Saturday, July 25, 2009
Tahun ini sudah 2 kali saya hadir di Palembang. Beberapa tahun lampau saya tinggal di Bagus Kuning. Salah satu klaster permukiman milik Pertamina. Dinamakan Bagus Kuning, karena konon ada makam Pangeran Bagus Kuning. Lokasinya di tepi Sungai Musi yang kalau ada waktu duduk-duduk di pinggir sungai itu, Jembatan Ampera terlihat dengan jelas. Luar biasa dan mewah.
Satu hal yang tidak pernah saya lakukan saat itu adalah benar-benar berdiri di Jembatan yang dibangun dengan pampasan Jepang ini. Saya pernah jalan dari satu ujung ke ujung yang lain jembatan Long Bien di Hanoi. Juga jembatan di Paris, Roma yang tidak hanya fungsional tapi cantik. Dan Jembatan Gondolayu yang menghubungkan dua sisi Kota Yogyakarta yang dibelah Sungai Code di mana di bawahnya terdapat Permukiman Kali Code yang tenar itu.
Akhirnya, saya bisa juga mampir juga di Jembatan Ampera. Memegang dan turun di kaki jembatan panjang ini. Tepi sungainya sudah ditata dengan pelataran yang rasanya belum dilengkapi dengan fasilitas penyandaran kapal. Cukuplah, dengan pelataran ini saya bisa jalan di sepanjang tepian sungai menikmati rumah terapung, kelenteng, dan kapal2 yang mondar-mandir di atas Sungai Musi.
Saturday, July 18, 2009
Kamis lalu saya hadir di "seminar" tentang Olah Disain dan Pembangunan Ekonomi ARsitektur Pusaka di Gedung Bank Indonesia Jogja. Kaitannya dengan rencana BI untuk merevitalisasi properti mereka yang merupakan eks de Javasche Bank. Pembicaranya Pak Bondan, Bu Laretna dan Pak Erich. Beritanya ada di Kompas. Saya teruskan beritanya di blog saya ini....
Dari Bank Kolonial ke Bank Indonesia Yogyakarta
Jumat, 17 Juli 2009 | 15:15 WIB
Oleh Idha Saraswati
Tak hanya tampilan fisiknya yang anggun dan megah ala bangunan neo-renaissance, konstruksi gedung peninggalan Belanda ini juga sangat kuat. Masyarakat yang kerap melewati kawasan Kilometer nol Yogyakarta pasti akan ikut mengagumi tampilan fisik dari eks kantor De Javasche Bank yang sekarang menjadi kantor Bank Indonesia Yogyakarta ini. Kekaguman itu mungkin akan bertambah manakala mereka mendapat kesempatan untuk menengok ke dalam bangunan.
Mulai 16 Juli, Bank Indonesia (BI) Yogyakarta membuka kantor ini untuk umum. Dibukanya akses bagi masyarakat umum tersebut merupakan awal dari langkah BI untuk memfungsikan kembali gedung tua ini dengan tetap memerhatikan sisi pelestarian bangunan pusaka. ”Renovasinya tidak hanya bertujuan mengembalikan ke bentuknya yang asli, melainkan juga memelihara sejarah yang melekat pada bangunan dan kawasan di sekitarnya,” kata Pemimpin BI Yogyakarta Tjahjo Oetomo, beberapa waktu lalu.
Untuk merenovasi gedung yang berada persis di sebelah kanan Kantor Pos Besar Yogyakarta ini, BI menggandeng tim dari Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada dan Jogja Heritage Society. Arsitek dan pendiri Jogja Heritage Society, Laretna T Adhisakti, menuturkan, bagi DI Yogyakarta, dibukanya gedung ini akan menambah ruang publik di kawasan Kilometer nol yang saat ini sudah semakin minim. Mendukung bisnis
Kantor Cabang (KC) De Javasche Bank (DJB) ”Djokdjakarta” dibuka pada 1 April 1879 sebagai KC ke-8. Berdirinya KC Djokdjakarta ini terutama untuk mengakomodasi usulan Firma Dorrepaal and Co Semarang. Presiden De Javasche Bank ke-7, Mr N P Van den Berg dan jajaran direksi menyetujui usulan itu mengingat volume perdagangan di Yogyakarta yang semakin besar.
Hal itu tecermin dari jumlah transfer uang ke Yogyakarta melalui KC DJB Soerakarta yang waktu itu mencapai 2 juta gulden-3,5 juta gulden. Yogyakarta pada waktu itu merupakan daerah penghasil gula dengan produksi 300.000 pikul per tahun atau setara dengan 2.580 ton. Cabang DJB Yogyakarta didirikan pada 1879 di atas tanah seluas 300 meter persegi. Tanah tempat DJB berdiri berstatus eigendom yang berarti merupakan tanah milik DJB sendiri dan bukan lagi milik Sultan Yogyakarta.
Sejak 1879 hingga akhirnya dinasionalisasi oleh Pemerintah Republik Indonesia pada 1953, fungsi gedung bank ini naik turun. Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada 1942, kegiatan operasional bank ini berhenti. Bersamaan dengan itu, Nanpo Kaihatsu Ginko difungsikan Jepang sebagai bank sirkulasi di Pulau Jawa. Setelah melalui masa buka tutup akibat agresi militer Belanda, KC DJB ini beroperasi kembali pada 22 Maret 1950 hingga dinasionalisasi pada 1953. Tahan terhadap tsunami
Laretna menjelaskan, seperti juga gedung DJB lainnya, gedung DJB Djokdjakarta dirancang oleh arsitek Hulswitt dan Cuypers dengan hasrat menampilkan kemegahan arsitektural. Gedung ini terdiri atas tiga lantai yang memiliki ruang-ruang dengan fungsi yang berbeda. Ruang di lantai dasar berfungsi sebagai ruang penyimpanan, dengan brankas besar (ruang khazanah) yang berfungsi untuk menyimpan uang. Di lantai satu terdapat ruang kantor dan kasir yang merupakan fungsi utama dalam gedung bank. Lantai dua dengan tambahan balkon yang dibangun tahun 1950-an menjadi tempat tinggal bagi direksi dan keluarganya.
Menurut Laretna, bentuk muka DJB di DIY ini sangat mirip dengan gedung yang ada di Aceh. Selain bentuknya yang megah, konstruksinya juga kuat. Saat tsunami menghantam Aceh pada akhir 2004, eks gedung DJB yang menjadi gedung BI Aceh luput dari terjangannya. Namun, saat diperiksa, persediaan uang tunai dalam khazanah yang disimpan di lantai dasar ternyata tak tersentuh air barang sedikit pun.
Secara prinsip, lanjut Laretna, gedung DJB akan dikembalikan ke bentuk asal. Lantai dasar akan tetap menjadi ruang penyimpanan, lengkap dengan khazanahnya. Meja kasir di lantai satu akan dikembalikan, ditambah dengan ruang pertunjukan. Lantai tiga akan berfungsi sebagai perpustakaan.
Kelak, selain melihat detail konstruksi bangunan kolonial yang megah dan kuat ini, masyarakat juga bisa berkunjung untuk menambah pengetahuan di perpustakaan. Tak hanya itu, ruang pertunjukan juga bisa dimanfaatkan untuk kegiatan seni dan sosial.
Laretna menuturkan, proses pemanfaatan gedung ini memakai metode olah desain arsitektur pusaka. Artinya, pelestarian tidak hanya dilakukan dengan mempertahankan bentuk aslinya, melainkan juga memperhitungkan sisi kemanfaatannya.
Old – New Rethinking Architecture in Asia
United Nations Conference Centre, Bangkok
Thursday - Friday, August 20 – 21, 2009
Opposing views, such as old and new, are apparent in architecture in Asia and have raised several questions among architects and societies. Although countries in Asia have been undergoing a process of rather rapid transformation from traditional (old) to modern (new) for over a century, the two have not blended together smoothly.
Keynote Speakers
“Architecture and Cultural Significance”
Professor Rahul Mehrotra, an Indian architect, is known for contemporary architectural design not only in India but also abroad. He has an excellent academic background and practices architecture which engages both the old, in terms of architectural conservation, and the new, in terms of contemporary architectural design.
"Copying the Tradition: Brand New Old Buildings"
Dr. Pierre Pichard, a French architect, is the former director of the Bangkok Centre of the École Française d'Extrême-Orient (EFEO), Bangkok . He has worked for EFEO for over thirty years and has been involved in numerous projects on archaeology, architectural conservation, and the history of architecture in India and Southeast Asia .
“Conservation as a Catalyst in the Development of Historic City”
Professor Dr. Harsha Munasinghe, a Sinhalese architect, specializes in architectural and urban conservation as well as urban design. His current research focuses on heritage and society, development through conservation, ecological sustainability in architecture, and the ergonomics of furniture.
Papers will be presented in Thai and English with Thai translation on broad topics, such as tradition, modernization, Asian identity, internationalization, preservation, development, local wisdom, and modern technology from speakers of India, Sri Lanka, Bangladesh, Australia, Vietnam, Myanmar and Thailand.
Registration and Payment
Student participant: 900 baht or USD$ 40
Regular participant: 1,200 baht or USD$ 50
Please register by August 14, 2009 and download a registration form at http://www.arch.su.ac.th
For more information, please contact
Faculty of Architecture, Silpakorn University , Na Pralan Road, Bangkok 10200 , Thailand
Tel: +662-2215877 ext. 1216, 1218
Fax: +662-2218837, 2215872
Email: SilpakornADS@gmail.com
Website: http://www.arch.su.ac.th
Coco Chanel
Ketika Hidup sedang susah, apa iya orang masih berpikir tentang fashion. Ternyata ya, intuisi Coco yang nama kecilnya Gabrielle Chanel mengatakan dengan keterbatasannya pun orang akan berusaha tampil cantik. Fashion dimurahkan tapi cocok dengan kebutuhan perempuan pekerja. Butiknya di Deauville menjadi perwujudan visinya bahwa perempuan berbaju untuk diri mereka sendiri dan bukan untuk laki-laki mereka.
Film ini menunjukkan bagaimana Peragaan busana diadakan di dalam rumah, dekat tangga. Pengunjung berkurumun membentuk huruf U di sekitar tangga. Peragawati melangkah turun sejak di lantai atasnya. Di situ Coco Chanel diam mengamati rekasi pengunjung....
Friday, May 29, 2009
HANOI DAN PENCARIAN IDENTITAS KOTA
Dua tahun mendatang, tepatnya pada tahun 2010, Kota Hanoi akan berusia 1000 tahun. Tidak banyak kota dunia yang bisa bertahan hingga usia ini. Sebagai perbandingan, usia Bangkok sekitar 200 tahun dan Jakarta sekitar 500 tahun. Wajah kota ini dapat menggambarkan kompleksitas persoalan arsitektur dari berbagai lapisan masa dan terutama berbagai persoalan. Penduduk kota ini kurang lebih 4 juta orang dan angka migrasi penduduk semakin bertambah.
Seperti umumnya kota-kota di Asia, pembangunan kota di Hanoi merupakan sebuah proses yang berjalan dalam dua cara. Di satu sisi, perencanaan merupakan kebijakan yang disyaratkan untuk mendapat kualitas pemanfaatan ruang yang lebih baik. Di sisi lain, perencanaan belum benar-benar dapat memenuhi kebutuhan semua penduduk kota sehingga perencanaan dan implikasi pembangunan kemudian berjalan bersama dengan pembangunan spontan yang dilakukan oleh penduduk. Identitas kota akhirnya menjadi sebuah diskusi untuk menjadi berbeda dengan kota-kota lain di dunia pada satu sisi, sedangkan di sisi lain, masyarakat berusaha menciptakan identitas pada lingkup lingkungan yang mereka idealkan. Arsitekur di Hanoi berperan di dua sisi tersebut.
Berdirinya Hanoi
Sejarah Kota Hanoi dimulai ketika Kaisar Ly Tai Tho membuat sebuah pusat kerajaan baru di lokasi Hanoi yang sekarang. Lokasi ini tidak jauh dari Sungai Merah. Perpindahan ini menegaskan akhir dominasi Cina selama 1000-an tahun. Pengaruh Cina tampak pada struktur kota yang merujuk pada kosmologi Cina serta corak arsitektural pada bangunan istana, bangunan religius serta rumah-rumah penduduk. Kerajaan baru ini bernama Thang Long sebelum akhirnya berganti menjadi Ha Noi ketika ibukota pindah ke Hue di Vietnam bagian tengah.
Akhir abad ke-19 menendai dominasi pemerintah kolonial Prancis di wilayah Indoncina yang menandai pula awal berkembangnya Hanoi sebagai kota kolonial. Hanoi berperan pula sebagai ibukota Indocina dengan segala perlengkapan administratif seperti kantor pemerintah. Awalnya, banyak bangunan merupakan kopi dari arsitektur Eropa. Arsitek Prancis seperti Ernest Hebard kemudian mengembangkan langgam arsitektur yang disebut arsitektur indocina. Hebrard sebelumnya berkeliling wilayah Indocina dan mendokumentasikan arsitektur seperti Angkor Wat dan berbagai bangunan religius di Vietnam (Logan, 1990). Arsitektur Indocina menurutnya adalah penerapan corak arsitektur lokal yang dia temui pada karya yang harus dia buat untuk pemerintah kolonial, seperti Museum EFEO. Pendekatan yang digunakan oleh Hebrard banyak diikuti di dalam penyelesaian dekorasi arsitektur-arsitektur rumah tinggal pada masa tersebut.
Setelah lepas dari kolonisasi serta konflik regional lainnya sejak 1974, Vietnam di bawah Ho Chi Minh serta penerusnya menganut ideologi sosialis. Arsitektur pada periode ini ini banyak merujuk pada arsitektur yang berkembang di blok timur. Kota-kota dengan ideologi sosialis memiliki kecenderungan untuk mengekspresikan ideologi tersebut.
Dalam konteks tersebut, tidak aneh banyak ruang kota yang dibangun untuk menguatkan identitas ideologis. Yang paling jelas tentu saja dibangunnya sebuah mausoleum sekaligus monumen untuk Ho Chi Minh, bapak bangsa Vietnam. Mauseloum dibangun di atas Ba Dinh Square (dulu place Paul Bert) di mana orang-orang masih terus dapat melihatnya. Selain itu, bangunan ini menandai putusnya hubungan dengan identitas kota yang dibangun Prancis. Ruang terbuka lain seperti Lenin Park dilengkapi dengan patung Lenin. Sementara, bangunan rumah komunal menjadi lebih sederhana dan standar untuk dapat dibangun dengan cepat dan dapat mendistribusikan kesejahteraan. Monumen serta rumah susun menjadi lansekap yang menyusun wajah kota Hanoi pada waktu itu.
Hanoi Menuju Sebuah Model Metropolis Asia
Ketidakmampuan membiayai cita-cita sosialis mengantar Hanoi kepada sistem pembangunan yang berorientasi pasar. Ditandai dengan reformasi Vietnam “Doi Moi” tahun 1986 dan berakhirnya embargo Amerika Serikat tahun 1990, pemerintah Hanoi kini berbagi peran pembangunan kota dengan investasi domestik maupun internasional, hal yang tidak terjadi pada masa sebelumnya. Regulasi-regulasi dilihat kembali dan disesuaikan dengan situasi sekarang. Kembali ada usaha untuk memutus hubungan dengan kecenderungan arsitektur masa sebelumnya dengan mencap arsitektur yang monumental tidak memiliki cita rasa (Logan, 1990).
Wajah kota Hanoi telah berubah drastis. Jumlah luas rumah bertambah meskipun dalam bentuk apartemen. Transportasi publik lebih baik meskipun jumlah kepemilikan kendaraan juga terus bertambah. Perubahan regulasi tersebut mendorong pula perubahan struktur spasial Hanoi. Pengaruhnya dapat dilihat pada perubahan bentuk kawasan di pusat kota yaitu Kawasan Old Quarter, French Quarter dan sekitarnya. Bangunan-bangunan baru bermunculan, di antara rumah-rumah vernakular dan rumah vila, menjadi toko, hotel serta biro perjalanan. Kualitas visual yang dihasilkan oleh tipologi yang baru tidak serupa dengan yang lama dan menjadi sumber ketidakharmonisan visual lingkungan.
Dalam konteks tersebut, wacana pelestarian giat dibincangkan dan dicoba untuk diterapkan. Satu-dua orang dapat memanfaatkan bangunan tua yang mereka miliki dengan tetap memelihara otentisitasnya. Lebih banyak lagi telah berubah dan tampaknya terus bertambah. Hal pelestarian kemudian banyak ditekankan oleh arsitek setempat dikaitkan pada identitas kota. Menurut Doang Minh Koi dari Asosiasi Arsitek Vietnam (wawancara, 2007), Hanoi unik karena memiliki ciri ruang yang merupakan perpaduan antara lingkungan alam serta binaan. Karena itu, penting untuk dapat memelihara arsitektur Hanoi yang khas di dalam kecenderungan pertumbuhan kota sekarang.
Arsitek-arsitek Hanoi sendiri sesungguhnya melihat situasi saat ini sebagai peluang untuk berekspresi dan mengembangkan bentuk. Ada kesadaran terhadap persoalan perkotaan serta kondisi ekologis yang menjadi rujukan dalam berkarya. Bagaimanpun, ada kebutuhan menampilkan sesuatu yang berbeda untuk dapat eksis. Seorang arsitek muda bernama Hoang Thuc Hao contohnya mencoba mengeksplorasi pengetahuan tentang iklim saat menggarap bangunan pusat sains dan teknologi (Kien Truc 2006). Sementara, arsitek muda lainnya, Nguyen Toan Thang mencoba merumuskan sikap dalam berarsitektur dalam tiga hal, yaitu manusia, alam serta arsitektur lainnya (Kien Truc 2006). Relasi serta apresiasi dengan lingkungan tampaknya orientasi desain yang penting bagi arsitek-arsitek muda tersebut.
Di sisi lain, ekspansi kota juga telah mendorong perubahan pemanfaatan lahan-lahan di luar kota. Daerah perdesaan yang dibayangkan ideal dari segi ekologis banyak berubah menjadi kawasan pengembangan khusus seperti permukiman mewah atau khu do thi (KDT). Salah satunya adalah hasil rancangan kelompol Ciputra, yaitu KDT Thang Long. Kompleks ini terdiri dari beberapa menara apartemen serta beberapa kluster perumahan. Di masa depan, sebuah mal yang terdapat di kompleks perumahan ini dibayangkan menjadi mal terbesar di Hanoi. Jumlah khu do thi terus bertambah tanpa merujuk pada perencanaan kota. Geertman (2007) melihatnya sebagai episode pembangunan Hanoi dengan cara spontan. Meskipun demikian, banyak anggota pemerintah serta arsitek melihat khu do thi sebagai penanda kejayaan Hanoi.
Mencairnya Isu Identitas
Seiring dengan berkembangnya kota serta permasalahannya, identitas kota telah mencair dan menjadi plural. Isu mengenai identitas dibangun dengan cara berbeda dan dalam periode-periode yang berbeda. Tidak hanya dibangun dengan mengangkat dan memelihara apa yang Hanoi telah miliki selama ratusan tahun, tetapi juga dengan terus menciptakan arsitektur yang aktual.
Sekarang ini, kota-kota dunia nyaris mengalami persoalan yang sama, seperti pertambahan penduduk serta daya dukung lingkungan sementara di sisi lain, pertumbuhan ekonomi mendorong perkembangan kota ke dalam bentuk yang tidak terbayangkan. Ketegangan antara dua hal tersebut mendorong arsitektur terus berkembang dan menariknya pada sisi yang tidak selalu sejalan di dalam konteks kompleksitas kota. Hanoi sedang mencari cara untuk kembali kepada dirinya tanpa terjebak pada duplikasi dan pada sekaligus membentuk identitas dirinya di masa depan.
Thursday, July 31, 2008
Daripada Pulang untuk Pergi Lagi
Saya tidak perlu berpikir panjang tentang pertanyaan Arthur. Sekarang saya alami. Presentasi tim DPA mulai 17 hingga 19. Sedang pk 19-21 ada mantenannya Nugie. Memilih pulang untuk berpantas-pantas bukan pilihan yang menarik. Jarak tempuh hingga jakal km 8, tepatnya dayu permai b6 kira2 30 menit. tepat saya tiba di rumah, gravitasi luar biasa di rumah bisa menghalangi untuk pergi lagi. akhirnya saya pilih untuk diam di bayonet. sambil berbuka puasa dengan nasi kotak "top java" dari presentasi tadi.
Wednesday, March 19, 2008
Kafe, Internet dan Kafe Internet
Gagasan bahwa kafe adalah tempat untuk ngopi-ngopi tampaknya perlu dimodifikasi. Kafe yang akan anda temukan di St. Germain de Pres atau di Bastille, Paris masih sampai sekarang adalah tempat ngopi-ngopi. Di sini, dengan membawa laptop, kafe bisa juga berarti tempat untuk bermain-main dengan internet. Bisa jadi bermain-main karena akses yang tak terbatas seharga kopi yang anda bayarkan tadi.
Yang saya tahu warung internet dipanggil juga kafe internet. Sekarang saya tahu bahwa kata kafe sendiri sudah jadi semacam imbuhan. Sama seperti ketika kita menyebut rumah makan dan rumah sakit....
Friday, May 11, 2007
Sejarah Kota Museum (2)

Sebagai bagian dari generasi yang dikenyangkan dengan sejarah panjang penjajahan dan perjuangan kemerdekaan, pertanyaan sederhana untuk Hanoi adalah "kenapa tidak ada cerita seram" seperti Daendels. Apa kolonisasi hanya seram di Nusantara? Apa eksploitasi maksimal hanya di Nusantara? Vietnam memang membenci -waktu itu- Prancis, tapi itu merupakan resistensi kultural (baru perang2 menjadi cerita seram yang mempengaruhi identitas tradisional orang Vietnam). Metode kolonisasi Prancis adalah mengimplan total struktur metropolis dengan tesis "urbanisme kolonial". Meskipun sama juga seperti Belanda dan Inggris yang membangun struktur pinggiran pada kota2 di Nusantara, tapi imajinasi reflektif tentang Paris memberi kriteria tersendiri bagi pembangunan Hanoi, dan Vietnam secara umum.
Apa itu urbanisme kolonial dan sampai batas apa menentukan rupa Hanoi. Masih berlanjut....
Sunday, May 06, 2007
Sejarah Kota Museum (1)
Damn!!!
Kita menghadapi bagian2 kota yang semakin sama, secara rasa dan rupa. Penyakit yang akut bernama "memuseumkan ruang kota" menjebak di antara batas yang ditipis2kan antara memori dan kontekstual
Memori harusnya dibangun secara 70-80an. Ingatan kembali dituntun dengan deretan rapi foto2 dalam album foto. Dalam periode yang berikutnya, foto2 ditata rapi dalam folder2 laptop kita. (Teknologi dan kegagapan yang berlebihan bahkan mendorong orang2 untuk memelihara memori sampai pada batas2 privasinya.)
Dalam skala kota, memori dibangun dengan membuat museum. Oke, candi2 antik yang tersebar di Jawa Timur dan Tengah bisa dibayang2 dengan mengunjungi museum2 nasional seperti di Jakarta. Atau manfaatkan buku sejarah. Kalau kurang, kunjungi langsung candi2 dan elemen2 hiburannya yang diharap2 bisa membangun imaji2 sifat yang baru. Seperti mengunjungi museum perang, apa kita mengharapkan mengalami perang? Apa yang diharapkan?
Tanpa berangkat dari pertanyaan terakhir, memorialisasi telah dibadankan dalam ruang2 kota kita. Alih2 menjadi beda di bawah ancaman globalisasi, proyeksi metode dan produksi menghasilkan persamaan. Sedang kontekstual, sebenarnya menempatkan proses yang natural dari perubahan pada kota sebagai dasar intervensi atas kota. Tapi membuat ruang kota semakin sama, karena kontekstual diartikan dengan konsumsi citra, memanfaatkan yang ada dengan fungsi yang baru. Boleh jadi manfaat baru muncul. Tapi seperti lumrah terjadi, konsumsi citra juga bisa jadi penyakit (atau bukan) yang baru seperti gentrifikasi....
Membangun Kota Sendiri
But in the Postmodern age, architecture and the city will restore private life to its rightful place, in many different forms. For example: narrow streets that are fun to walk along all by yourself; pocket parks just the right size for a couple to squeeze into, hand in hand; a bench set under a single tree; space with the thrill of a maze; special places, restaurants, boutiques that suggest you are the only one who knows where they are; places that are so frightening and terrifying that you never dare to return; places that come alive at night; a little niche where you can lose yourself in your own thoughts. These are core images of private life. By incorporating spaces of private life into the city, and into its public spaces, they will become more interesting and more complex. (Kisho Kurokawa, EACH ONE A HERO-The Philosophy of Symbiosis)
Bagaimanapun, kata2 sifat itu yang membuat kita dapat berkuasa atas dunia kecil kita (atas dunia yang luas ini). Kecenderungan setiap orang untuk secara nyata menyatakan "kekuasaannya". Maka tidak akan habisnya kota menjadi medan tanda2 ini.
Saturday, May 05, 2007
Mengisi Kota, Merangkai Makna
Donny Gahral Adian
Kota adalah sebuah instrumen untuk mengendalikan teritori. Pengetahuan tentang itu dibangun dalam periode2 berbeda, seperti kue lapis atau bawang bombay, kota berlapis2 mewakili periode2 yang berbeda. Tapi, apakah melihat kota seperti mengiris bawang dalam lapisan2nya? Mengupas bawangpun dengan gaya, satu2 dalam gagasan yang kelihatannya sambil lalu tapi terumuskan secara tetap. Memotong menjadi dua, lalu dua lagi. Membiarkan sisi yang rata merapat pada telenan, lalu memotong dari sisi yang paling pipih secara teratur tiap sekian mili. Alih2 secara periode, kota sebenarnya dibangun menurut suatu intensi. Siapa yang peduli atau boleh, darinya intensi atas kota terspasialisasi.
Tapi kalau tidak hati2, gagasan ini bisa mudah usang. Siapa bilang intensi individual boleh merumuskan (sekaligus mengendalikan) bentuk kota. Kesepakatannya adalah bagaimana mendorong dunia2 kecil bisa menemukan tempatnya di dunia yang besar. Karena itu, daripada mencari sesuatu yang abstrak untuk mewakili yang umum, keseharian kemudian dipahami dan dicarikan bentuknya. Bukan berarti menyerahkan keseharian untuk merayakan dan menyatakan dirinya. Secara haluspun, dunia2 kecil akan saling bersinggungan dan membentuk kesepakatan2 spasial-sosial.
Sumber Teks:Donny Gahral Adian, Filsafat Tanpa Kedaulatan Semantik, http://kompas.com/ (Senin, 30 April 2007)
Thursday, May 03, 2007
A Talk with Johannes Widodo
Komunitas Gerilya Kota bekerjasama dengan Jurusan
Arsitektur UII mempersembahkan:
A Talk with Johannes Widodo
"Sense of Place: Singapore Experience"
Kafe Momento
Jl. Jembatan Merah (Timur LB LIA) Gejayan Yogyakarta
Jumat, 4 Mei 2007
Pukul 18.30-20.00 WIB
Asian cities sebagaimana ditengarai oleh para arsitek,
termasuk Rem Koolhas, Korff, dan pengamat perkotaan
lainnya adalah salah satu wilayah di dunia ini yang
sangat dinamis, penuh perubahan terutama yang
berkaitan dengan wajah kota dan identitasnya.
Berjalan-jalan ke seantero Asia kita akan mendapati
juxtaposition antara bangunan-bangunan pencakar
langit yang terbaru dengan bangunan heritage atau
bahkan slum area hanya di dalam jarak satu pelontaran
batu. Keadaan ini menjadikan "Sense of Place" menjadi
isu yang sangat penting untuk dibahas dan dikenali
elemen-elemen pembentuknya.
Singapore sebagai salah satu kota yang paling
progresif di Asia dalam perkembangan fisik kota dari
hasil pertumbuhan ekonomi negara yang pesat ternyata
banyak menyimpan kisah-kisah sukses dan kegagalan dari
para urban designernya. Catat saja, tahun 1970 an
ketika Singapore berubah menjadi hutan beton dan
membabat beratus-ratus bangunan bersejarahnya,
akhirnya merasa semakin kehilangan identitas dirinya.
Baru di tahun 1980an akhir menyadari penting aset
bangunan pusaka nya dan merubah visi pembangunan kota
yang peka terhadap pelestarian bangunan pusaka dan
ini terbukti dari semakin ramainya Singapore sebagai
tujuan wisata kota sebagai implikasi dari kegiatan
urban conservation terutama di Chinatown, Little
India, dan Kampung Glam.
Dr. Johannes Widodo seorang Arsitek, Urban Historian
yang menjabat sebagai salah satu Dosen di Jurusan
Arsitektur National University of Singapore akan
berbagi tentang pengalaman Singapore dalam
mempertahankan Sense of Place-nya ditengah pelukan
globalisasi dan modernisme dalam segala lini.
Kehadiran teman-teman ditunggu untuk meramaikan
diskusi ini, ditunggu ya...
Komunitas Gerilya Kota
Jurusan Arsitektur UII
Wednesday, May 02, 2007
RUKO-Elemen Konstitutif Kota-Kota di Asia
Rumah Toko (Ruko) yang kerap kita temui di berbagai kota dunia sebagai bangunan komersial, konon, merupakan bangunan arsitektur Tiong Hoa. Adaptasi dengan keadaan setempat membuat bentuknya beragam dan ada yang yang sudah tidak mengikuti aturan feng shui. Kalau sampai bentuk ruko ini dapat eksis di banyak kawasan lain, tentunya ini arsitektur ini memiliki faktor yang membuatnya dapat beradaptasi dengan kota dan konteks yang berbeda. Menarik untuk membincangkan faktor apakah tersebut, lebih jauh lagi, dikaitkan dengan bentuk kota-kota yang terus berkembang.
Diaspora Tiong Hoa dan Terbentuknya Kota
Kota-kota di Asia Tenggara dapat dikelompokkan kota perdagangan dan kota pertanian (Lombard 1994). Meskipun keduanya, antara perdagangan dan pertanian, memiliki karakter sendiri, bukan berarti kota perdagangan tidak didukung oleh keberbedaan hasil-hasil pertanian, demikian pula kota pertanian tidak akan hidup tanpa adanya pasar.
Pedagang Tiong Hoa merupakan faktor yang cukup penting dalam tumbuhnya kota-kota tersebut, terutama kota dagang. Kita tahu bahwa, kedatangan mereka pertama kali terangkai dengan pelayaran yang dimaksudkan untuk berdagang, misalnya rempah-rempah. Mereka kerap singgah di pelabuhan-pelabuhan sepanjang pelayaran mereka, baik untuk mengadakan transaksi atau mengisi persediaan. Sembari menunggu angin yang memungkinkan melanjutkan perjalanan, para pedagang itu tinggal di daratan dan membangun kelompok permukiman. Konstruksi rumah tersebut sama dengan yang pernah tinggali di daerah asalnya. Permukiman tersebut juga dilengkapi dengan bangunan pendukung seperti pasar dan klenteng membentuk suatu pola permukiman tertentu. Dengan itu, mereka telah membuat identitas yang unik pada lokasi yang mereka bangun.
Dengan latar inilah, kawasan-kawasan komersial yang dihuni oleh masyarakat Tiong Hoa (kerap disebut Pecinan), bersama dengan kampung-kampung penduduk asli, pusat pemerintahan, pasar dan pelabuhan menjadi elemen konstitutif terbentuknya sebuah kota.
Menyadari potensi tersebut, kawasan komersial yang dihuni pedagang Tiong Hoa dikonstruksi pula untuk mendorong aktivitas komersial serta pengembangan sebuah kota. Seperti di Yogyakarta, kita lihat dapat menemukan permukiman Tiong Hoa di sebelah utara Pasar Beringharjo, sekarang dikenal Kampung Ketandan. Selain karena ada aturan keluaran Belanda yang membatasi pergerakan dan permukiman orang Tiong Hoa, Sultan Hamengku Buwono II menempatkan mereka di kawasan tersebut dengan tujuan untuk mendorong aktivitas pasar dengan dukungan aktivitas komersial para pedagang Tiong Hoa.
Hal serupa juga ditemui di Hanoi, di kawasan yang sekarang dikenal dengan 36 Old Streets Quarter, letaknya antara kawasan pusat pemerintahan dan Sungai Merah. Kawasan ini dirancang sebagai daerah pasar dan daerah pertukangan yang kemudian dihuni pedagang Tiong Hoa serta asing lainnya (Ros 2001). Sementara di Thailand, Raja Rama IV dalam usahanya mengembangkan strategi pembangunan Bangkok sampai mengirimkan mentrinya untuk mempelajari kawasan komersial di Singapura. Hasilnya, ruko-ruko baru dibangun di sepanjang perpanjangan jalan Charoen Krung sebagai strategi untuk membuat kawasan komersial, sekaligus mengembangkan kawasan di luar pusat Bangkok masa itu. Ruko-ruko tersebut kemudian dimanfaatkan baik pedagang Tiong Hoa juga pedagang barat (Borthaam 2004).
Rumah Toko
Bangunan-bangunan rumah toko (ruko)-lah elemen yang penting dari kawasan pedagang Tiong Hoa. Bangunan khas yang dulu hanya dibangun di kawasan permukiman Tiong Hoa ini dianggap tepat untuk beraktivitas komersial sekaligus untuk tinggal di kota. Sistemnya di mana dalam satu bangunan terdapat fungsi residensial dan komersial dianggap ideal, sehingga tipe bangunan ruko kemudian menjadi elemen penting dalam menciptakan sebuah daerah komersial di banyak kota (Godlblum 1989). Fungsi campuran itu membuat bentuk ruko dianggap efektif; pemilik toko bisa mengawasi langsung barang-barang dagangannya saat malam hari. Pemilik toko bisa mengurangi biaya transportasinya karena tidak perlu berpindah dari rumah (kalau berada di daerah lain) ke toko. Selain itu, bila dibutuhkan mudah mendapat bantuan dari anggota keluarga yang lain.
Jenis arsitektur ini sendiri mungkin dibawa oleh para pelayar Tiong Hoa dari Cina daratan bagian selatan, seperti Provinsi Fujian dan Guangdong. Di kota Quanzhou, kita bisa menemukan arsitektur tipe ini eksis di sekitar pelabuhan (Elisa 1999; Widodo 2004).
Bangunan ruko awalnya dapat ditemukan di berbagai belahan bumi yang dibangun oleh para pedagang Tiong Hoa dalam misi pelayaran perdagangan mereka, misalnya di Malaka, Singapura, Batavia dan Semarang. Organisasi ruang dalamnya mungkin berbeda-beda antar daerah, tapi elemen perkotaannya; letaknya yang berhadap-hadapan mengapit tegak lurus jalan, berada tepat di tepi jalan dan dibangun berderet (Widodo 2004), merupakan unsur yang permanen yang ditemui di daerah-daerah tersebut. Deretan-deretan ruko sendiri bisa terkonsentrasi dalam satu kawasan dan membentuk blok, ataupun linier mengikuti suatu ruas jalan tertentu. Jalan Malioboro di Yogyakarta yang terkenal merupakan deretan ruko yang mengikuti jalan tertentu, sedang Kawasan Ketandan yang ada di belakangnya kemudian merupakan konsentrasi ruko-ruko dalam blok-blok.
Ruko biasanya dibangun penuh di atas suatu persil memanjang serta diapit langsung ruko tetangganya, sehingga ruko hanya memiliki satu fasad muka yang berada di atas tepi jalan. Fasad depan arsitektur ruko tidak lebar, rata-rata 4-6 m, sedang kedalamannya dapat mencapai 20 m, bahkan 50 m seperti di Hanoi dan Taiwan.
Untuk menambah luasan ruangan, konstruksi berarti pekerjaan membangun lantai yang lebih tinggi. Menurut Elisa (1999), ruko di Batavia awalnya dibangun satu lantai. Untuk memperbesar luasan bangunan sekaligus beradaptasi dengan sistem pembagian blok yang dikembangkan pemerintah kolonial, kegiatan bisnis dan hunian kemudian direalisasikan dengan pemisahan lantai bangunan. Kegiatan bisnis yang pokok ditempatkan di lantai pertama, dan hunian ditempatkan di atasnya. Teknologi masa lalu yang mengandalkan kayu sebagai struktur membatasi jumlah lantai secara alami, sehingga ruko tua biasanya terbatas terdiri dari dua lantai. Namun di kota lain ditemui ruko yang sudah sejak awalnya terbangun berlantai dua.
Di beberapa kota, ada yang muka lantai pertama ruko dimundurkan kira-kira 5 kaki dan ruang yang dihasilkan dimanfaatkan untuk sirkulasi. Lantai dua yang kemudian lebih lebar berfungsi sebagai peneduh. Ruko-ruko di Singapura mengadopsi sistem ini pada masa pemerintahan Raffles. Sementara ruko di sepanjang Malioboro dimundurkan pada tahun 1980an atas usul tim perencana kota Yogyakarta, Rm. Mangunwijaya dan tim. Ruko model ini lantas menyerap kehadiran aktivitas komersial yang menggunakan kotak-kotak tidak permanen sebagai etalasenya, kemudian disebut pedagang kaki lima (PKL). Di Malioboro, hubungan ruko dan PKL tersebut membuat kehidupan di jalan lebih dinamis.
Konstruksi baru yang muncul seiring dengan perkembangan kota biasanya juga bercampur dengan kultur setempat. Di Singapura, ruko-ruko tua diperkaya dengan dekorasi yang merupakan kombinasi seni Eropa, Tiong Hoa dan lokal (URA 1995). Sementara di Indonesia, contoh yang nyata dapat kita lihat di Denpasar, didorong cita-cita untuk menempatkan identitas lokal di setiap bangunan, fasad ruko dihiasi dengan ragam hias tradisional Bali (Lancret 1997).
Ruko Sekarang
Model ruko telah populer sebagai inspirasi bagi pembangunan kota modern. Karakter campurannya, residen dan komersial membuatnya dapat beradaptasi dengan kota modern.
Keberadaan ruko dapat dimanfaatkan untuk menghidupkan suatu kawasan. Kita lihat kawasan Kya-Kya, Kembung Jepun di Surabaya, Gang Lombok di Semarang dan Kawasan Ketandan, Yogyakarta yang perlahan bertransformasi, selain tetap menjadi kawasan komersial juga menjadi kawasan wisata makanan tradisional dan wisata pecinan (Kompas 25/01/2006). Tentu saja, tanpa keberadaan masyarakat yang tinggal di kawasan, rencana ini hanya akan bersifat reka-reka dan tanpa jiwa.
Lebih jauh, karakter komersialnya yang dapat dibangun di tepi jalan di atas lahan kecil, dan dapat ditingkat menjadikan ruko alat untuk mengembangkan suatu kawasan. Ruko telah memiliki peran penting dalam menciptakan kantung-kantung komersial di kota, tidak lagi terbatas pada permukiman atau kawasan Tiong Hoa. Sayangnya, ini kadang lebih mengutamakan pertimbangan untuk meminimalkan biaya konstruksi sehingga nilai estetika dan kenyamanan yang kita temui pada ruko-ruko tua lantas diabaikan. Banyak ruko yang dibangun dengan tingkat lebih dari dua, namun tidak lagi disertai dengan lubang udara ataupun halaman belakang terbuka sehingga tidak ada sirkulasi udara dan penerangan alami untuk lantai-lantai bawah.
Bagaimanapun, ruko telah dianggap bentuk arsitektur yang tepat untuk daerah komersial. Bentuk ini juga dapat mengikuti berkembangnya kegiatan ekonomi dan sosial dari waktu ke waktu dan di kota yang berbeda. Terbukti, kita bisa melihat bagaimana sampai sekarang banyak konstruksi direalisasikan dalam bentuk ruko. Tantangannya sekarang adalah menghasilkan bentukan yang nyaman untuk dimanfaatkan dan atraktif untuk menciptakan wajah kota yang menarik serta hidup.
(tulisan ini pernah dimuat di Kompas, tapi aku lupa tanggal muatnya)
Le Marais : Strategi Konservasi dalam Konteks Transformasi Paris
AWAL ABAD 20, ketika Paris yang juga ibukota Prancis sedang mencari yang penting adalah bagaimana sebuah kota dengan sejarah panjang dan kaya dengan peninggalan bersejarahnya dapat terintegrasi dengan dinamika perkotaan dan munculnya kebutuhan-kebutuhan baru.
Gagasan Plan Voisin datang dari arsitek kelahiran Swiss, Charles-Edouard Jeanneret kemudian bernama Le Corbusier : menghancurkan bagian-bagian historis kota Paris yang terlalu padat dan kumuh, sehingga di pusat kota, lahan akan tersedia bagi menara-menara -yang dipadu dengan ruang terbuka hijau- sebagai habitat dari tiga juta penduduk Paris.
Paris ternyata memilih untuk tumbuh dengan melestarikan bentuk kota tuanya -ketimbang mengikuti ide Le Corbusier- sebagai bagian dari pembentukan identitas perkotaan. Terbukti, salah satu kawasan yang historis yang sebenarnya kumuh kemudian sungguh dilestarikan : Le Marais.
Terletak di sisi kanan Sungai Seine, dia kawasan historis Paris yang khas karena pernah menjadi pusat pertumbuhan dan aktivitas di Paris. Selain itu, dia juga memiliki arti penting dalam proses transformasi urban Paris sebagai kawasan tempat dilakukannya eksperimen-eksperimen renovasi perkotaan.
Puncak pembangunan terjadi pada masa pemerintahan Henry IV, raja terbesar Prancis. Henry IV memperluas dinding Paris serta memelopori model arsitektur urban modern dengan membuat taman Place des Vosges (1605-1612) berbentuk segi empat (140mx140m) yang dikelilingi deretan bangunan-bangunan hampir simetris terbuat dari bata dengan aksen garis-garis vertikal dari batu serta arkad yang melengkung. Taman dan bangunan yang melingkupinya kemudian menjadi model di kota-kota Eropa lainnya. Lansekap urban yang indah membuat kaum bangsawan dan borjuis tertarik membangun rumah mereka yang selanjutnya membuat le Marais semakin berkembang. Pertumbuhannya terhenti, ketika pada masa Louis XIV para bangsawan meninggalkan Paris berpindah mendekati Istana Versailles dan membuatnya berangsur-angsur terpuruk.
RESTRUKTURISASI urban besar-besaran oleh Georges Eugène Haussmann untuk membawa Paris menjadi modern mengintegrasikan ide komposisi kota yang baru ke struktur lama Paris berdasarkan pusaka urbannya. Proyek ini merupakan wujud cita-cita Napoleon III yang ingin melihat Paris, menjadi ibukota negara yang indah dan sederajat dengan ibukota negara Eropa lainnya, baik sosial dan ekonomi. Sayang le Marais batal dikenai proyek ini sehingga belum sepenuhnya terintegrasi ke dalam jaringan komunikasi kota Paris.
Kawasan dengan rentang sejarah 8 abad makin terbengkalai dan menjadi daerah industri kecil dan produksi kerajinan yang kumuh. Antara 1895-1905, bagian layanan kesehatan kota Paris melakukan pemeriksaan dengan mengunjungi setiap bangunan-bangunan permukiman. Tahun 1920, 17 îlot (kumpulan blok-blok bangunan yang dibatasi jalan) dinyatakan kumuh dan diusulkan untuk direnovasi. Kebanyakan terletak di pinggiran Paris yang luput dari renovasi Haussmann. Kekumuhan terkait dengan tidak terpenuhinya syarat-syarat estetis dan kesehatan seperti jarak antar bangunan hanya 12 m dibanding tinggi bangunan yang bisa mencapai 5 lantai sehingga tidak memungkinkan sinar matahari dan udara masuk ke lantai dasar. Kondisi demikian dinyatakan mudah menimbulkan penyakit TBC. Luas total 17 ïlot tersebut 250 ha dengan populasi waktu itu 186 594 orang.
Ilot n° 16 berada, di kawasan le Marais, sebelah timur Hôtel de Ville (balai kota) yang berarti meskipun kumuh namun memiliki latar historis yang dalam. Problem tersebut dilihat sebagai kesempatan bereksperimen mengembangkan teori disain urban. Muncul pertentangan antara yang ingin menggusur saja îlot-îlot tersebut seperti digagas Le Corbusier atau mempertahankannya seperti para arsitek yang ingin melindungi bagian bersejarah serta meningkatkan nilainya, seperti Robert Azuelle dan Albert Lamparde (1940). Pihak yang terakhir ini memandang lebih baik membersihkan bangunan-bangunan baru di bagian dalam îlot yang disebut Azuelle parasit daripada menghancurkan sama sekali seluruh îlot.
Membersihkan bagian dalam berarti memberi jarak lebih besar antar bangunan untuk membiarkan udara dan matahari masuk ke dalam masing-masing ruangan. Metode tersebut digagas oleh arsitek Italia, Gustavo Giovannoni (1931) untuk tetap memelihara garis yang dihasilkan deretan muka bangunan dan mempertahankan wajah kota lama secara keseluruhan.
PROBLEM berikutnya muncul pada tahun 1960an, alih-alih isu îlot kumuh dan rencana pembuatan bangunan perkantoran, banyak bangunan tua di le Marais dihancurkan tanpa melihat sejarahnya. Setelah menghentikan rencana penghancuran Hôtel de Vigny, Andre Malraux, yang ketika itu mentri kebudayaan, akhirnya membuat undang-undang pembentukan kawasan yang dilindungi dengan syarat kawasan tersebut menunjukkan karakter bersejarah, nilai estetis tinggi dan kultural yang pantas untuk dilestarikan, direstorasi dan ditingkatkan nilainya baik keseluruhan ataupun sebagian dari kesatuan bangunan yang ada. Ditetapkan 4 Agustus 1962, Aturan Malraux ini mengacu pada seberapa penting kawasan tersebut bagi Negara, bukan lokal semata.
Aturan yang tadinya menyikapi aksi penolakan masyarakat setempat (kemudian melahirkan Association pour la sauvegarde et la mise en valeur du Paris Historique), terutama atas rencana penghancuran bangunan tua di Paris, selanjutnya diterapkan luas di seluruh Prancis dan diaplikasikan dengan pengatributan ‘rencana pelestarian dan peningkatan nilai’, PSMV (le plan de sauvegardé et de Mis en Valeur). Andre Malraux meyakini, bahwa suatu bangunan pusaka tidak hanya bernilai karena keberadaannya- sejarah ataupun estetis-, namun juga dimaknai dari lokasinya. Dan Paris ingin melindungi keduanya untuk menjaga keutuhan nilainya.
Atribut PSVM pada suatu kawasan memberi asosiasi arsitek Prancis, ABF (Les Architectes des Bâtiments Français) dan Kementerian Kebudayaan hak untuk mengabulkan atau menolak pemberian ijin pembangunan dan pembongkaran guna membuat sesedikit mungkin perubahan terutama penggunaan persil di kawasan yang dikonservasi. Dengan agen perbaikan permukiman ANAH (l’Agence Nationale de l’Amélioration de l’Habitat), ABF bekerja sama untuk mendapat subsidi bagi proyek renovasi bangunan2 tua yang memiliki nilai sejarah tinggi. Di seluruh Prancis ada 98 (data 2001) dengan PSMV le Marais sebagai satu dari dua yang ada di Paris. Luasnya 126 hektar, terletak di dua distrik 3 dan 4 Paris, merupakan kawasan konservasi yang terluas di Prancis.
Dengan Aturan Marlaux, perubahan fisik menjadi terbatas namun tetap memperhatikan aspek fungsi, sosial dan ekonomi kawasan. Fungsi tiap bangunan baik fungsi residensial serta komersial dipertahankan. Pemilik bangunan tidak bisa sembarang bahkan merubah fasad bangunan, juga dekorasi dan kondisi interiornya. Untuk meningkatkan nilai kawasan, le Marais kemudian didorong menjadi sebuah area unik museum, galeri seni dan situs bersejarah yang dilindungi, seperti Museum Picasso, Museum Carnavalet, Places des Vosges atau rumah penulis terkenal Prancis Victor Hugo.
Ketika kegiatan turisme berkembang, butik lokal ataupun yang memegang hak merk-merk mahal, kafé serta restoran turut tumbuh dinamis. Kecenderungan kemudian, meskipun bukan lagi tempat tinggal para bangsawan dan borjuis, suasana yang hidup membuat le Marais kawasan yang makin diminati untuk ditinggali, walaupun berarti nilai tanah dan harga sewa menjadi mahal. Demikian Paris dapat mempertahankan bangunan-bangunan juga lingkungan tuanya, membangun identitasnya sekaligus menggerakkan aktivitas ekonomi distrik kawasan tersebut.
PENGALAMAN le Marais menunjukkan bahwa usaha konservasi bangunan-bangunan tua selain tuntutan alasan emosional juga terintegrasi secara rasional dengan usaha transformasi kota. Faktor penting mengapa memilih melindungi bangunan-bangunan tua serta lingkungannya muncul dalam visi melakukan transformasi Paris dengan memberi ciri khusus bagi kota secara keseluruhan, kota bersejarah. Selain adanya peran pemerintah dan masyarakat setempat, strategi konservasi juga mengacu pada aktivitas ekonomi dan kondisi sosial kawasan yang efeknya merubah dari kawasan kumuh menjadi berkelas.
Saturday, April 21, 2007
Pesan atas Pesan....
Billboard ban in São Paulo angers advertisers:
New 'clean city' law angers advertisers
By Larry Rohter
Published: December 12, 2006
http://www.iht. com/articles/ 2006/12/12/ news/brazil. php
Pemerintah Sao Paulo, Brasil berniat menerapkan larangan pemasangan papan iklan (termasuk neon, dsb) di kota. Niatnya supaya kota bisa dibersihkan dari polusi visual ini. Dua barisan yang satu pro dan lainnya kontra kemudian saling berhadapan merespon larangan ini. Yang pro melihat kesempatan untuk mewujudkan lansekap kota yang ideal sedang yang kontra merujuk pada masyarakat yang konsumtif, masyarakat mobil yang butuh hiburan serta masyarakat pekerja periklanan yang butuh proyek. Masyarakat umum, menurut artikel ini, sepakat dengan larang ini.
Di negara kita, semakin ke sini kelihatannya cara2 untuk membuatkan iklan ini tempat yang lebih layak semakin digalakkan. Setelah langit2 Jogja dipenuhi iklan2 berbentuk gerbang, muncul pula yang berbentuk video.
Saturday, April 14, 2007
Religiositas dan Teritori...
Gagasan tentang kota yang semakin kompleks (dengan program dan bentuk) dan berlapis (urbanisasi dan globalisasi) membutuhkan kreativitas urban yang semakin unik (untuk berbeda) tapi juga jitu (untuk menyelesaikan masalah). Kota yang merupakan bentuk spasial terbaik atas kontrol teritori terus mendefinisikan diri (metropolis, megalopolis, mega-urban) untuk mengidentifikasikan problem yang nyata. Dasar-dasar disain kemudian dibangun berdasar kehendak politis yang rasional seperti permasalahan perumahan. Secara tipologis dan morfologis, bentuk dan ruang kemudian terus diperbarui untuk dapat menyesuaikan kondisi yang sekarang.
Sampai di sini, bangunan religius bagaimanapun juga mendapati dirinya sedang direview kembali. Makna2 yang berlapis semakin berkurang yang berarti secara tipologis dan morfologis juga berubah pula bentuknya. Di negara Eropa, bangunan religius banyak berubah menjadi museum (hidup?) karena ditinggal umatnya. Tapi di banyak negara Asia, bangunan religius menjadi arena wisata meskipun masih banyak orang datang beribadah. Lapis yang berkurang diganti dengan lapis yang lain lagi (hasilnya sama, selalu ada alasan untuk memperbaiki). Sementara di Thailand, bangunan religius dapat menjadi sebuah kuil yang berada di pekarangan sebuah mal. Tanpa mengurangi makna religiusnya. Contoh2 tersebut menunjukkan terjadinya negosiasi dengan setting waktu.
Aku pernah dengar bahwa bangunan religius dapat merupakan perwakilan secara mendasar sebuah kebudayaan. Melihat bagaimana mereka dapat bertransformasi (secara tipologis), kebudayaan memang sedang mengalami perubahan.
Wednesday, April 11, 2007
Aku sendiri tidak begitu terkesan dengan Hue. Tentu saja Citadel perlu mendapat apresiasi sendiri. Meskipun entah bagaimana aku harus mengapresiasi, sebuah model Citadel, struktur dari periode tertentu. Atau apa.
Tapi dalam skala kota, absennya kaitan antara manipulasi ruang dan produksi imej membuatku ilang mood atas kota ini.
Kota yang baik menurutku dibangun atas sebuah identitas (Thanks buat Arif). Ada sesuatu yang ingin dinyatakan dan lantas dispasialisasikan. Teori "Image of the City" soal landmark, node serta path yang dibangun Lynch mungkin bisa menjelaskan apa yang boleh kita cari atas sebuah kota. Tentu saja di atas itu politik tertentulah yang akan menjelaskan apa yang mendorong produksi imej tersebut. Boston akan berbeda dengan Jakarta (Kusno), Hanoi (Wright) atau Bangkok (Askew) bukan karena semata2 tipologi bangunannya, tetapi aktor2 yang berbeda yang berperan.
Kontinuitas. Ingin sekali melihat kota yang memang dibangun secara kontiniu. Entah karena direncanakan dengan baik. Atau setidaknya struktur dibangun dengan pertimbangan yang tertata secara metodologis bukannya karena mantas2i. Struktur adalah instrumen untuk memanipulasi teritori lebih dari sekadar perpanjangan kapital.
Sunday, April 08, 2007
World Heritage Site or World Tourism Site
Perjalanan makin menyenangkan karena diskusi panjang lebar dengan satu pasangan dari Jerman, Marcus dan Gwendoline. Marc, seorang fire engineer bekerja di London serta Gwen bekerja di urusan TI di Paris (dunia memang sempit bukan). Buat mereka, Vietnam adalah kunjungan pertama mereka ke Asia.
Diskusi kami terjadi di seputaran pengalaman selama di Hoi An. Atmosfer yang dirasakan di Hoi An menggelitik kami untuk mempertanyakan soal2 seperti ada apa dengan heritage, world heritage. Apa manfaat dan apa peran aktor2 tertentu dalam bidang ini.
Turisme merupakan pangkal soalnya. Hoi An memang luar biasa. Dengan banyak struktur tua yang terpelihara bisa jadi sebuah kisah keberhasilan sebuah kawasan konservasi. Dengan orang2 yang tinggal di kawasan ini, jadilah satu contoh pula untuk kisah sukses konservasi living heritage. Tapi buat kami Hoi An terlalu jauh sehingga kesan yang muncul justru sebuah teater living heritage. Gwen bahkan menyamakan Hoi An dengan disneyland, taman bertema yang secara spasial ditata sedemikian untuk jadi sebuah paket atraksi.
Ketika mengaitkan dengan turisme yang menyasar orang barat, Gwen kemudian berhipoteses bahwa predikat world heritage sebenarnya hanya alih2 barat untuk mempertahankan hegemoninya atas Asia. Konsep barat sebagai yang dominan dan menempatkan Asia sebagai obyek eksplorasi. Meskipun yang disasar adalah orang barat berduit dengan dalih sumber devisa, pembangunan atau apapunlah namanya, namun pemosisian antara siapa memanfaatkan siapa adalah pertanyaan mendasarnya.
Diskusi kami hanya berputar2 pada pertanyaan tanpa jawaban. Tapi kami sepakat bahwa setiap orang, bangsa berhak... untuk memberi jawaban...:)
Tuesday, March 27, 2007
Teman dua minggu...
Waktu kecil (kira2 20 tahun lalu), pertemuan dan perpisahan adalah pasangan yang paling kerap bersamaku.
Karena orang tua bekerja berpindah-pindah, aku jadi harus sering gonta-ganti sekolah. SD aku lewati di tiga sekolah di kota yang berbeda dan SMP di dua kota yang berbeda. Baru ketika SMA di Jogja, hingga kuliah benar-benar bisa tetap di satu kota.
Di Jogja, orang dan pergi tidak begitu aku rasakan. Mungkin karena sentimen keakrabannya tipis. Tapi, semakin menua dan membesar, ternyata penguasaan kita atas satu teritori juga semakin besar. Kalau hanya pindah dari Jogja ke Jakarta, itu masih sama2 di Indonesia juga. Ke Jakarta bukan sesuatu yang tidak mungkin, naik kereta atau pesawat.
Van Mieu Pho Hien
Chua Pho Hien
Nha Tho Hung Yen
Lama kemudian, perpisahan yang bisa membekas lagi muncul pada perpisahan dengan Paris dan orang2nya. Di mulai dengan perginya seorang teman dari Belanda yang harus magang di Jerman. Beberapa saat kemudian aku juga pergi dan berkata 'selamat tinggal' pada Paris. Batas geografis terasa benar. Paris bukan Jakarta, bukan tempat yang aku bisa datangi semau dan sebisaku. Ingatan peristiwa yang pernah terjadi di Paris masih saja lengket di kota itu. Foto2 yang aku ambil selama di Eropa masih bisa buat secara emosional aku melayang2kan ingatan ke masa lalu. Tetap tempat yang sama, tetap waktu yang sama.
Minggu besok, seorang teman, Tuan akan pergi ke Prancis. Aku kenal Tuan, juga Hien, Luyen dan ketika ke perpus AFU di Hanoi University of Architecture. Tan yang mengenalkan aku dengan mereka. Kejadiannya dua minggu lalu. Senin itu aku niat untuk ambil fotokopian di AFU. Dengan Tuan ini aku pergi ke Pho Hien sabtu lalu (tiga foto di atas: Chua, Nha Tho dan Van Mieu di Pho Hien) untuk "bikin magang" (istilahnya Budi, hehe) di Toulouse. Karena aku juga akan pulang ke Indo tiga bulan mendatang, kami tidak akan sempat bertemu lagi. Ada perpisahan lagi. Dia pergi, aku akan pergi, dan kami tidak akan bertemu untuk seterusnya.
Apa perpisahan benar ada? Teritori seperti sebuah karton yang datar, kota satu dan lainnya adalah sebaran titik di bentangan karton tersebut. Mobilitas seseorang adalah tarikan garis antar satu titik. Jadi kita tidak ke mana2, masih di karton itu juga to. Lalu apa arti perpisahan? Persoalan jarak? Ketika dua titik tidak bisa dibuat lebih dekat. Mungkin ya....
Monday, March 26, 2007
Les Elément Constitutifs de la Ville de Hanoi
Le première modèle est la cité impériale, structure politique et administrative qui a disparu à la deuxième moitié du 19ème siècle en raison de la colonialisation français. Hanoi a perdu sa cité en 1882 lors de la prise par le militaires Française ce qu'a entrainé la chute du pouvoir royal.
La ville marchande traditionelle qui a perduré malgré l'histoire est le deuxième modèle. Cette ville s'est peuplé de ruraux sous l'ordre royal et sont devenus artisans et commerçants. Hanoi aurait subi également l'influence de la ville-comptoir d'origine chinoise qui s'organise en compartiments dans les diffèrents quartiers.
La ville coloniale constitue le troisième élément. C'est un ensemble homogén, construit sur de grands axes. Cette ville différent du reste de la ville, est basé sur la ségrégation ethnique pour pouvoir dominer. Après l'indépendence, elle s'intégre au reste de la ville. Les bâtiments coloniaux seront réhabités sous des formes différentes, preuve d'un réaménagement possible non à l'identique. Au niveau architectural, il faut retenir une implantation dans la structure urbaine et de nouveaux styles.
Le quatrième élémént est le modèle du village communal qui forme le territoire autour de la ville. La maison typique est l'habitation rurale qui a des formes flexible grace aux terrains réduits.
Cet quatrième modèle est juxtaposé par le cinguième modèle : le quarter de grand ensemble de logement collectifs. Ce modèle a eu pour but de résoudre le problème urbanistique, sociaux et humaine en adoptant cette nouvelle forme architecturale venant de l'étranger. (résumé d'un article de C.Pédelahore de Loddis, paru dans "Etudes Vietnamiennes")