikuti aturan feng shui. Kalau sampai bentuk ruko ini dapat eksis di banyak kawasan lain, tentunya ini arsitektur ini memiliki faktor yang membuatnya dapat beradaptasi dengan kota dan konteks yang berbeda. Menarik untuk membincangkan faktor apakah tersebut, lebih jauh lagi, dikaitkan dengan bentuk kota-kota yang terus berkembang.


Diaspora Tiong Hoa dan Terbentuknya Kota

Kota-kota di Asia Tenggara dapat dikelompokkan kota perdagangan dan kota pertanian (Lombard 1994). Meskipun keduanya, antara perdagangan dan pertanian, memiliki karakter sendiri, bukan berarti kota perdagangan tidak didukung oleh keberbedaan hasil-hasil pertanian, demikian pula kota pertanian tidak akan hidup tanpa adanya pasar.

Pedagang Tiong Hoa merupakan faktor yang cukup penting dalam tumbuhnya kota-kota tersebut, terutama kota dagang. Kita tahu bahwa, kedatangan mereka pertama kali terangkai dengan pelayaran yang dimaksudkan untuk berdagang, misalnya rempah-rempah. Mereka kerap singgah di pelabuhan-pelabuhan sepanjang pelayaran mereka, baik untuk mengadakan transaksi atau mengisi persediaan. Sembari menunggu angin yang memungkinkan melanjutkan perjalanan, para pedagang itu tinggal di daratan dan membangun kelompok permukiman. Konstruksi rumah tersebut sama dengan yang pernah tinggali di daerah asalnya. Permukiman tersebut juga dilengkapi dengan bangunan pendukung seperti pasar dan klenteng membentuk suatu pola permukiman tertentu. Dengan itu, mereka telah membuat identitas yang unik pada lokasi yang mereka bangun.

Dengan latar inilah, kawasan-kawasan komersial yang dihuni oleh masyarakat Tiong Hoa (kerap disebut Pecinan), bersama dengan kampung-kampung penduduk asli, pusat pemerintahan, pasar dan pelabuhan menjadi elemen konstitutif terbentuknya sebuah kota.

Menyadari potensi tersebut, kawasan komersial yang dihuni pedagang Tiong Hoa dikonstruksi pula untuk mendorong aktivitas komersial serta pengembangan sebuah kota. Seperti di Yogyakarta, kita lihat dapat menemukan permukiman Tiong Hoa di sebelah utara Pasar Beringharjo, sekarang dikenal Kampung Ketandan. Selain karena ada aturan keluaran Belanda yang membatasi pergerakan dan permukiman orang Tiong Hoa, Sultan Hamengku Buwono II menempatkan mereka di kawasan tersebut dengan tujuan untuk mendorong aktivitas pasar dengan dukungan aktivitas komersial para pedagang Tiong Hoa.

Hal serupa juga ditemui di Hanoi, di kawasan yang sekarang dikenal dengan 36 Old Streets Quarter, letaknya antara kawasan pusat pemerintahan dan Sungai Merah. Kawasan ini dirancang sebagai daerah pasar dan daerah pertukangan yang kemudian dihuni pedagang Tiong Hoa serta asing lainnya (Ros 2001). Sementara di Thailand, Raja Rama IV dalam usahanya mengembangkan strategi pembangunan Bangkok sampai mengirimkan mentrinya untuk mempelajari kawasan komersial di Singapura. Hasilnya, ruko-ruko baru dibangun di sepanjang perpanjangan jalan Charoen Krung sebagai strategi untuk membuat kawasan komersial, sekaligus mengembangkan kawasan di luar pusat Bangkok masa itu. Ruko-ruko tersebut kemudian dimanfaatkan baik pedagang Tiong Hoa juga pedagang barat (Borthaam 2004).

Rumah Toko

Bangunan-bangunan rumah toko (ruko)-lah elemen yang penting dari kawasan pedagang Tiong Hoa. Bangunan khas yang dulu hanya dibangun di kawasan permukiman Tiong Hoa ini dianggap tepat untuk beraktivitas komersial sekaligus untuk tinggal di kota. Sistemnya di mana dalam satu bangunan terdapat fungsi residensial dan komersial dianggap ideal, sehingga tipe bangunan ruko kemudian menjadi elemen penting dalam menciptakan sebuah daerah komersial di banyak kota (Godlblum 1989). Fungsi campuran itu membuat bentuk ruko dianggap efektif; pemilik toko bisa mengawasi langsung barang-barang dagangannya saat malam hari. Pemilik toko bisa mengurangi biaya transportasinya karena tidak perlu berpindah dari rumah (kalau berada di daerah lain) ke toko. Selain itu, bila dibutuhkan mudah mendapat bantuan dari anggota keluarga yang lain.




Jenis arsitektur ini sendiri mungkin dibawa oleh para pelayar Tiong Hoa dari Cina daratan bagian selatan, seperti Provinsi Fujian dan Guangdong. Di kota Quanzhou, kita bisa menemukan arsitektur tipe ini eksis di sekitar pelabuhan (Elisa 1999; Widodo 2004).

Bangunan ruko awalnya dapat ditemukan di berbagai belahan bumi yang dibangun oleh para pedagang Tiong Hoa dalam misi pelayaran perdagangan mereka, misalnya di Malaka, Singapura, Batavia dan Semarang. Organisasi ruang dalamnya mungkin berbeda-beda antar daerah, tapi elemen perkotaannya; letaknya yang berhadap-hadapan mengapit tegak lurus jalan, berada tepat di tepi jalan dan dibangun berderet (Widodo 2004), merupakan unsur yang permanen yang ditemui di daerah-daerah tersebut. Deretan-deretan ruko sendiri bisa terkonsentrasi dalam satu kawasan dan membentuk blok, ataupun linier mengikuti suatu ruas jalan tertentu. Jalan Malioboro di Yogyakarta yang terkenal merupakan deretan ruko yang mengikuti jalan tertentu, sedang Kawasan Ketandan yang ada di belakangnya kemudian merupakan konsentrasi ruko-ruko dalam blok-blok.

Ruko biasanya dibangun penuh di atas suatu persil memanjang serta diapit langsung ruko tetangganya, sehingga ruko hanya memiliki satu fasad muka yang berada di atas tepi jalan. Fasad depan arsitektur ruko tidak lebar, rata-rata 4-6 m, sedang kedalamannya dapat mencapai 20 m, bahkan 50 m seperti di Hanoi dan Taiwan.

Untuk menambah luasan ruangan, konstruksi berarti pekerjaan membangun lantai yang lebih tinggi. Menurut Elisa (1999), ruko di Batavia awalnya dibangun satu lantai. Untuk memperbesar luasan bangunan sekaligus beradaptasi dengan sistem pembagian blok yang dikembangkan pemerintah kolonial, kegiatan bisnis dan hunian kemudian direalisasikan dengan pemisahan lantai bangunan. Kegiatan bisnis yang pokok ditempatkan di lantai pertama, dan hunian ditempatkan di atasnya. Teknologi masa lalu yang mengandalkan kayu sebagai struktur membatasi jumlah lantai secara alami, sehingga ruko tua biasanya terbatas terdiri dari dua lantai. Namun di kota lain ditemui ruko yang sudah sejak awalnya terbangun berlantai dua.

Di beberapa kota, ada yang muka lantai pertama ruko dimundurkan kira-kira 5 kaki dan ruang yang dihasilkan dimanfaatkan untuk sirkulasi. Lantai dua yang kemudian lebih lebar berfungsi sebagai peneduh. Ruko-ruko di Singapura mengadopsi sistem ini pada masa pemerintahan Raffles. Sementara ruko di sepanjang Malioboro dimundurkan pada tahun 1980an atas usul tim perencana kota Yogyakarta, Rm. Mangunwijaya dan tim. Ruko model ini lantas menyerap kehadiran aktivitas komersial yang menggunakan kotak-kotak tidak permanen sebagai etalasenya, kemudian disebut pedagang kaki lima (PKL). Di Malioboro, hubungan ruko dan PKL tersebut membuat kehidupan di jalan lebih dinamis.

Konstruksi baru yang muncul seiring dengan perkembangan kota biasanya juga bercampur dengan kultur setempat. Di Singapura, ruko-ruko tua diperkaya dengan dekorasi yang merupakan kombinasi seni Eropa, Tiong Hoa dan lokal (URA 1995). Sementara di Indonesia, contoh yang nyata dapat kita lihat di Denpasar, didorong cita-cita untuk menempatkan identitas lokal di setiap bangunan, fasad ruko dihiasi dengan ragam hias tradisional Bali (Lancret 1997).

Ruko Sekarang

Model ruko telah populer sebagai inspirasi bagi pembangunan kota modern. Karakter campurannya, residen dan komersial membuatnya dapat beradaptasi dengan kota modern.

Keberadaan ruko dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan suatu kawasan. Kita lihat kawasan Kya-Kya, Kembung Jepun di Surabaya, Gang Lombok di Semarang dan Kawasan Ketandan, Yogyakarta yang perlahan bertransformasi, selain tetap menjadi kawasan komersial juga menjadi kawasan wisata makanan tradisional dan wisata pecinan (Kompas 25/01/2006). Tentu saja, tanpa keberadaan masyarakat yang tinggal di kawasan, rencana ini hanya akan bersifat reka-reka dan tanpa jiwa.

Lebih jauh, karakter komersialnya yang dapat dibangun di tepi jalan di atas lahan kecil, dan dapat ditingkat menjadikan ruko alat untuk mengembangkan suatu kawasan. Ruko telah memiliki peran penting dalam menciptakan kantung-kantung komersial di kota, tidak lagi terbatas pada permukiman atau kawasan Tiong Hoa. Sayangnya, ini kadang lebih mengutamakan pertimbangan untuk meminimalkan biaya konstruksi sehingga nilai estetika dan kenyamanan yang kita temui pada ruko-ruko tua lantas diabaikan. Banyak ruko yang dibangun dengan tingkat lebih dari dua, namun tidak lagi disertai dengan lubang udara ataupun halaman belakang terbuka sehingga tidak ada sirkulasi udara dan penerangan alami untuk lantai-lantai bawah.

Bagaimanapun, ruko telah dianggap bentuk arsitektur yang tepat untuk daerah komersial. Bentuk ini juga dapat mengikuti berkembangnya kegiatan ekonomi dan sosial dari waktu ke waktu dan di kota yang berbeda. Terbukti, kita bisa melihat bagaimana sampai sekarang banyak konstruksi direalisasikan dalam bentuk ruko. Tantangannya sekarang adalah menghasilkan bentukan yang nyaman untuk dimanfaatkan dan atraktif untuk menciptakan wajah kota yang menarik serta hidup.

(tulisan ini pernah dimuat di Kompas, tapi aku lupa tanggal muatnya)

Le Marais : Strategi Konservasi dalam Konteks Transformasi Paris








AWAL ABAD 20, ketika Paris yang juga ibukota Prancis sedang mencari yang penting adalah bagaimana sebuah kota dengan sejarah panjang dan kaya dengan peninggalan bersejarahnya dapat terintegrasi dengan dinamika perkotaan dan munculnya kebutuhan-kebutuhan baru.

Gagasan Plan Voisin datang dari arsitek kelahiran Swiss, Charles-Edouard Jeanneret kemudian bernama Le Corbusier : menghancurkan bagian-bagian historis kota Paris yang terlalu padat dan kumuh, sehingga di pusat kota, lahan akan tersedia bagi menara-menara -yang dipadu dengan ruang terbuka hijau- sebagai habitat dari tiga juta penduduk Paris.

Paris ternyata memilih untuk tumbuh dengan melestarikan bentuk kota tuanya -ketimbang mengikuti ide Le Corbusier- sebagai bagian dari pembentukan identitas perkotaan. Terbukti, salah satu kawasan yang historis yang sebenarnya kumuh kemudian sungguh dilestarikan : Le Marais.

Terletak di sisi kanan Sungai Seine, dia kawasan historis Paris yang khas karena pernah menjadi pusat pertumbuhan dan aktivitas di Paris. Selain itu, dia juga memiliki arti penting dalam proses transformasi urban Paris sebagai kawasan tempat dilakukannya eksperimen-eksperimen renovasi perkotaan.

SEJARAH le Marais dimulai pada abad 11, komunitas Order of the Temple membangun permukiman mereka dengan terlebih dulu membersihkan daerah rawa-rawa yang terjadi akibat luapan Sungai Seine. Daerah ini tepatnya terletak di utara dinding perlindungan yang dibangun oleh Raja Philippe Auguste. Tiga abad kemudian (1360), Charles V, raja Prancis membangun kediamannya, Hôtel St Pôl di le Marais dengan terlebih dulu memperluas dinding perlindungan Paris untuk memasukkan kawasan tersebut yang populasinya mulai berkembang.

Puncak pembangunan terjadi pada masa pemerintahan Henry IV, raja terbesar Prancis. Henry IV memperluas dinding Paris serta memelopori model arsitektur urban modern dengan membuat taman Place des Vosges (1605-1612) berbentuk segi empat (140mx140m) yang dikelilingi deretan bangunan-bangunan hampir simetris terbuat dari bata dengan aksen garis-garis vertikal dari batu serta arkad yang melengkung. Taman dan bangunan yang melingkupinya kemudian menjadi model di kota-kota Eropa lainnya. Lansekap urban yang indah membuat kaum bangsawan dan borjuis tertarik membangun rumah mereka yang selanjutnya membuat le Marais semakin berkembang. Pertumbuhannya terhenti, ketika pada masa Louis XIV para bangsawan meninggalkan Paris berpindah mendekati Istana Versailles dan membuatnya berangsur-angsur terpuruk.

RESTRUKTURISASI urban besar-besaran oleh Georges Eugène Haussmann untuk membawa Paris menjadi modern mengintegrasikan ide komposisi kota yang baru ke struktur lama Paris berdasarkan pusaka urbannya. Proyek ini merupakan wujud cita-cita Napoleon III yang ingin melihat Paris, menjadi ibukota negara yang indah dan sederajat dengan ibukota negara Eropa lainnya, baik sosial dan ekonomi. Sayang le Marais batal dikenai proyek ini sehingga belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam jaringan komunikasi kota Paris.

Kawasan dengan rentang sejarah 8 abad makin terbengkalai dan menjadi daerah industri kecil dan produksi kerajinan yang kumuh. Antara 1895-1905, bagian layanan kesehatan kota Paris melakukan pemeriksaan dengan mengunjungi setiap bangunan-bangunan permukiman. Tahun 1920, 17 îlot (kumpulan blok-blok bangunan yang dibatasi jalan) dinyatakan kumuh dan diusulkan untuk direnovasi. Kebanyakan terletak di pinggiran Paris yang luput dari renovasi Haussmann. Kekumuhan terkait dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat estetis dan kesehatan seperti jarak antar bangunan hanya 12 m dibanding tinggi bangunan yang bisa mencapai 5 lantai sehingga tidak memungkinkan sinar matahari dan udara masuk ke lantai dasar. Kondisi demikian dinyatakan mudah menimbulkan penyakit TBC. Luas total 17 ïlot tersebut 250 ha dengan populasi waktu itu 186 594 orang.

Ilot n° 16 berada, di kawasan le Marais, sebelah timur Hôtel de Ville (balai kota) yang berarti meskipun kumuh namun memiliki latar historis yang dalam. Problem tersebut dilihat sebagai kesempatan bereksperimen mengembangkan teori disain urban. Muncul pertentangan antara yang ingin menggusur saja îlot-îlot tersebut seperti digagas Le Corbusier atau mempertahankannya seperti para arsitek yang ingin melindungi bagian bersejarah serta meningkatkan nilainya, seperti Robert Azuelle dan Albert Lamparde (1940). Pihak yang terakhir ini memandang lebih baik membersihkan bangunan-bangunan baru di bagian dalam îlot yang disebut Azuelle parasit daripada menghancurkan sama sekali seluruh îlot.

Membersihkan bagian dalam berarti memberi jarak lebih besar antar bangunan untuk membiarkan udara dan matahari masuk ke dalam masing-masing ruangan. Metode tersebut digagas oleh arsitek Italia, Gustavo Giovannoni (1931) untuk tetap memelihara garis yang dihasilkan deretan muka bangunan dan mempertahankan wajah kota lama secara keseluruhan.

PROBLEM berikutnya muncul pada tahun 1960an, alih-alih isu îlot kumuh dan rencana pembuatan bangunan perkantoran, banyak bangunan tua di le Marais dihancurkan tanpa melihat sejarahnya. Setelah menghentikan rencana penghancuran Hôtel de Vigny, Andre Malraux, yang ketika itu mentri kebudayaan, akhirnya membuat undang-undang pembentukan kawasan yang dilindungi dengan syarat kawasan tersebut menunjukkan karakter bersejarah, nilai estetis tinggi dan kultural yang pantas untuk dilestarikan, direstorasi dan ditingkatkan nilainya baik keseluruhan ataupun sebagian dari kesatuan bangunan yang ada. Ditetapkan 4 Agustus 1962, Aturan Malraux ini mengacu pada seberapa penting kawasan tersebut bagi Negara, bukan lokal semata.

Aturan yang tadinya menyikapi aksi penolakan masyarakat setempat (kemudian melahirkan Association pour la sauvegarde et la mise en valeur du Paris Historique), terutama atas rencana penghancuran bangunan tua di Paris, selanjutnya diterapkan luas di seluruh Prancis dan diaplikasikan dengan pengatributan ‘rencana pelestarian dan peningkatan nilai’, PSMV (le plan de sauvegardé et de Mis en Valeur). Andre Malraux meyakini, bahwa suatu bangunan pusaka tidak hanya bernilai karena keberadaannya- sejarah ataupun estetis-, namun juga dimaknai dari lokasinya. Dan Paris ingin melindungi keduanya untuk menjaga keutuhan nilainya.

Atribut PSVM pada suatu kawasan memberi asosiasi arsitek Prancis, ABF (Les Architectes des Bâtiments Français) dan Kementerian Kebudayaan hak untuk mengabulkan atau menolak pemberian ijin pembangunan dan pembongkaran guna membuat sesedikit mungkin perubahan terutama penggunaan persil di kawasan yang dikonservasi. Dengan agen perbaikan permukiman ANAH (l’Agence Nationale de l’Amélioration de l’Habitat), ABF bekerja sama untuk mendapat subsidi bagi proyek renovasi bangunan2 tua yang memiliki nilai sejarah tinggi. Di seluruh Prancis ada 98 (data 2001) dengan PSMV le Marais sebagai satu dari dua yang ada di Paris. Luasnya 126 hektar, terletak di dua distrik 3 dan 4 Paris, merupakan kawasan konservasi yang terluas di Prancis.

Dengan Aturan Marlaux, perubahan fisik menjadi terbatas namun tetap memperhatikan aspek fungsi, sosial dan ekonomi kawasan. Fungsi tiap bangunan baik fungsi residensial serta komersial dipertahankan. Pemilik bangunan tidak bisa sembarang bahkan merubah fasad bangunan, juga dekorasi dan kondisi interiornya. Untuk meningkatkan nilai kawasan, le Marais kemudian didorong menjadi sebuah area unik museum, galeri seni dan situs bersejarah yang dilindungi, seperti Museum Picasso, Museum Carnavalet, Places des Vosges atau rumah penulis terkenal Prancis Victor Hugo.

Ketika kegiatan turisme berkembang, butik lokal ataupun yang memegang hak merk-merk mahal, kafé serta restoran turut tumbuh dinamis. Kecenderungan kemudian, meskipun bukan lagi tempat tinggal para bangsawan dan borjuis, suasana yang hidup membuat le Marais kawasan yang makin diminati untuk ditinggali, walaupun berarti nilai tanah dan harga sewa menjadi mahal. Demikian Paris dapat mempertahankan bangunan-bangunan juga lingkungan tuanya, membangun identitasnya sekaligus menggerakkan aktivitas ekonomi distrik kawasan tersebut.


PENGALAMAN le Marais menunjukkan bahwa usaha konservasi bangunan-bangunan tua selain tuntutan alasan emosional juga terintegrasi secara rasional dengan usaha transformasi kota. Faktor penting mengapa memilih melindungi bangunan-bangunan tua serta lingkungannya muncul dalam visi melakukan transformasi Paris dengan memberi ciri khusus bagi kota secara keseluruhan, kota bersejarah. Selain adanya peran pemerintah dan masyarakat setempat, strategi konservasi juga mengacu pada aktivitas ekonomi dan kondisi sosial kawasan yang efeknya merubah dari kawasan kumuh menjadi berkelas.

Saturday, April 21, 2007

Pesan atas Pesan....


Kota2 besar Asia, Eropa Amerika serta di manapun kelihatannya persoalannya banyak miripnya. Minggu ini aku membaca satu artikel yang Rani kirimkan ke milis2 Arsitektur.Judulnya :

Billboard ban in São Paulo angers advertisers:
New 'clean city' law angers advertisers
By Larry Rohter
Published: December 12, 2006

http://www.iht. com/articles/ 2006/12/12/ news/brazil. php

Pemerintah Sao Paulo, Brasil berniat menerapkan larangan pemasangan papan iklan (termasuk neon, dsb) di kota. Niatnya supaya kota bisa dibersihkan dari polusi visual ini. Dua barisan yang satu pro dan lainnya kontra kemudian saling berhadapan merespon larangan ini. Yang pro melihat kesempatan untuk mewujudkan lansekap kota yang ideal sedang yang kontra merujuk pada masyarakat yang konsumtif, masyarakat mobil yang butuh hiburan serta masyarakat pekerja periklanan yang butuh proyek. Masyarakat umum, menurut artikel ini, sepakat dengan larang ini.

Persoalan iklan di kota ini bukan hanya soal bagi Sao Paulo. Kota yang mengklaim telah menjadi ideal seperti Paris juga mengalami soal ini. Barisan "anti-pub" kerap membuat aksi coret2 pada iklan2 di stasiun metro. Iklan memang menghasilkan uang besar. Untuk membuatnya lebih terkontrol, biasanya kemudian dibuatkan papan2 iklan dengan model2 macam2. Ditaruh di trotoar, di stasiun metro. Tapi ada juga yang terang2an merusak pemandangan seperti iklan LV di gambar atas. Atau di bioskop Rex di samping ini.

Di negara kita, semakin ke sini kelihatannya cara2 untuk membuatkan iklan ini tempat yang lebih layak semakin digalakkan. Setelah langit2 Jogja dipenuhi iklan2 berbentuk gerbang, muncul pula yang berbentuk video.


Mungkin tidak ada yang salah dengan iklan2 itu atau tempatnya. Tapi masyarakat yang sekarang memang sudah berubah. Disain kota yang kita yakini secara tekstual, arsitektur bagus yang dicita2kan sejak Vitruvius sudah harus menemukan rasionalitasnya lagi. Mungkin tidak perlu arsitektur bagus, tapi apapun yang secara visual bagus. Dan tidak hanya cukup bagus, tapi pesan yang mudah dipahami. Arsitektur, terlalu banyak kode yang harus dipecahkan untuk memahami pesannya. Garis, bentuk. Apa semua orang harus jadi arsitek untuk bisa mengapresasi arsitektur? Bandingkan dengan iklan di samping, "pria punya selera" dengan gambar2 laki2 bergaya. Baigan bawah bangunan, kolom2 arked diberi warna merah menyala untuk memperkuat pesan merah si djarum merah (atau rokok apa? tolong dibantu). Hasilnya? Yes. Itu iklan rokok to....


Saturday, April 14, 2007

Religiositas dan Teritori...


Jauh sebelum munculnya tradisi organisasi teritorial modern, bangunan religius memiliki peranan penting dalam mendeskripsikan suatu teritori. Dalam struktur formatif suatu perabadan di nusantara misalnya, candi sebagai representasi spasial suatu religi menjadi orientasi bagi tatanan teritorialnya. Struktur formatif kerajaan Mataram dan turunannya juga menempatkan Masjid sebagai bagian integral dalam formasi intinya. Bangunan religius pernah memiliki peran yang berlapis. Candi Borobudur menempatkan dirinya secara vertikal juga horisontal. Dia adalah perantara antara dunia di sini dan dunia yang lain tetapi juga menjadi penjalin lingkungan alam dan lingkungan manusia. Dalam masjid (Gede Yogyakarta, misalnya), hubungan antara manusia dengan religi diformalkan secara spasial. Ritual2 menjelaskan adanya hubungan antara kraton serta masjid dan ruang menjadi arenanya. Kalau kita membuka peta (lama) gagasan tentang formasi kota tradisional, kita akan mendapati bahwa kota dibangun di atas ide religiositas ini.

Gagasan tentang kota yang semakin kompleks (dengan program dan bentuk) dan berlapis (urbanisasi dan globalisasi) membutuhkan kreativitas urban yang semakin unik (untuk berbeda) tapi juga jitu (untuk menyelesaikan masalah). Kota yang merupakan bentuk spasial terbaik atas kontrol teritori terus mendefinisikan diri (metropolis, megalopolis, mega-urban) untuk mengidentifikasikan problem yang nyata. Dasar-dasar disain kemudian dibangun berdasar kehendak politis yang rasional seperti permasalahan perumahan. Secara tipologis dan morfologis, bentuk dan ruang kemudian terus diperbarui untuk dapat menyesuaikan kondisi yang sekarang.

Sampai di sini, bangunan religius bagaimanapun juga mendapati dirinya sedang direview kembali. Makna2 yang berlapis semakin berkurang yang berarti secara tipologis dan morfologis juga berubah pula bentuknya. Di negara Eropa, bangunan religius banyak berubah menjadi museum (hidup?) karena ditinggal umatnya. Tapi di banyak negara Asia, bangunan religius menjadi arena wisata meskipun masih banyak orang datang beribadah. Lapis yang berkurang diganti dengan lapis yang lain lagi (hasilnya sama, selalu ada alasan untuk memperbaiki). Sementara di Thailand, bangunan religius dapat menjadi sebuah kuil yang berada di pekarangan sebuah mal. Tanpa mengurangi makna religiusnya. Contoh2 tersebut menunjukkan terjadinya negosiasi dengan setting waktu.

Aku pernah dengar bahwa bangunan religius dapat merupakan perwakilan secara mendasar sebuah kebudayaan. Melihat bagaimana mereka dapat bertransformasi (secara tipologis), kebudayaan memang sedang mengalami perubahan.

Wednesday, April 11, 2007



Ada dua orang yang bilang kalau Hue cantik, Pak
Emile dan Ju. Mereka terkesan dengan Citadel yang World Heritage dan makam2 raja dari dinasti Nguyen (Raja Gia Long dan seterusnya). Pak Emile menambahkan saja kalo konservasi Citadel terlalu brutal karena metode restorasinya dan makam2 kurang terawat.

Aku sendiri tidak begitu terkesan dengan Hue. Tentu saja Citadel perlu mendapat apresiasi sendiri. Meskipun entah bagaimana aku harus mengapresiasi, sebuah model Citadel, struktur dari periode tertentu. Atau apa.

Tapi dalam skala kota, absennya kaitan antara manipulasi ruang dan produksi imej membuatku ilang mood atas kota ini.

Kota yang baik menurutku dibangun atas sebuah identitas (Thanks buat Arif). Ada sesuatu yang ingin dinyatakan dan lantas dispasialisasikan. Teori "Image of the City" soal landmark, node serta path yang dibangun Lynch mungkin bisa menjelaskan apa yang boleh kita cari atas sebuah kota. Tentu saja di atas itu politik tertentulah yang akan menjelaskan apa yang mendorong produksi imej tersebut. Boston akan berbeda dengan Jakarta (Kusno), Hanoi (Wright) atau Bangkok (Askew) bukan karena semata2 tipologi bangunannya, tetapi aktor2 yang berbeda yang berperan.

Tapi globalisasi -mungkin- telah mendorong kota2 untuk menjadi semakin sama. Produksi mal, hotel di atas jalinan 'jaringan internasional' hotel tertentu membuat absennya produksi imej yang unik. Apa hubungan antara Citadel dan sebuah calon hotel di jalan Huong Vuong? Tidak ada. Sedangkan Citadel diakui sebagai karakter Hue. Kalaupun hotel ini dibangun di atas laut, apa ada yang kehilangan? Tidak. Dibangun di atas bulan sekalipun tidak masalah karena secara tipologis dirancang untuk bisa dibangun di manapun.

Kontinuitas. Ingin sekali melihat kota yang memang dibangun secara kontiniu. Entah karena direncanakan dengan baik. Atau setidaknya struktur dibangun dengan pertimbangan yang tertata secara metodologis bukannya karena mantas2i. Struktur adalah instrumen untuk memanipulasi teritori lebih dari sekadar perpanjangan kapital.

Sunday, April 08, 2007

World Heritage Site or World Tourism Site


Sepuluh hari lalu aku di Hoi An untuk sebuah workshop. Satu malam di Hue dan pulang dengan kereta malam. Reunification Express yang menghubungkan Saigon (HCMV) dengan Hanoi.

Perjalanan makin menyenangkan karena diskusi panjang lebar dengan satu pasangan dari Jerman, Marcus dan Gwendoline. Marc, seorang fire engineer bekerja di London serta Gwen bekerja di urusan TI di Paris (dunia memang sempit bukan). Buat mereka, Vietnam adalah kunjungan pertama mereka ke Asia.

Diskusi kami terjadi di seputaran pengalaman selama di Hoi An. Atmosfer yang dirasakan di Hoi An menggelitik kami untuk mempertanyakan soal2 seperti ada apa dengan heritage, world heritage. Apa manfaat dan apa peran aktor2 tertentu dalam bidang ini.

Turisme merupakan pangkal soalnya. Hoi An memang luar biasa. Dengan banyak struktur tua yang terpelihara bisa jadi sebuah kisah keberhasilan sebuah kawasan konservasi. Dengan orang2 yang tinggal di kawasan ini, jadilah satu contoh pula untuk kisah sukses konservasi living heritage. Tapi buat kami Hoi An terlalu jauh sehingga kesan yang muncul justru sebuah teater living heritage. Gwen bahkan menyamakan Hoi An dengan disneyland, taman bertema yang secara spasial ditata sedemikian untuk jadi sebuah paket atraksi.

Sebetulnya, mungkin tidak sejauh itu. Tapi komersialisasi yang terlalu berlebihan mungkin membuat kesan semua2 yang ada di Hoi An hanyalah sebuah tontontan. Deretan kafe2 cantik a la Eropa, resto lokal dengan tawaran cooking class, deretan taylor serta toko sepatu yang semua2 menyasar turis memberi cap yang dalam spasialisasi industri kultural. Begitu pula kehidupan yang sebenarnya normal seperti orang2 yang duduk2 depan rumah, melakukan ritual ibadah, akhirnya tampak menjadi bagian dari tontonan tersebut.

Ketika mengaitkan dengan turisme yang menyasar orang barat, Gwen kemudian berhipoteses bahwa predikat world heritage sebenarnya hanya alih2 barat untuk mempertahankan hegemoninya atas Asia. Konsep barat sebagai yang dominan dan menempatkan Asia sebagai obyek eksplorasi. Meskipun yang disasar adalah orang barat berduit dengan dalih sumber devisa, pembangunan atau apapunlah namanya, namun pemosisian antara siapa memanfaatkan siapa adalah pertanyaan mendasarnya.

Diskusi kami hanya berputar2 pada pertanyaan tanpa jawaban. Tapi kami sepakat bahwa setiap orang, bangsa berhak... untuk memberi jawaban...:)

Tuesday, March 27, 2007

Teman dua minggu...


Waktu kecil (kira2 20 tahun lalu), pertemuan dan perpisahan adalah pasangan yang paling kerap bersamaku.


Karena orang tua bekerja berpindah-pindah, aku jadi harus sering gonta-ganti sekolah. SD aku lewati di tiga sekolah di kota yang berbeda dan SMP di dua kota yang
berbeda. Baru ketika SMA di Jogja, hingga kuliah benar-benar bisa tetap di satu kota.
Di Jogja, orang dan pergi tidak begitu aku rasakan. Mungkin karena sentimen keakrabannya tipis. Tapi, semakin menua dan
membesar, ternyata penguasaan kita atas satu teritori juga semakin besar. Kalau hanya pindah dari Jogja ke Jakarta, itu masih sama2 di Indonesia juga. Ke Jakarta bukan sesuatu yang tidak mungkin, naik kereta atau pesawat.









Van Mieu Pho Hien












Chua
Pho Hien













Nha Tho Hung Yen



Lama kemudian, perpisahan yang bisa membekas lagi muncul pada perpisahan dengan Paris dan orang2nya. Di mulai dengan perginya seorang teman dari Belanda yang harus magang di Jerman. Beberapa saat kemudian aku juga pergi dan berkata 'selamat tinggal' pada Paris. Batas geografis terasa benar. Paris bukan Jakarta, bukan tempat yang
aku bisa datangi semau dan sebisaku. Ingatan peristiwa yang pernah terjadi di Paris masih saja lengket di kota itu. Foto2 yang aku ambil selama di Eropa masih bisa buat secara emosional aku melayang2kan ingatan ke masa lalu. Tetap tempat yang sama, tetap waktu yang sama.

Minggu besok, seorang teman, Tuan akan pergi ke Prancis. Aku kenal Tuan, juga Hien, Luyen dan ketika ke perpus AFU di Hanoi University of Architecture. Tan yang mengenalkan aku dengan mereka. Kejadiannya dua minggu lalu. Senin itu aku niat untuk ambil fotokopian di AFU. Dengan Tuan ini aku pergi ke Pho Hien sabtu lalu (tiga foto di atas: Chua, Nha Tho dan Van Mieu di Pho Hien) untuk "bikin magang" (istilahnya Budi, hehe) di Toulouse. Karena aku juga akan pulang ke Indo tiga bulan mendatang, kami tidak akan sempat bertemu lagi. Ada perpisahan lagi. Dia pergi, aku akan pergi, dan kami tidak akan bertemu untuk seterusnya.

Apa perpisahan benar ada? Teritori seperti sebuah karton yang datar, kota satu dan lainnya adalah sebaran titik di bentangan karton tersebut. Mobilitas seseorang adalah tarikan garis antar satu titik. Jadi kita tidak ke mana2, masih di karton itu juga to. Lalu apa arti perpisahan? Persoalan jarak? Ketika dua titik tidak bisa dibuat lebih dekat. Mungkin ya....

Monday, March 26, 2007

Les Elément Constitutifs de la Ville de Hanoi

Il y a quatre modèles de structure de la vile de Hanoi mais ces modèles se mangent.

Le première modèle est la cité impériale, structure politique et administrative qui a disparu à la deuxième moitié du 19ème siècle en raison de la colonialisation français. Hanoi a perdu sa cité en 1882 lors de la prise par le militaires Française ce qu'a entrainé la chute du pouvoir royal.

La ville marchande traditionelle qui a perduré malgré l'histoire
est le deuxième modèle. Cette ville s'est peuplé de ruraux sous l'ordre royal et sont devenus artisans et commerçants. Hanoi aurait subi également l'influence de la ville-comptoir d'origine chinoise qui s'organise en compartiments dans les diffèrents quartiers.

La ville coloniale constitue le troisième élément. C'est un ensemble homogén, construit sur de grands axes. Cette ville différent du reste de la ville, est basé sur la ségrégation ethnique pour pouvoir dominer. Après l'indépendence, elle s'intégre au reste de la ville. Les bâtiments coloniaux seront réhabités sous des formes différentes, preuve d'un réaménagement possible non à l'identique. Au niveau architectural, il faut retenir une implantation dans la structure urbaine et de nouveaux styles.

Le quatrième élémént est le modèle du village communal qui forme le territoire autour de la ville. La maison typique est l'habitation rurale qui a des formes flexible grace aux terrains réduits.

Cet quatrième modèle est juxtaposé par le cinguième modèle : le quarter de grand ensemble de logement collectifs. Ce modèle a eu pour but de résoudre le problème urbanistique, sociaux et humaine en adoptant cette nouvelle forme architecturale venant de l'étranger. (résumé d'un article de C.Pédelahore de Loddis, paru dans "Etudes Vietnamiennes")

Sunday, March 25, 2007

Mari membaca...


Ini pertama kali aku di Hanoi melihat seseorang membaca di dalam bis. "Très seriouse," kata Tuan, teman perjalananku ke Pho Hien.

Kemarin aku dan Tuan jalan ke Pho Hien, di propinsi Hung Yen, propinsi yang lain dari Vietnam untuk bisa lihat "terrain d'étude" yang sedang digarap dalam mémoire Tuan. Kira2 50 km dari Hanoi atau kurang lebih sejam bila naik bus. Perjalanan berangkat dibilang kurang nyaman saking padatnya penumpang bis. Kami harus berdiri sampai kurang lebih setengah jam perjalanan terakhir.

Sedangkan pulangnya, meskipun bisnya kecil, tapi buat kami jadi nyaman karena bisa dapat tempat duduk di bagian belakang. Di bis inilah kami mendapat fenomena ini..:)

Apa yang kami lihat? Seorang mahasiswi (menurut Tuan, dia mahasiswi Ecole Normale) di dalam bus, berdiri menyandar di bangku bis. Satu tangan memegang buku, terlihat sedang fokus pada buku yang dia pegang. Mungkin waktu sudah begitu cepat berlalu untuk dia, sehingga harus diberhentikan di dalam bus (yang sebenarnya sedang bergerak) ini.

Saturday, March 24, 2007

Euralille


Dua tahun lalu aku ada kesempatan buat mampir di Lille, yang agak2 tenar sebagai daerah wisata. Transit selama kurang lebih lima jam sebelum terus ke Brusel aku manfaatkan untuk melihat2 Lille. Masih pagi waktu itu. Aku ingat ketika keliaran di sekitar Lille Tua.

Pemandangan pertama yang membuatku takjub adalah Euralille. Tepat di pinggiran Lille Tua, berdiri tegak bangunan2 modern yang didisain segerombolan arsitek besar seperti Jean Nouvel, Rem Koolhass dan Christian Portzamparc (struktur seperti L). Masterplan kawasan didisain oleh Rem Koolhass dengan OMA-nya setelah memenangkan kompetisi yang diikuti Norman Foster, Vittorio Gregotti, Yves Lion, Michel Macary, Oswald Mathias Ungers, Claude Vasconi, Jean-Paul Viguier serta Rem Koolhaas sendiri tentunya.

Ada dua hal yang membuat takjub. Satu adalah skala struktur2 tersebut yang terlihat mendominasi struktur2 tua di Lille tua. Dua adalah fungsi2 yang mengisi struktur2 tersebut yang mungkin kalau di Indonesia boleh dicaci dan diremehkan orang2. Aku ingat di Jogja 2 tiga tahun silam ada aksi menentang pembangunan rombongan mal baru di pinggiran kota. Satu, karena ada mal yang dibangun di atas situs bangunan tua. Dua, karena mal dituding hanya makin mendorong orang untuk kian konsumtif.

Untuk pertanyaan pertama, aku mendapat jawabannya ketika ikut berpartisipasi dalam kuliah Mme. Fredrich, arsitek lansekap yang juga pengajar di EA Toulouse di EA Hanoi. Menurutnya, senjang skala ini memang diniatkan untuk menunjukkan munculnya era baru pembangunan di Lille. Identitas baru bagi Lille yang akan memainkan perannya dalam skala regional Eropa.

Proyek urban ini merupakan penanda kebangkitan Lille yang ambruk seiring persoalan lingkungan usaha tambangnya (kalau tidak salah). Angka pengangguran termasuk tinggi. Walikota waktu itu, sekitar tahun 1980an melihat mobilitas Eropa sebagai peluang bagi bangkitnya Lille. Kota ini dianugrahi posisi strategis berada di simpangan Paris-Brussels-London (dan menyusul pula ke Koln).

For Pierre Mauroy, his collaborators and advisers, the successful bid for the Euro-TGV was an essential prerequisite for a new city district envisaged as the future development turbine that would reverse decades of industrial and economic decline in the region as a whole and revive Lille's traditional role in Flanders as a European centre of exchange and communication. (Maede, 1994)

Persoalan politisnya kelihatannya lebih besar daripada persoalan disainnya. Sentimen historis pasti menjadi pondasi bagi resistensi proyek ini. Bagaimanapun, Euralille ini terbangun. Begitulah resikonya mengoperasikan proyek urban. Harus ada orang2 gila yang nekad untuk membuktikan perhitungan sebuah proyek fisik bisa berhasil di masa depan atau tidak.

Sumber foto:
(1)
http:// www.axter.fr
(2) http://en.structurae.de/photos/index.cfm?JP=1926 (foto oleh Luc Nueffer)

Sumber teks:
Meade, Martin K., Euralille: the Instant City - Development within the Lille Grand Palais in France

Wednesday, March 21, 2007

Saya Suka Indonesia....

Hari ini aku bertemu dengan seorang Prancis yang enam bulan lalu ada tinggal di Jakarta. Kerja untuk Bank Dunia. Sekarang dia bekerja untuk Kedutaan Prancis di Hanoi, sudah tinggal empat bulan dan masih akan terus berjalan. Rindunya untuk bicara bahasa membuatnya mengirimku SMS untuk bisa bertemu. Jadilah, kami janjian makan siang di resto "Little Hanoi" di Ta Hien no.9, Old Quarter. "Makanan di sini semua enak," katanya. Dan Ta Hien ini termasuk jalan yang populer untuk turis. Satu pojokan terkenal dengan nama Bia Hoi Corner. Satu gelas cukup bayar 2 000 VND.

Ini pertama aku bertemu dengan seorang "pengagum Jakarta". Yes. Meski hanya tinggal selama tiga bulan, apa yang dialami kelihatannya membekas dalam dan membuatnya menempatkan Jakarta di peringkat pertama kota2 yang nyaman ditinggali. Alasannya? Pertama tentu saja, orang2 Jakarta, secara umum Indonesia, ramah2. Mereka akan senang bisa berkomunikasi dengan orang asing. Dan makin senang kalo si orang asing tadi bisa bercakap bahasa. "Aduh, sudah bisa bahasa Indonesia. Sudah bisa bahasa Jawa belum," katanya mengulang ucapan lawan bicaranya sambil terkekeh. Ini yang kedua, bahwa bahasa Indonesia tidak sulit untuk dipelajari, meski untuk bisa membaca dan menulis merupakan soal yang lain lagi. Tapi dibanding bahasa Vietnam yang ampun (dan aku setuju), sulitnya minta ampun, bahasa tentu saja jadi menyenangkan. Ini membuatnya makin menyenangi Jakarta. Tidak sulit untuk bisa berkomunikasi dengan orang2.

Dan yang ketiga, Jakarta itu jujur. Hm. Kota yang jujur, konsep macam apa ini....

Clem -panjangnya Clemence- lahir dan besar di Paris. Menurutnya (dalam versi panjang lebar, tapi aku lupa), kota yang cantik ini sebenarnya hanya "fasad" yang terus dibesarkan dan didorong untuk semakin cantik. Tujuannya supaya bisa semakin unggul dibanding kota2 yang lain. Bukan sesuatu yang dibuat untuk benar2 suatu kebutuhan. Turis ada di mana2 di Paris. Dan supaya semakin banyak turis yang datang, semakin saja kota Paris dipermak untuk tampak semakin cantik. Fasad. Apa yang tampak tidak menggambarkan apa yang ada. Seperti apa kehidupan di balik "fasad" tidak ada yang tahu. Atau justru tidak ada kehidupan?

Sedang Jakarta, well, kota ini dibuat apa adanya. Dengan semua kekurangannya dan kelebihannya, bagaimanapun, kota ini tidak memiliki pretensi untuk terlihat cantik. Karena tidak cantik, tidak ada turis yang datang. Dan Clem senang melihat tidak banyak turis seliweran di Jakarta.

KOMENTAR? Hehe. Boleh tidak setuju dengan apa kata Clem. Menurutnya Jakarta sangat luar biasa. Tapi pasti di antara kita banyak yang lebih suka kalau Jakarta juga bisa berdandan hingga seperti Paris. Dan kalau turis juga suka datang ke Jakarta -bukan cuma transit semalam- pasti juga ada pekerjaan2 baru bermunculan. Jalan Jaksa akan ramai lagi. Jakarta Tua semanis Le Marais. Jakartapun sebenarnya tidak benar juga dibilang tidak berdandan. Waaah. Patung2 baru ada di mana2 dan lampu di sepanjang Thamrin-Sudirman. Ada Busway TransJakarta. Mal bertebaran. Apa Jakarta memang apa adanya?

Memotret atau "Memotret"

Pertanyaan sederhana, "apakah memotret untuk satu kepentingan dapat digantikan dengan memotret untuk kesenangan?"

Jadi begini. Bila saat aku mencamtumkan dalam proposal riset begini, "Pengumpulan data akan dilakukan dengan cara observasi dan blabla.... Observasi akan meliputi pengamatan terhadap suatu kawasan. Alat yang digunakan selain buku catatan adalah kamera.... Analisa terhadap setting kegiatan di kawasan tersebut akan menggunakan interpretasi terhadap foto2 yang telah diambil...." Dengan demikian, memotret menjadi bagian yang integral dengan kegiatan penelitian. Memotret dan hasil potretan bolehlah terhitung kegiatan ilmiah dan barang ilmiah (hehe, apapun istilahnya).

Tapi bagaimana bila kita memotret tapi tidak dengan sengaja sebagai bagian dari riset. Mungkin dilakukan jauh sebelum riset, ketika sedang jalan-jalan atau sedang berwisata. Atau dilakukan ketika riset tapi "di luar" aktivitas riset. Singkatnya, kita punya koleksi sejumlah foto ini dan itu yang secara garis besar satu adalah foto riset dan lainnya foto jalan-jalan. Ambil contoh, aku sekarang riset tentang Hanoi. Tapi aku jalan-jalan ke Hoi An, Hue, Perfumes Pagoda, dsb.

Lalu, suatu saat ketika kita mulai melakukan kegiatan analisa, mengurutkan foto, membuat daftar foto dan tersadar bahwa foto bukan riset ternyata bisa digunakan juga untuk bagian analisa atau juga foto pendukung. Aku mau bilang, Citadel di Hanoi adalah sama dengan Citadel2 lain di Vietnam, misalnya di Hue. Ups, apa foto yang aku buat di Hue lalu boleh valid dan aku masukkan di dalam laporan? Sedangkan ga ada niat untuk foto2 di Hue untuk jadi bagian laporan penelitian.

Hiks. Gimana ini?

Kota kebetulan

Apakah kota pernah dirancang untuk beroperasinya kebetulan-kebetulan?

Cerita ini tidak mewakili soal kebetulan sebagai sebuah hasil dari disain besar. Tapi membuatku terus berpikir tentang kebetulan sebagai sebenarnya sebuah hasil yang menentangkan makna "kebetulan" itu. Kemarin ketika aku ke Hanoi University of Architecture, kebetulan bertemu seorang teman yang sebenarnya punya kelas bahasa Prancis. Ternyata kelas batal karena satu dan lain hal (frase yang jadul banget). Kami kemudian ke kafe sebelah bareng pula dengan teman2 kursus dia yang lain. Ada tiga orang lain, yang semuanya peserta program DPEA "Patrimoine, Projet Urbaine et Ville Durable". Dan kebetulan, mereka sedang mengerjakan mémoire2 seperti studi tentang Pasar Dong Xuan di Old Quarter. Kami kebetulan berdiskusi panjang lebar ini itu sejak referensi atau juga pengalaman lapangan, metode dan persoalan. Akhir cerita, aku akan diajak untuk melihat2 site2 yang jadi bahan mémoire mereka. Jadilah ini kebetulan yang menyenangkan....

Sunday, March 18, 2007

Whose Identity, Whose Heritage


I'd like to open this article by quoting King (1991), "the political economy of colonialism focused attention on the unequal distribution of power, between Europeans as colonizers and Indians as colonized, in the production of the built environment: a situation in which a cultural division of labour needed to be built into any explanatory model".

It doesn't correspond directly to what I'm thinking now about the cultural heritage in the present (colonialism) Hanoi. However, it does make me consider that somehow the concept of heritage was possibly created under the influence of the economy, society, culture and their relation to building form (copied from p. 107). It is the logic of colonialism itself which can explain the work of this concept. Especially as Cooper (2002) has explained that what actually happened with the practices of urban design and architecture in Indochina was an ambuigity. On one hand, it intended to express French good will in associating local culture to French spatial planning, but on the other hand it intended equally to strengthen the distribution of colonial power in the colonized territory (Lim, 2006). In this context, the role of the "local" cultural heritage was to become the tools to differentiate the European built forms from the indigenous forms.

The next question is how we can explain changes from "local" building forms into French version of historic monument.

In Vietnamese perspectives, the notion of heritage derived from the idea of monument, an establishment constructed with memorial value. This mode of production can be seen at the construction of the Van Mieu Temple by Ly Thai To in respecting the Confucianism (1047). Other establishments such as pagodas (Chua), temples (Den) and communal houses (Dinh) built by people over period were also the expression of this idea. Those places are until now used to remember important people and also as worship place. Furthermore, from the old cartography of Hanoi, we may see that the ensemble of nature and built environment were also treated as monuments (Mangin, 2002).

(Urban) heritage in Hanoi was transfered as a concept during the period of French dominiation (The importation of this term also took place in other colonized countries in south-east asia cities). As concept, according to Choay (1999), its origin meaning was historic monument. This was French invention which emerged at the late of 18th century. This concept later was formalized with the establishment of the historic monument office in 1830 and some regulations. During the French colonial expansion, this concept was spread over the world including to Indochina along with the religious, military and administrative mission (Mangin, 2002).

To transform this abstract concept into a concrete practices
in different territory is not a very difficult task to carry out. Firstly, because this concept was equipped with clear criteria concerning the value of the monument. This variety of value was based on this several issues, for instance (1) the age of the building; (2) architectural value (Mangin, 2002). Secondly, there was already the organisations like the EFEO who were in charge and whose interest relate to cultural heritage.

In 1930s, a list of historic monuments was made by the Ecole Française d’Extrême-Orient (EFEO). It showed the emergence of concern to Hanoi's archaeological relics (Pédélahore, 1993). The list included the vestiges of old citadel and religious building: pagodas, temples and communal house. Certain specific buildings from hundred of year’s history were claimed as historic monuments by modifying the vietnamese cultural value into western value (Mangin, 2002) under the French interest. For instance, the Quan Chuong Gate was put in the list since the governor Jean Dupuis first entered Hanoi trough this gate. This gate is the only gate from 13 gates which was decided to preserve whike the other gates were totally demolished.

This concept and definition of urban heritage involved the term of heritage restoration and conservation as the means to protect the monuments from serious damage. The data base was then used to develop a practical and applicable value system (Cooper, 2002) which was at that time officially introduced as heritage regulations.

Different case was the master plan of Hanoi created by Ernest Hébrard, an architect-urbanist which was the director of the service d’urbanisme, manifested an attempt to think carefully in designing an Indochinese metropolitan city. In this master plan, the modernity of Hanoi was overlaid on existing traditional city of Hanoi. The museum of Louis Finot, the museum of EFEO(now museum of history) and the Pasteur Institute were the fruit of Hébrard’s architectural design in incorporating the western technology to the Vietnamese knowledge. The use of indigenouse architecture elements to decorate those buildings can be seen as an attempt to achieve a consolidation between the local and the French culture. Like in other colonial constructs, the physical bodies of this architecture represent the interest of the colonizer. Thus, instead of creating the form of consolidation (this word I borrow from Lim, 2006), this architecture in fact tried to create a definition for itself.

Briefly, those two stories -cultural heritage and Indochinese architecture - seemingly tended to create a condition in which architectural artifact can contains identities of the local culture. On the contrary, a
s it is argued by Cooper (2002) by using western perspectives, this whole process actually more or less is the way of re-creating the image of Hanoi city for the sake of western interest. Its intention was actually to express the difference between the colonizer and the colonized. The colonizer was represented by its modernity as it was shown in the design of (now) French Quarter while the colonized remained traditional. Urban Heritage, although it was produced from the local architecture, was a manipulation to be a model to divide the colonizer and colonized.

---

Bibliography

Cooper, N., 2000, Urban Planning and Architecture in Colonial Indochina : French Cultural Studies

Hung, Tran, Enjeux de la Conservation du Patrimoine Urbain in Hanoi - Enjeux Modernes d’une Ville Millénaire. Paris. Edition Trames, 2002.

Logan, W.L., 1995, Heritage planning in Post-doi moi Hanoi. The National and International contributions: Journal of the American Planning Association, v. 61, no. 3 (Summer 1995).

Papin, Philipe. Hanoi. Histoire de La Ville. Paris: Fayard, 2001.

Pédelahore de Loddis, Ch."Hànôi, miroir de l'architecture indochinoise", Etudes vietnamiennes, n. 107 (1993 / 1).

Phuc, Nguyen Vinh. Ha Noi Past and Presents. Hanoi: The Gioi, 2004.