Tuesday, March 27, 2007

Teman dua minggu...


Waktu kecil (kira2 20 tahun lalu), pertemuan dan perpisahan adalah pasangan yang paling kerap bersamaku.


Karena orang tua bekerja berpindah-pindah, aku jadi harus sering gonta-ganti sekolah. SD aku lewati di tiga sekolah di kota yang berbeda dan SMP di dua kota yang
berbeda. Baru ketika SMA di Jogja, hingga kuliah benar-benar bisa tetap di satu kota.
Di Jogja, orang dan pergi tidak begitu aku rasakan. Mungkin karena sentimen keakrabannya tipis. Tapi, semakin menua dan
membesar, ternyata penguasaan kita atas satu teritori juga semakin besar. Kalau hanya pindah dari Jogja ke Jakarta, itu masih sama2 di Indonesia juga. Ke Jakarta bukan sesuatu yang tidak mungkin, naik kereta atau pesawat.









Van Mieu Pho Hien












Chua
Pho Hien













Nha Tho Hung Yen



Lama kemudian, perpisahan yang bisa membekas lagi muncul pada perpisahan dengan Paris dan orang2nya. Di mulai dengan perginya seorang teman dari Belanda yang harus magang di Jerman. Beberapa saat kemudian aku juga pergi dan berkata 'selamat tinggal' pada Paris. Batas geografis terasa benar. Paris bukan Jakarta, bukan tempat yang
aku bisa datangi semau dan sebisaku. Ingatan peristiwa yang pernah terjadi di Paris masih saja lengket di kota itu. Foto2 yang aku ambil selama di Eropa masih bisa buat secara emosional aku melayang2kan ingatan ke masa lalu. Tetap tempat yang sama, tetap waktu yang sama.

Minggu besok, seorang teman, Tuan akan pergi ke Prancis. Aku kenal Tuan, juga Hien, Luyen dan ketika ke perpus AFU di Hanoi University of Architecture. Tan yang mengenalkan aku dengan mereka. Kejadiannya dua minggu lalu. Senin itu aku niat untuk ambil fotokopian di AFU. Dengan Tuan ini aku pergi ke Pho Hien sabtu lalu (tiga foto di atas: Chua, Nha Tho dan Van Mieu di Pho Hien) untuk "bikin magang" (istilahnya Budi, hehe) di Toulouse. Karena aku juga akan pulang ke Indo tiga bulan mendatang, kami tidak akan sempat bertemu lagi. Ada perpisahan lagi. Dia pergi, aku akan pergi, dan kami tidak akan bertemu untuk seterusnya.

Apa perpisahan benar ada? Teritori seperti sebuah karton yang datar, kota satu dan lainnya adalah sebaran titik di bentangan karton tersebut. Mobilitas seseorang adalah tarikan garis antar satu titik. Jadi kita tidak ke mana2, masih di karton itu juga to. Lalu apa arti perpisahan? Persoalan jarak? Ketika dua titik tidak bisa dibuat lebih dekat. Mungkin ya....

Monday, March 26, 2007

Les Elément Constitutifs de la Ville de Hanoi

Il y a quatre modèles de structure de la vile de Hanoi mais ces modèles se mangent.

Le première modèle est la cité impériale, structure politique et administrative qui a disparu à la deuxième moitié du 19ème siècle en raison de la colonialisation français. Hanoi a perdu sa cité en 1882 lors de la prise par le militaires Française ce qu'a entrainé la chute du pouvoir royal.

La ville marchande traditionelle qui a perduré malgré l'histoire
est le deuxième modèle. Cette ville s'est peuplé de ruraux sous l'ordre royal et sont devenus artisans et commerçants. Hanoi aurait subi également l'influence de la ville-comptoir d'origine chinoise qui s'organise en compartiments dans les diffèrents quartiers.

La ville coloniale constitue le troisième élément. C'est un ensemble homogén, construit sur de grands axes. Cette ville différent du reste de la ville, est basé sur la ségrégation ethnique pour pouvoir dominer. Après l'indépendence, elle s'intégre au reste de la ville. Les bâtiments coloniaux seront réhabités sous des formes différentes, preuve d'un réaménagement possible non à l'identique. Au niveau architectural, il faut retenir une implantation dans la structure urbaine et de nouveaux styles.

Le quatrième élémént est le modèle du village communal qui forme le territoire autour de la ville. La maison typique est l'habitation rurale qui a des formes flexible grace aux terrains réduits.

Cet quatrième modèle est juxtaposé par le cinguième modèle : le quarter de grand ensemble de logement collectifs. Ce modèle a eu pour but de résoudre le problème urbanistique, sociaux et humaine en adoptant cette nouvelle forme architecturale venant de l'étranger. (résumé d'un article de C.Pédelahore de Loddis, paru dans "Etudes Vietnamiennes")

Sunday, March 25, 2007

Mari membaca...


Ini pertama kali aku di Hanoi melihat seseorang membaca di dalam bis. "Très seriouse," kata Tuan, teman perjalananku ke Pho Hien.

Kemarin aku dan Tuan jalan ke Pho Hien, di propinsi Hung Yen, propinsi yang lain dari Vietnam untuk bisa lihat "terrain d'étude" yang sedang digarap dalam mémoire Tuan. Kira2 50 km dari Hanoi atau kurang lebih sejam bila naik bus. Perjalanan berangkat dibilang kurang nyaman saking padatnya penumpang bis. Kami harus berdiri sampai kurang lebih setengah jam perjalanan terakhir.

Sedangkan pulangnya, meskipun bisnya kecil, tapi buat kami jadi nyaman karena bisa dapat tempat duduk di bagian belakang. Di bis inilah kami mendapat fenomena ini..:)

Apa yang kami lihat? Seorang mahasiswi (menurut Tuan, dia mahasiswi Ecole Normale) di dalam bus, berdiri menyandar di bangku bis. Satu tangan memegang buku, terlihat sedang fokus pada buku yang dia pegang. Mungkin waktu sudah begitu cepat berlalu untuk dia, sehingga harus diberhentikan di dalam bus (yang sebenarnya sedang bergerak) ini.

Saturday, March 24, 2007

Euralille


Dua tahun lalu aku ada kesempatan buat mampir di Lille, yang agak2 tenar sebagai daerah wisata. Transit selama kurang lebih lima jam sebelum terus ke Brusel aku manfaatkan untuk melihat2 Lille. Masih pagi waktu itu. Aku ingat ketika keliaran di sekitar Lille Tua.

Pemandangan pertama yang membuatku takjub adalah Euralille. Tepat di pinggiran Lille Tua, berdiri tegak bangunan2 modern yang didisain segerombolan arsitek besar seperti Jean Nouvel, Rem Koolhass dan Christian Portzamparc (struktur seperti L). Masterplan kawasan didisain oleh Rem Koolhass dengan OMA-nya setelah memenangkan kompetisi yang diikuti Norman Foster, Vittorio Gregotti, Yves Lion, Michel Macary, Oswald Mathias Ungers, Claude Vasconi, Jean-Paul Viguier serta Rem Koolhaas sendiri tentunya.

Ada dua hal yang membuat takjub. Satu adalah skala struktur2 tersebut yang terlihat mendominasi struktur2 tua di Lille tua. Dua adalah fungsi2 yang mengisi struktur2 tersebut yang mungkin kalau di Indonesia boleh dicaci dan diremehkan orang2. Aku ingat di Jogja 2 tiga tahun silam ada aksi menentang pembangunan rombongan mal baru di pinggiran kota. Satu, karena ada mal yang dibangun di atas situs bangunan tua. Dua, karena mal dituding hanya makin mendorong orang untuk kian konsumtif.

Untuk pertanyaan pertama, aku mendapat jawabannya ketika ikut berpartisipasi dalam kuliah Mme. Fredrich, arsitek lansekap yang juga pengajar di EA Toulouse di EA Hanoi. Menurutnya, senjang skala ini memang diniatkan untuk menunjukkan munculnya era baru pembangunan di Lille. Identitas baru bagi Lille yang akan memainkan perannya dalam skala regional Eropa.

Proyek urban ini merupakan penanda kebangkitan Lille yang ambruk seiring persoalan lingkungan usaha tambangnya (kalau tidak salah). Angka pengangguran termasuk tinggi. Walikota waktu itu, sekitar tahun 1980an melihat mobilitas Eropa sebagai peluang bagi bangkitnya Lille. Kota ini dianugrahi posisi strategis berada di simpangan Paris-Brussels-London (dan menyusul pula ke Koln).

For Pierre Mauroy, his collaborators and advisers, the successful bid for the Euro-TGV was an essential prerequisite for a new city district envisaged as the future development turbine that would reverse decades of industrial and economic decline in the region as a whole and revive Lille's traditional role in Flanders as a European centre of exchange and communication. (Maede, 1994)

Persoalan politisnya kelihatannya lebih besar daripada persoalan disainnya. Sentimen historis pasti menjadi pondasi bagi resistensi proyek ini. Bagaimanapun, Euralille ini terbangun. Begitulah resikonya mengoperasikan proyek urban. Harus ada orang2 gila yang nekad untuk membuktikan perhitungan sebuah proyek fisik bisa berhasil di masa depan atau tidak.

Sumber foto:
(1)
http:// www.axter.fr
(2) http://en.structurae.de/photos/index.cfm?JP=1926 (foto oleh Luc Nueffer)

Sumber teks:
Meade, Martin K., Euralille: the Instant City - Development within the Lille Grand Palais in France

Wednesday, March 21, 2007

Saya Suka Indonesia....

Hari ini aku bertemu dengan seorang Prancis yang enam bulan lalu ada tinggal di Jakarta. Kerja untuk Bank Dunia. Sekarang dia bekerja untuk Kedutaan Prancis di Hanoi, sudah tinggal empat bulan dan masih akan terus berjalan. Rindunya untuk bicara bahasa membuatnya mengirimku SMS untuk bisa bertemu. Jadilah, kami janjian makan siang di resto "Little Hanoi" di Ta Hien no.9, Old Quarter. "Makanan di sini semua enak," katanya. Dan Ta Hien ini termasuk jalan yang populer untuk turis. Satu pojokan terkenal dengan nama Bia Hoi Corner. Satu gelas cukup bayar 2 000 VND.

Ini pertama aku bertemu dengan seorang "pengagum Jakarta". Yes. Meski hanya tinggal selama tiga bulan, apa yang dialami kelihatannya membekas dalam dan membuatnya menempatkan Jakarta di peringkat pertama kota2 yang nyaman ditinggali. Alasannya? Pertama tentu saja, orang2 Jakarta, secara umum Indonesia, ramah2. Mereka akan senang bisa berkomunikasi dengan orang asing. Dan makin senang kalo si orang asing tadi bisa bercakap bahasa. "Aduh, sudah bisa bahasa Indonesia. Sudah bisa bahasa Jawa belum," katanya mengulang ucapan lawan bicaranya sambil terkekeh. Ini yang kedua, bahwa bahasa Indonesia tidak sulit untuk dipelajari, meski untuk bisa membaca dan menulis merupakan soal yang lain lagi. Tapi dibanding bahasa Vietnam yang ampun (dan aku setuju), sulitnya minta ampun, bahasa tentu saja jadi menyenangkan. Ini membuatnya makin menyenangi Jakarta. Tidak sulit untuk bisa berkomunikasi dengan orang2.

Dan yang ketiga, Jakarta itu jujur. Hm. Kota yang jujur, konsep macam apa ini....

Clem -panjangnya Clemence- lahir dan besar di Paris. Menurutnya (dalam versi panjang lebar, tapi aku lupa), kota yang cantik ini sebenarnya hanya "fasad" yang terus dibesarkan dan didorong untuk semakin cantik. Tujuannya supaya bisa semakin unggul dibanding kota2 yang lain. Bukan sesuatu yang dibuat untuk benar2 suatu kebutuhan. Turis ada di mana2 di Paris. Dan supaya semakin banyak turis yang datang, semakin saja kota Paris dipermak untuk tampak semakin cantik. Fasad. Apa yang tampak tidak menggambarkan apa yang ada. Seperti apa kehidupan di balik "fasad" tidak ada yang tahu. Atau justru tidak ada kehidupan?

Sedang Jakarta, well, kota ini dibuat apa adanya. Dengan semua kekurangannya dan kelebihannya, bagaimanapun, kota ini tidak memiliki pretensi untuk terlihat cantik. Karena tidak cantik, tidak ada turis yang datang. Dan Clem senang melihat tidak banyak turis seliweran di Jakarta.

KOMENTAR? Hehe. Boleh tidak setuju dengan apa kata Clem. Menurutnya Jakarta sangat luar biasa. Tapi pasti di antara kita banyak yang lebih suka kalau Jakarta juga bisa berdandan hingga seperti Paris. Dan kalau turis juga suka datang ke Jakarta -bukan cuma transit semalam- pasti juga ada pekerjaan2 baru bermunculan. Jalan Jaksa akan ramai lagi. Jakarta Tua semanis Le Marais. Jakartapun sebenarnya tidak benar juga dibilang tidak berdandan. Waaah. Patung2 baru ada di mana2 dan lampu di sepanjang Thamrin-Sudirman. Ada Busway TransJakarta. Mal bertebaran. Apa Jakarta memang apa adanya?

Memotret atau "Memotret"

Pertanyaan sederhana, "apakah memotret untuk satu kepentingan dapat digantikan dengan memotret untuk kesenangan?"

Jadi begini. Bila saat aku mencamtumkan dalam proposal riset begini, "Pengumpulan data akan dilakukan dengan cara observasi dan blabla.... Observasi akan meliputi pengamatan terhadap suatu kawasan. Alat yang digunakan selain buku catatan adalah kamera.... Analisa terhadap setting kegiatan di kawasan tersebut akan menggunakan interpretasi terhadap foto2 yang telah diambil...." Dengan demikian, memotret menjadi bagian yang integral dengan kegiatan penelitian. Memotret dan hasil potretan bolehlah terhitung kegiatan ilmiah dan barang ilmiah (hehe, apapun istilahnya).

Tapi bagaimana bila kita memotret tapi tidak dengan sengaja sebagai bagian dari riset. Mungkin dilakukan jauh sebelum riset, ketika sedang jalan-jalan atau sedang berwisata. Atau dilakukan ketika riset tapi "di luar" aktivitas riset. Singkatnya, kita punya koleksi sejumlah foto ini dan itu yang secara garis besar satu adalah foto riset dan lainnya foto jalan-jalan. Ambil contoh, aku sekarang riset tentang Hanoi. Tapi aku jalan-jalan ke Hoi An, Hue, Perfumes Pagoda, dsb.

Lalu, suatu saat ketika kita mulai melakukan kegiatan analisa, mengurutkan foto, membuat daftar foto dan tersadar bahwa foto bukan riset ternyata bisa digunakan juga untuk bagian analisa atau juga foto pendukung. Aku mau bilang, Citadel di Hanoi adalah sama dengan Citadel2 lain di Vietnam, misalnya di Hue. Ups, apa foto yang aku buat di Hue lalu boleh valid dan aku masukkan di dalam laporan? Sedangkan ga ada niat untuk foto2 di Hue untuk jadi bagian laporan penelitian.

Hiks. Gimana ini?

Kota kebetulan

Apakah kota pernah dirancang untuk beroperasinya kebetulan-kebetulan?

Cerita ini tidak mewakili soal kebetulan sebagai sebuah hasil dari disain besar. Tapi membuatku terus berpikir tentang kebetulan sebagai sebenarnya sebuah hasil yang menentangkan makna "kebetulan" itu. Kemarin ketika aku ke Hanoi University of Architecture, kebetulan bertemu seorang teman yang sebenarnya punya kelas bahasa Prancis. Ternyata kelas batal karena satu dan lain hal (frase yang jadul banget). Kami kemudian ke kafe sebelah bareng pula dengan teman2 kursus dia yang lain. Ada tiga orang lain, yang semuanya peserta program DPEA "Patrimoine, Projet Urbaine et Ville Durable". Dan kebetulan, mereka sedang mengerjakan mémoire2 seperti studi tentang Pasar Dong Xuan di Old Quarter. Kami kebetulan berdiskusi panjang lebar ini itu sejak referensi atau juga pengalaman lapangan, metode dan persoalan. Akhir cerita, aku akan diajak untuk melihat2 site2 yang jadi bahan mémoire mereka. Jadilah ini kebetulan yang menyenangkan....

Sunday, March 18, 2007

Whose Identity, Whose Heritage


I'd like to open this article by quoting King (1991), "the political economy of colonialism focused attention on the unequal distribution of power, between Europeans as colonizers and Indians as colonized, in the production of the built environment: a situation in which a cultural division of labour needed to be built into any explanatory model".

It doesn't correspond directly to what I'm thinking now about the cultural heritage in the present (colonialism) Hanoi. However, it does make me consider that somehow the concept of heritage was possibly created under the influence of the economy, society, culture and their relation to building form (copied from p. 107). It is the logic of colonialism itself which can explain the work of this concept. Especially as Cooper (2002) has explained that what actually happened with the practices of urban design and architecture in Indochina was an ambuigity. On one hand, it intended to express French good will in associating local culture to French spatial planning, but on the other hand it intended equally to strengthen the distribution of colonial power in the colonized territory (Lim, 2006). In this context, the role of the "local" cultural heritage was to become the tools to differentiate the European built forms from the indigenous forms.

The next question is how we can explain changes from "local" building forms into French version of historic monument.

In Vietnamese perspectives, the notion of heritage derived from the idea of monument, an establishment constructed with memorial value. This mode of production can be seen at the construction of the Van Mieu Temple by Ly Thai To in respecting the Confucianism (1047). Other establishments such as pagodas (Chua), temples (Den) and communal houses (Dinh) built by people over period were also the expression of this idea. Those places are until now used to remember important people and also as worship place. Furthermore, from the old cartography of Hanoi, we may see that the ensemble of nature and built environment were also treated as monuments (Mangin, 2002).

(Urban) heritage in Hanoi was transfered as a concept during the period of French dominiation (The importation of this term also took place in other colonized countries in south-east asia cities). As concept, according to Choay (1999), its origin meaning was historic monument. This was French invention which emerged at the late of 18th century. This concept later was formalized with the establishment of the historic monument office in 1830 and some regulations. During the French colonial expansion, this concept was spread over the world including to Indochina along with the religious, military and administrative mission (Mangin, 2002).

To transform this abstract concept into a concrete practices
in different territory is not a very difficult task to carry out. Firstly, because this concept was equipped with clear criteria concerning the value of the monument. This variety of value was based on this several issues, for instance (1) the age of the building; (2) architectural value (Mangin, 2002). Secondly, there was already the organisations like the EFEO who were in charge and whose interest relate to cultural heritage.

In 1930s, a list of historic monuments was made by the Ecole Française d’Extrême-Orient (EFEO). It showed the emergence of concern to Hanoi's archaeological relics (Pédélahore, 1993). The list included the vestiges of old citadel and religious building: pagodas, temples and communal house. Certain specific buildings from hundred of year’s history were claimed as historic monuments by modifying the vietnamese cultural value into western value (Mangin, 2002) under the French interest. For instance, the Quan Chuong Gate was put in the list since the governor Jean Dupuis first entered Hanoi trough this gate. This gate is the only gate from 13 gates which was decided to preserve whike the other gates were totally demolished.

This concept and definition of urban heritage involved the term of heritage restoration and conservation as the means to protect the monuments from serious damage. The data base was then used to develop a practical and applicable value system (Cooper, 2002) which was at that time officially introduced as heritage regulations.

Different case was the master plan of Hanoi created by Ernest Hébrard, an architect-urbanist which was the director of the service d’urbanisme, manifested an attempt to think carefully in designing an Indochinese metropolitan city. In this master plan, the modernity of Hanoi was overlaid on existing traditional city of Hanoi. The museum of Louis Finot, the museum of EFEO(now museum of history) and the Pasteur Institute were the fruit of Hébrard’s architectural design in incorporating the western technology to the Vietnamese knowledge. The use of indigenouse architecture elements to decorate those buildings can be seen as an attempt to achieve a consolidation between the local and the French culture. Like in other colonial constructs, the physical bodies of this architecture represent the interest of the colonizer. Thus, instead of creating the form of consolidation (this word I borrow from Lim, 2006), this architecture in fact tried to create a definition for itself.

Briefly, those two stories -cultural heritage and Indochinese architecture - seemingly tended to create a condition in which architectural artifact can contains identities of the local culture. On the contrary, a
s it is argued by Cooper (2002) by using western perspectives, this whole process actually more or less is the way of re-creating the image of Hanoi city for the sake of western interest. Its intention was actually to express the difference between the colonizer and the colonized. The colonizer was represented by its modernity as it was shown in the design of (now) French Quarter while the colonized remained traditional. Urban Heritage, although it was produced from the local architecture, was a manipulation to be a model to divide the colonizer and colonized.

---

Bibliography

Cooper, N., 2000, Urban Planning and Architecture in Colonial Indochina : French Cultural Studies

Hung, Tran, Enjeux de la Conservation du Patrimoine Urbain in Hanoi - Enjeux Modernes d’une Ville Millénaire. Paris. Edition Trames, 2002.

Logan, W.L., 1995, Heritage planning in Post-doi moi Hanoi. The National and International contributions: Journal of the American Planning Association, v. 61, no. 3 (Summer 1995).

Papin, Philipe. Hanoi. Histoire de La Ville. Paris: Fayard, 2001.

Pédelahore de Loddis, Ch."Hànôi, miroir de l'architecture indochinoise", Etudes vietnamiennes, n. 107 (1993 / 1).

Phuc, Nguyen Vinh. Ha Noi Past and Presents. Hanoi: The Gioi, 2004.

Saturday, March 17, 2007

Kota-Kota yang akan semakin sama


Ternyata kita mengekspor arsitektur juga.

Itu yang aku pikir ketika berkunjung ke Ciputra Hanoi International City "Khu Do Thi Nam Thang Long". Dari judulnya, kita bisa menebak kalo ada hubungannya dengan Ciputra Indonesia, pengembang properti yang muncul di Indonesia sejak 25 tahun lalu. Usahanya meliputi sekian proyek properti di Indonesia seperti perumahan, komersial, dsb. Tepat. Ciputra Hanoi ini salah satu proyek Ciputra yang ada di luar Indonesia selain yang ada di Kalkota.

Khu Do Thi bisa diartikan sebagai "kota baru". Dibangun sejak 2000, kota ini merupakan kota satelit pertama terbesar di Hanoi, Vietnam. Luasnya sekitar 368 ha, yang akan terdiri perumahan, apartemen (kelas menengah dan atas), dan fasilitas-fasilitas penunjang seperti sekolah international (UNIS), pusat perbelanjaan (di Indonesia shopping mall) yang konon akan terbesar di Vietnam, rumah sakit, perkantoran, kedutaan, hotel, yang akan dilengkapi dengan taman-taman yang asri. Terbagi dalam tiga tahap, total semua pekerjaan ini akan benar-benar selesai sekitar tahun 2020.

Konsep bangunan pada CHIC ini - menurut situs Ciputra - mengacu kepada gaya Asia, Eropa, dan juga Vietnam. Kalau kita perhatikan yang disebut gaya Eropa sebenarnya gaya yang kita lihat juga di Indonesia. Rumah dua-tiga lantai yang kemudian dipoles dengan tambahan elemen-elemen dekorasi seperti kolom-kolom Corinthian Yunani Kuno atau fasad arsitektur Renaissance yang mengingatkan pada S. Maria Nouvela yang didisain Alberti.

Rumah-rumah itu konon sudah laris manis. Untuk rumah tahap pertama, seluruhnya sudah terjual. Sedang yang tahap kedua, sebentar juga sudah terpesan. Jadi, selera arsitektur orang-orang di Indonesia bisa juga dinikmati di Hanoi. Globalisasi, sepertinya benar dapat mendorong kota-kota di dunia untuk semakin sama. Termasuk untuk persoalan-persoalan selera kultural seperti ini....

Tuesday, March 13, 2007

Refleksi lagi soal "heritage"

Aku selalu memikirkan sesuatu yang kurang dalam pendekatan konservasi heritage. menurutku heritage itu sendiri perlu dilihat definisinya yang tepat sebelum masuk pada aksi-aksi konservasi dan itu kelihatannya tidak secara serius digarap. Karena definisi itu tidak terjawab, jangan salahkan bila sering “heritage” diartikan untuk perlakuan terhadap bangunan tertentu (tua atau antik) saja. Akhirnya berhenti pada restorasi yang membutuhkan biaya tinggi. Karena ada kesulitan pengadaan dana, akhirnya harus mencari bantuan asing. Dalam model ini, kita kemudian berada pada sistem dunia per”heritage”an. Konsekuensinya kita juga mengadopsi pengetahuan-pengetahuan asing yang diformulasikan dalam banyak Charta (charta sendiri model peresmian pengetahuan bukan), deklarasi serta lainnya. Tanpa didasari pada pendefenisian terlebih dulu apa itu “heritage” yang kita punya, kita justru menjadi gagap mendefinisikan operasionalisasi “gerakan heritage”. Debat soal apakah produk kolonial bisa menjadi "heritage" merupakan representasi kebingungan antara di satu sisi pengakuan atas "arsitektur modern" dengan teknik serta estetikanya dan di sisi lain (tidak ada) pengakuan atas arsitektur yang merupakan peninggalkan jaman terkolonisasi yang kelam.

Atau mengharap bantuan kapitalis (pengusaha) untuk memberi bantuan tapi jangan lupa pula bahwa fundamentalnya kapitalis adalah soal “untung-rugi” sehingga melibatkan kapitalis tentu dengan diiringi kemampuan untuk menunjukkan bahwa terlibat di soal heritage memiliki manfaat yang sebanding dengan laba ekonomis (Begitu Pak Antok?).

Tulisan Choay kiranya dapat membantu melihat akar persoalan heritage terutama urban heritage lebih jelas. Fundamental heritage bukannya definisi yang sudah ada, tetapi terkait dengan bidang-bidang yang lain. Urban heritage, misalnya, dilihat sebagai solusi untuk persoalan identitas bagi suatu teritori (kota atau apapun). Heritage yang mewakili periode, prestasi atau identitas kemudian menjadi penanda dalam bentang teritori yang luas. Kenangan (monumen) yang dikandung oleh heritage dimanipulasi supaya faktor tersebut dapat menjadi milik bersama.

Nilai kultural yang ada pada heritage secara fisik (kemegahan konstruksi, keunikan) ataupun secara keindahan seni dibuat sedemikian sehingga heritage dapat mewakili identitas yang kita bayangkan. Kenapa identitas yang kita bayangkan? Karena bukan pada “heritage” itu kita menemukan identitas kita, tapi kita membadankan identitas kita. Gagasan tentang identitas yang di awang-awang kita carikan bentuk2 fisiknya, di mana kita menggantungkan standar nilai tertentu yang diadopsi dan dipahami secara kolektif.

Bahayanya: heritage dapat menjadi mainan2 orang tertentu untuk mempresentasikan identitasnya sendiri2. Jadi sifatnya individual sekali. Baik arsitek, sejarawan atau arkeolog dapat menggunakan heritage sebagai alat untuk menyatakan dirinya atau khususnya keilmuannya yang diklaim sebagai “identitas” kolektif.

Sementara pemerintah, mereka mengolah monumen sebagai heritage untuk menyatakan kekuasaannya. Identitas yang digagas oleh baik pemerintah serta arsitek dan kaum akademia lain kerap didorong untuk memberi logika bagi peresmian serta pelestarian “heritage”. Ketidakseimbangan terjadi ketika gagasan yang dikelola satu komuniti tidak disampaikan dengan baik pada komuniti yang lain.

Orang2 yang tinggal bersama “heritage” justru seolah menjadi korban dari “proses pembentukan identitas” yang digagas oleh kelompok tertentu. Ya, aku pikir itulah yang kerap terjadi pada “gerakan heritage” yang kerap belepotan dalam menyampaikan obyektifnya.

Note:
Istilah “heritage” aku pakai. Karena definisi dibangun bersama dengan konsep, mengalihbahasakan tentu tidak berarti dapat mentransfer definisi serta konsep yang telah melekat pada istilah tersebut.

Tuesday, February 27, 2007

Kemarin, Sekarang dan Besok di Sini

Bagaimana sebenarnya "adaptive reuse" bekerja? Dalam perbincangan soal konservasi, "adaptive reuse" berarti memanfaatkan suatu bangunan lama dengan fungsi yang baru. Dengan kerangka berpikir ini, "adaptive reuse" dioperasikan dengan memodifikasikan seperlunya suatu bangunan sehingga fungsi yang baru dapat bekerja di bangunan tersebut.

Menuruti ketertarikan itu, dua hari lalu aku meniatkan untuk bersantap siang di sebuah restoran-bar-cafe (singkat resto) di jalan Ma May. Resto berjudul "69" -karena terletak di nomer 69 -ini dulunya sebuah rumah tradisional model ruko Cina. Kemudian direnovasi sekitar paruh kedua tahun 1990-an dan dimanfaatkan sebagai restoran. Informasi tentang resto ini aku dapat dari penjaga tamu di 87 Ma May, rumah tradisional yang direnovasi dalam kerangka yang sama. Bedanya, rumah ini sekarang dimanfaatkan sebagai museum serta ruang pamer kerajinan Vietnam.

Dari luar secara arsitektural, fasadnya menunjukkan tanda-tanda ruko Cina. Terdiri dari dua lantai, fasad lantai pertama berupa bilah-bilah papan yang dapat dibuka sepenuhnya dengan mencopoti semua bilah papan tersebut. Sedang lantai kedua, balkon yang tertutup rapat dengan dua jendela yang secara simetris berjejer. Adanya papan nama, buku menu serta dekorasi yang tidak umum seperti lampionlah yang menunjukkan kalau ini adalah sebuah restoran.

Melangkahkan kaki ke bagian teras, lebarnya sekitar 2 meter, atmosfer kafe mulai terasa. Tampak dari teras ini, bagian dalam terdiri dari bangku-bangku rapi serta meja bar di sisi kanan dengan rak bersisi berbagai jenis botol minuman beralkohol. Ruang ini disekat, dibatasi dengan tembok terbuat dari bata ekspos dengan ruang lain yang berfungsi juga sebagai ruang makan. Di bagian belakangnya lagi terlihat bagian dapurnya.

Lantai kedua dicapai dengan menggunakan tangga yang kelihatannya terletak di bagian yang dulunya adalah court yard. Sejauh mata memandang, termasuk bagian balkon, bagian ini seluruhnya adalah satu set meja makan. Di bagian belakang terlihat ada bekas void yang sudah ditutupi sejenis plastik. Rupanya di bawahnyalah terletak dapur.

Menggambarkan struktur resto ini jelaslah bahwa gagasan tentang ruko tradisional sudah tampak tiidak relevan untuk menjelaskan struktur resto ini. Deskripsi ruko tentang bagaimana courtyard berfungsi, penataan spasial serta manusia berkegiatan tidak akan menjelaskan resto ini.
Yang tinggal adalah fasad serta konstruksi kayu yang menjelaskan keberadaan mereka sendiri. Kelihatannya, bangunan ini harus dijelaskan dalam term restoran, ada bagian penyambut, meja bar, bagian meja makan, dapur serta kamar kecil.

Jadi, bagaimana "adaptive reuse" bekerja? Pertama, dia harus memutus hubungan dengan masa lalu demi mendapat manfaat yang sebesarnya dari hal yang diproyeksikan saat ini. Suatu bangunan tidak lagi memiliki kenangan secara utuh, secara arsitektural, yang bisa diceritakan dari dinding, lantai dan atap serta tatanan ruang yang dihasilkannya. Dengan ini, konstruksi tersebut lebih memiliki kaitan dengan pemanfaatannya di masa depan. Hasil-hasil yang diharapkan dengan rekonstruksi yang sekarang dikerjakan. Kedua, dia harus berani untuk mengadopsi cara produksi yang baru. Dalam konteks ekonomi, misalnya, ada indikator-indikator ekonomi yang harus diperhitungkan. Lalu, ada persoalan ruang baru karena kode-kode yang harus disampaikan baru sehingga dapat diartikan para pengguna dengan tepat sehingga tidak terjadi salah kaprah. Apakah benda ini termasuk pajangan, apakah ruang itu untuk dimanfaatkan untuk ruang makan juga. Dan terakhir, bagaimana lingkungan dapat memberi dukungan pada model proyek terebut. Secara sosial, proyeksi pekerjaan ini adalah dampak yang dihasilkannya menanggapi lingkungan yang secara dinamis berubah. Tafsir yang tidak lengkap terhadap lingkungan -sering dengan alasan mempertahankan kenangan atas bangunan tersebut- akhirnya membuat bangunan tersebut tertinggal di masa lalu atau terseret-seret dalam tebaran makna sekarang.



Thursday, February 22, 2007

Mudik juga ada di sini


Seperti fenomena mudik di Indonesia, Tet adalah waktu untuk berkumpul dengan keluarga. Distribusi pembangunan yang belum rata telah mendorong tingginya mobilitas penduduk suatu daerah ke pusat-pusat pertumbuhan seperti Hanoi. Ini dilakukan baik untuk alasan ekonomi ataupun pendidikan. Urbanisasi sekarang terjadi, dibanding periode sebelumnya ketika orang justru didorong untuk ke desa untuk menggarap sawah di desa. Disurbanisasi.

Kehidupan antara kota yang moden, serta kehidupan asal yang tradisional mewarnai kehidupan orang vietnam. Tet adalah waktunya mengisi "batre". Mengangkat harapan, doa untuk tahun baru yang telah datang. Rasionalitas tinggal di kota terpadu dengan ritual-ritual yang masih menjadi tradisi.

Malam Tet, orang2 datang ke pagoda atau kuil untuk beribadah. Ibadah ini dilakukan sampai beberapa hari kemudian. Beberapa kuil besar di luar Hanoi juga menjadi sasaran para peziarah seperti Perfumes Pagoda, kira2 tiga jam dari Hanoi. Festival besar2an ada di Perfumes Pagoda, katanya yang paling besar di negri ini. Festival jangan dibayangkan ada tarian, senandung, ritual tertentu. Festival di sini menggambarkan keramaian ketika sekian banyak orang secara bersamaan datang untuk berdoa di Pagoda ini.

Dua jam jalan darat serta satu jam dengan sampan, panorama lansekap natural kawasan ini benar cantik. Perjalanan sungai dikelilingi oleh bukit-bukit batu tinggi yang berjejer silih berganti. Kabut tinggi memberi kesan misterius ada apa di balik batu-batuan tersebut. Dalam perjalanan, berpapasan dengan sampan yang lain atau sedikit bersenggolan dengan sampan yang lain kerap terjadi. Sungai yang lebarnya kira 20an meter jadi terlihat sempit karena banyaknya sampan yang beroperasi. Btw, karena aku ikut rombongan tur, sampan yang aku tumpangi jadi sedikit spesial, setidaknya bagi yang lain. Selalu saja ada yang menyapa "hello", "where are come from", hehe....

Begitu mendarat di pelabuhan, suasana ramai sudah terasa. Sepanjang jalan setapak menuju Pagoda, restoran yang berjejer dipenuhi oleh orang-orang yang sedang makan. Anjing, babi, serta ayam yang separuh matang dipajang utuh dengan cara digantungkan di depan resto. Anjing paling menaruh perhatian setidaknya untuk anggota turku. Tidak pernah terbayangkan memajang anjing dalam kondisi seperti itu.

Sayangnya, ramai sekali suasana di Pagoda sehingga aku tidak bisa menikmati.
Mungkin harus ke sini lagi kalau sudah lewat waktunya festival...:)

"Chúc mừng năm mới"


"Chúc mừng năm mới"
Artinya, Selamat Tahun Baru. Happy New Year. Bonne Année....

Ya, tanggal 17 Februari lalu adalah 01 Januari menurut versi kalender Vietnam.

Tahun Baru Vietnam atau "Tet" mengadopsi sistem kalender bulan. Karena banyak hal di Vietnam terlibat dengan sistem dunia, otomatis ada dua Tahun Baru yang harus dilewati oleh orang-orang Vietnam. Tahun Baru "Western" -menurut orang Vietnam- dan Tahun Baru Tet. Bagaimana dua sistem ini berjalan secara paralel dalam kehidupan orang setempat, ini PR yang moga2 dapat terjawab sebelum aku pulang nanti.

Tapi yang boleh terlihat antara lain soal hari libur. Sebagai negara berdaulat, Vietnam tentu saja mengatur waktunya menurut kepentingan sendiri. Libur Tahun Baru "Western" hanya satu hari, sedangkan "Tet" adalah empat hari. Tentu saja, karena di Indonesia tahun baru bukanlah soal penting, maka soal libur ini mungkin juga jadi tidak penting.

Tapi "Tet" bukan cuma tahun baru. Dalam "Tet" ada tradisi-tradisi yang dirayakan. Orang2 akan mudik, akan pergi ke pagoda dan akan menghadapi hidangan bersama keluarga serta saling berkunjung kepada kenalan. "Tet" benar-benar waktu untuk menjadi baru, baik secara lahir serta batin, dalam waktu dan tempat.









Menunggu 00:00










Skyflowers di pukul OO:OO




Saturday, February 10, 2007

Sampaikah salamku untuk dia...

Hari-hari mendekati Tahun Baru Tet. Seperti tahun baru Cina, tahun Baru Tet mengikuti sistem perhitungan hari menurut kalender bulan. Tahun ini, tahun Baru Tet akan bertepatan dengan tanggal 17 Februari Masehi.

Hari ini, tujuh hari menjelang tahun baru Tet adalah hari spesial. Menurut Lonely Planet, karena Tao Quan -a man- kata resepsionis apartemenku- akan naik ke surga untuk melaporkan hal-hal yang terjadi sepanjang tahun ini kepada the Jade Emperor. Tao Quan akan mengendarai ikan, sehingga hari ini orang-orang membeli ikan dan melepaskannya ke Red River atau danau-danau di Hanoi. Selain itu, hari ini orang-orang berkumpul serta makan bersama.

Menjelang tahun baru Tet ini, pertanyaan berulang yang aku terima adalah "Apakah kamu juga punya perayaan seperti ini?". Pertanyaan ini pertama kali datang dari bule Australia pemilik toko buku "Bookworm' di Ngo Van So. Dengan mantap aku bilang, "tidak ada". Kami hanya punya Tahun Baru yang cukup dirayakan dengan nonton TV atau berhitung. "Oh, aku pikir karena kalian punya kebudayaan yang berbeda kalian punya tahun baru yang berbeda pula...."

Pertanyaan itu makin kerap muncul, sehingga aku jawab saja, "tidak ada perayaan yang khusus di mana orang-orang harus mudik. Tapi ada Hari Raya Lebaran yang dirayakan dengan mudik dan libur selama kurang lebih sepekan. Tidak semua merayakan, tapi hampir semua menikmati liburnya." Lantas aku sadar. Kalau ada yang kurang untuk bisa diceritakan, itu adalah "sesuatu yang dirayakan". Kenapa di Indonesia tidak ada "sesuatu yang dirayakan" alasannya mungkin supaya tidak kelihatan kalau senang berpesta, maka tidak perlu ada banyak perayaan2 yang khusus. Tapi dengan alasan ini pula, ada daerah2 tertentu yang menjadi unik. Mereka tampak berbeda karena memelihara perayaan masing2. Ya, jawabannya mungkin tidak bisa pendek. Indonesia adalah negara kepulauan, terdiri dari banyak suku dan masing2 suku punya tradisi perayaannya sendiri....

Di Hanoi, tidak banyak orang yang beragama Kristen. Tapi menjelang Natal kemarin, seolah Hanoi akan merayakan Natal. Boneka Santa Klaus, lampu-lampu yang digantung di pohon, tulisan-tulisan "Selamat Natal". Dan ketika harinya tiba, semua orang merayakan dengan keluar ke jalan keliling kota. Hoan Kiem Lake jadi sasaran dipenuhi dengan orang-orang tua muda, termasuk turis-turis seperti aku yang bengong dengan bagaimana Natal dirayakan.

Ada yang perlu dirayakan untuk dapat menikmati kota yang sedang kita tinggali....

In the Mood for Love


"Chungking Express" (1994) adalah film pertama Wong Kar Wai yang aku tonton. Kalau tidak salah, aku kebetulan sedang ganti-ganti channel tv, dulu hanya ada RCTI, SCTV, TPI dan TVRI, sampai menemukan film itu sedang diputar RCTI. Film yang aneh. Antar adegan seperti tidak runtut, miskin dialog, dan kaya gambar, maksudnya seperti melebih-lebihkan suatu obyek dan mengontraskan terang gelap. Aku masih ingat, Tony Leung jadi seorang polisi yang senang memainkan pesawat-pesawatankecil.

Film kedua yang aku tonton adalah "Fallen Angels", film yang kesannya serba gelap, tentang seorang pembunuh. Lalu "Ashes of Times", film silat yang ancur luar biasa. Lalu "2046" yang aku tonton di Paris dua tahun lalu. Olivier, suaminya Rozenn, yang cerita kalau film ini bagus, termasuk soundtracknya yang banyak ambil lagu-lagu Amerika Latin. Film "The Hand", satu dari tiga film pendek dalam "Eros" aku tonton akhir 2005. Dan terakhir "In the Mood for Love" (2000) yang DVD bajakannya baru aku beli tadi siang di sebuah toko di jalan Hang Bac.

"In the Mood for Love", film ini bisa dibilang seri sebelumnya "2046", yang cerita bagaimana Mr. Chan dan Mrs. Chow bertemu. Masing-masing telah menikah, tapi adalah mereka berdua adalah karakter yang sendiri karena Mrs. Chan yang kerap kerja sampai larut dan Mr. Chow yang sering bertugas ke luar negri. Berawal dari "cerita tentang dasi dan tas", akhirnya mereka memutuskan untuk kerap bertemu dan berhubungan. Akhir cerita ditetapkan dengan perginya Mr. Chan ke Singapura untuk tetap bisa bilang "we wouldn't be like them....". Lingkungan memang telah menciptakan sistem yang membuat kode2 untuk dapat mengalihkan perasaan, seperti telepon, makan malam dan payung. Mungkinkah itu cukup....

He remembers those vanished years.
As though looking through a dusty window pane,
the past is something he could see, but not touch.
And everything he sees is blurred and indistinct.


---
Sepanjang jalan Hang Bac ini ada sekitar tiga toko yang menjual produk-produk gagal (gagal asli karena memang bajakan) seperti VCD atau CD musik dan DVD film. Harga per satuannya antara 15000 - 16000 VND atau 1 USD.

Saturday, January 27, 2007

Menikmati matahari di Van Mieu

Il y a du soleil!!! Setelah sekian hari bersama hari-hari yang suram. Tanpa matahari. Langit abu-abu. Dan dingin. Akhirnya dia ada di sana, ada sinarnya dan ada rupanya yang bulat terang di langit (yang biru, hehe...).

Sebenarnya, kalau tidak ada matahari, rencananya hari ini aku, Kannika dan Munim sekeluarga akan ke Museum of Fine Arts, tidak jauh dari apartemenku. Kami pilih museum supaya tidak harus berada di luar ruang yang di cuaca yang sedang dingin ini. Berhubung Kannika, akhirnya, mengirim email pengumuman bahwa dia sakit, tepatnya sakit kepala, akhirnya aku usul untuk membatalkan saja acara arisan yang direncanakan. Sebenarnya aku tidak ada rencana Sabtu ini selain membeli tiket bulanan untuk Februari di Ga Ha Noi. Karena ada matahari, aku memutuskan keluar mencari obyek yang ada di luar ruangan. Dan targetnya adalah Van Mieu - Quoc Tu Giam.

Letaknya tepat di seberang Museum of Fine Arts. Aku cukup jalan kaki untuk bisa sampai sana. Untuk masuk, 5000 Dong untuk tiket serta tambah 3000 untuk dapat brosur mengenai Van Mieu ini. Entah kenapa di Lonely Planet tertulis 20000 D untuk masuk.

Sejarah singkatnya bisa diliat di brosur ataupun di Lonely Planet. Kita dapat langsung mengenali situs ini dari deskripsi visualnya yang berbeda dari lingkungan fisik yang berada di sekelilingnya, bangunan ruko bertingkat 4-5 dan lebih. Aku pikir, dengan bagian samping dan belakang dikeliling oleh dinding setinggi 2 meter sedang bagian depan oleh pagar besi telah membuatnya seperti pulau di antara lautan ruko.

Aku kutipkan sejarahnya dari Lonely Planet:

Van Mieu atau Temple of Literature. Dibangun tahun 1070 oleh Emperor Ly Thanh Tong dari Dinasti Ly, yang mendedikasikannya untuk Confucius (Khong Tu). Enam tahun kemudian, pada tahun 1076, universitas pertama Vietnam didirikan untuk mendidik keluarga kerajaan, kemudian para sarjana terbaik. Di situ kemudian diadakan ujian-ujian untuk merekrut para pegawai kerajaan.

Tahun 1484, Emperor Le Thanh Tong (perhatian yang ini dari Dinasti LE) memerintahkan pembuatan prasasti di atas lokasi Van Mieu untuk mencatat nama, tempat lahir mereka yang telah meraih sarjana dengan lulus ujian tiga tahunan sejak 1442. Meskipun 116 ujian telah diadakan antara 1442 dan 1778, hanya 82 prasasti saja yang masih ada.

Tahun 1802, Emperor Gia Long (Dinasti Nguyen) memindahkan universitas ke ibukotanya yang baru di Hue dan bekas universitas dimanfaatkan sebagai temple untuk Khia Thanh.


Van Mieu terdiri dari 5 seri courtyard. Antara courtyard saling ditemukan oleh gerbang (gambar 1: Gerbang Dai Trung) yang bentuknya berbeda-beda dan diteruskan oleh satu jalur jalan kaki. Courtyard tersebut diisi oleh taman, pohon-pohon tinggi, antara bentuk yang terbangun dengan situs alam saling melengkapi. Aku pernah baca kalau filosofisnya, orang Vietnam senang mengambil citra alam sebagai bagian dari lingkungannya. Di courtyard yang ketiga, kita bisa melihat bangunan-bangunan terbuka di mana di simpan 82 prasasti namun yang menarik perhatian adalah adanya danau yang dominan di court ini. Danau tersebut dipanggil Thien Quang Tinh (Gambar 2).

Kesatuan Temple of Literature - Quoc Tu Giam dibangun dalam periode-periode serta dinasti yang berbeda. Temple tersebut tidak hanya mewakili kultur Hanoi, tapi juga pusaka arsitektur yang bernilai tinggi dari perspektif artistik serta historiknya (Hung, 2001). Aku lihat dasar konstruksi, penggunaan material yang sama tapi diselesaikan oleh dekorasi yang berbeda. Karena termasuk temple yang kelasnya tinggi, kita akan melihat detil-detil dekorasi yang khas. Dari bentuk-bentuk yang berbeda tersebut, kelihatan bagaimana arsitektur telah diolah untuk mendapatkan citra tertentu.

Misalnya bangunan yang berfungsi menyimpan prasasti-prasasti tidak diselesaikan dengan dekorasi yang mendetil, juga tidak diberi warna tertentu dibanding pada Temple yang didedikasikan untuk Confucius yang diberi warna merah, dengan lukisan naga yang menggunakan tinta emas. Serupa dengan arsitektur di Jogja, di mana ada anggapan bahwa apa yang dipakai raja di arsitektur Kraton, tentu saja tidak pantas kalau dipakai oleh rakyatnya. Maka lantas, muncullah bentuk-bentuk populer yang mewakili estetika yang bukan "kelas" tersebut. Kita lihat nanti bagaimana rupa yang populer itu muncul dalam pesona urban Hanoi....


Friday, January 26, 2007

Kereta Jam 9

Area di mana apartemenku berada dekat sekali dengan rel kereta api. Tidak langsung berhadapan. Bagian belakang bangunan-bangunan yang berada di depan apartemenku yang langsung menghadap ke rel kereta api. Pertama kali aku sadar bertetangga dengan rel kereta api ketika aku harus bertemu dengan Normand di kantor UNESCO Hanoi di jalan Cao Bào Quàt, tidak jauh dari Park Lenin. Karena aku lihat di peta, jalan itu tidak jauh dari apartemenku, jadilah aku memutuskan untuk ke sana dengan jalan kaki. Sekaligus melihat salah satu Patung Lenin yang masih tersisa di dunia. Saat itulah aku menemukan rel kereta itu, terbentang melintasi jalan Dien Bien Phu. Semakin sadar ketika aku mulai menyimak bahwa setiap jam-jam tertentu, seperti jam 6 atau jam 9 malam selalu ada bunyi panjang yang sama, bunyi klakson kereta api, "teeet...teeet...".

Rel kereta api di tengah kota memang bukan hal biasa. Stasiun kereta pertama biasanya dibangun bersamaan dengan tumbuhnya kota modern, berfungsi untuk menata teritori suatu wilayah dengan kota tersebut sebagai pusatnya. Maka, lumrahlah kalau stasiun kereta berada di tengah kota. Di Yogyakarta ada Stasiun Tugu, di Jakarta ada Stasiun Jakarta Kota sedang di Hanoi ada Ga Ha Noi (Stasiun Hanoi). Seiring semakin besarnya kota, rel kereta yang tumbuh keluar kota menjadi semakin pendek karena kota yang semakin mekar.

Yang aku perhatikan adalah kehidupan di sekitar rel kereta tersebut. Kalau di Indonesia, karena akuisisi lahan di sekitar rel yang milik PT K.A. adalah "ilegal" dan "informal" maka yang muncul adalah kehidupan yang terpaksa. Yang tumbuh kemudian adalah bangunan-bangunan temporer terbuat dari papan, dari seng atau material apapun yang seadanya tanpa takut akan rugi bila suatu hari terpaksa pergi. Sementara kehidupan di sekitar rel di Hanoi berkesan formal. Rapi, bersih dan permanen. Rumah berlantai satu atau dua dengan akses masuk dekat dengan rel kereta (maksudnya bukan pintu belakang yang dekat dengan rel). Kemudian aktivitas menjemur, memasak nasi ataupun kegiatan produksi biasa pula di lakukan di ruang antara rel serta muka rumah. Ruang tersebut selain menjadi jalan pintas bagi pejalan kaki dan pengendara motor, lebarnya yang kira-kira 2 meter aku lihat bisa pula termanfaatkan menjadi lahan parkir. sementara di ujung pertemuan rel kereta dengan jalan Dien Bien Phu, ada saja penjual "baguette" yang nongkrong dengan dagangannya tepat di atas rel.

Ya, aku tidak bisa membayangkan bagaimana manajemen resiko yang diterapkan baik perusahaan kereta serta para pemilik rumah di sepanjang sisi rel kereta. Bayangkan kalau ada kereta yang tiba-tiba anjlok, yang tiba-tiba keluar rel dan entah meloncat ke mana. Dan sepertinya dia bisa berhenti pula tepat di depan
apartemenku. Hiii....


Monday, January 22, 2007

ayo naik bis - 2


















INCROYABLE!!!

Halte bus bisa hilang. Hehe. Satu halte bus di Hang Bong, halte di mana aku tunggu jalur 09 buat ke Hoan Kiem dan halte dekat Museum of History kalau naik bus 02. Fotonya ada di atas ini. Kalau kebetulan melihatnya, tolong menghubungi aku. Hehe....

Sebenarnya tidak mengherankan karena aku pernah baca di Lonely Planet, kalau jalur bus tidak pasti di Hanoi. Ada kemungkinan bisa berubah. Tapi yang aku tidak sangka, kalau itu termasuk menghilangkan halte.

Oke. Di luar itu. Masih tidak percaya kalo "aku bisa naik bis" dianggap sesuatu yang ajaib oleh teman-teman di Hanoi. Thao bilang aku "adaptable", Hanh bilang "bisa merasakan suasana sehari-hari" dan sebagainya.

Bis itu - menurutku - sebetulnya berarti jaminan keteraturan. Kannika bilang, dia tidak suka dengan bis di Hanoi. Tidak seperti di Bangkok (dan Indonesia kebanyakan) bis di sini hanya berhenti di halte. Di Paris sekalipun, bis bisa berhenti di lampu merah. Jadi, (supir) bis di sini tingkat disiplinnya bagus. Seperti lagu 'Kereta Api', berhentinya punya hanya sekian detik. Kadang kalau kita lelet naik atau turun, pasti ada lagu (maksudnya kata Vietnam) yang mengingatkan untuk cepat. Naik bus, berarti kita harus naik turun di halte. Kita mengingat-ingat pertemuan jalur2 bis supaya bisa sambung menyambung untuk sampai ke tempat tujuan. Ada keteraturan menyangkut waktu tempuh, jalur yang dijalani serta bis yang membawa kita. Maka, itu tidak seperti naik motor di Hanoi yang membawa kita bebas ke mana dan bagaimana.

Yang kedua, ada petualangan ketika naik bis. Pertama, bagaimana pintunya terbuka, ada yang satu pintu, dua pintu terbuka hanya satu atau dua2nya terbuka. Kemudian di dalam, melambai2kan kartu bis juga suatu yang belum selesai. Aku tidak pernah bisa menebak di mana kondektur berada. Kadang sambil melambai, mataku mencari2 di mana kondektur berada. Sering tidak ketemu. Ketika aku di tengah, baru sadar kalau dia duduk di bangku di depan. Di tengah, dengan jenis-jenis tataan bangku yang berbeda-beda, aku belum selesai membuat adaptasi dengan variasi tataan tersebut. Apakah aku senang duduk di bagian depan, tengah atau belakang. Apakah lebih baik berdiri, duduk. Menyender di bagian dinding, di rel atau berpegangan. Di luar bahwa aku kerap naik jalur yang sama, posisi di mana aku duduk memberi cara menikmati bis yang berbeda. "Keteraturan" di sini, bagaimana kita memunculkan kemampuan untuk bisa beradaptasi secara cepat (untuk waktu yang singkat) untuk berada di dalam sebuah bis.

Dalam pemandangan sehari-hari Hanoi yang serba tidak tertebak, aku membayangkan bagaimana orang Hanoi bernegosiasi dengan dua hal teratur tersebut. Bagaimana ya?

ayo naik bis

Satu hal yang aku pelajari dari "teman travelling"-ku selama ini adalah bila berada di daerah yang baru perlu segera tau bagaimana untuk memobilisasi diri. Ini termasuk untuk segera punya map/peta (bisa ngunduh dari internet), buku panduan (kalau punya duit bisa beli lonely planet) walau menikmati kota dengan cara yang tidak biasa lebih menarik dan cari tau transportasi paling umum di daerah itu. Temanku dari host institution di sini, Thu, selalu menyarankan untuk naik xe om, nama ojek di Hanoi, tanpa sekalipun pernah mengajarkan bagaimana naik bis. Seingatku menyebut kata bispun tidak.

Menurutnya, bis di Hanoi tidak nyaman, meskipun diakuinya kalau dia belum pernah naik bis.
Tapi buatku, naik bis jadi keharusan. Satu, supaya tidak termanja oleh "melambai, menawar, duduk dan sampai" dan Dua, naik xeom benar-benar bisa menguras isi saku. Minimal naik xe om biasanya 10ribu, bandingkan dengan dengan bis yang 3000 sekali naik. Ada pilihan yang ketiga, sebenarnya, yaitu jalan kaki. Tapi dalam kondisi cuaca yang sedang dingin-dinginnya, aku tidak menyarankan diriku untuk mengambil pilihan terakhir ini. "We can have a strong legs," canda resepsionis apartemenku.

Akhir bulan lalu aku memutuskan buat mendaptar untuk bisa beli tiket bulanan. Dengan masukan dari Kannika untuk mendaftar di kios Ga Ha Noi (maksudnya stasiun kereta) plus bantuan teman resepsionis tadi untuk menterjemahkan formulir, jadilah aku mendapatkan kartu dengan foto 2x3-ku menempel sebagai pengenal. Setiap bulan, aku harus membayar 80000 untuk mendapatkan sejenis stiker tanda berlangganan. Kalau aku bisa mendaftar sebagai pelajar, ada tarif potongan seharga 50000. Sayangnya itu 5 tahun lalu.

Dan ternyata, bis di sini nyaman luar biasa. Mereka tertib berhenti hanya di halte. Artinya, ada jaminan kalau aku menunggu di halte, tidak lantas harus berlari karena bisnya harus menurunkan penumpang beberapa meter yang lain dan memilih melewatiku untuk berhenti di beberapa meter yang lain. Haltenyapun bersih, dilengkapi dengan bangku panjang terbuat dari alumunium. Sepertinya menjelang ASEM' 06 kemaren ada gerakan membuatkan halte bis. Halte dilengkapi pula papan penunjuk arah yang meskipun dalam bahasa Vietnam, tapi cukup informatif karena nama jalan-jalan yang dilalui ditulis lengkap. Bis-bisnya bersih seperti transJakarta ketika mulai dioperasikan. Menurut pengamatanku, ada dua macam; bis yang Prancis karena ada tulisan "Sorti" (keluar) dan model Korea karena ada tulisan Daewoo (yang artinya bukan keluar!!!). Buatku, model Prancis lebih ramah karena daun pintu keluarnya ada empat. Artinya, terbukanya lebih lebar hingga tidak berkesan desak-desakan.

Sejauh ini, aku sudah hapal untuk naik ke bis ke host institution-ku di Giai Phong dengan jalur 32, nyegat di Le Duan. Ke Hoan Kiem Lake naik jalur 09 nyegat di Hang Bong. Dan pulang ke apartemen di Tang Duy Tan naik 02, 09, 32 dan 34. Hehehe....

Saturday, January 20, 2007

Menjelang Gerimis bersama Ernest Hebrard

Hujan pertama di Hanoi. Maksudnya pertama sesudah satu bulan aku di sini. Kannika sudah wanti-wanti, kata temannya, hujan seperti ini walau masih kecil (gerimis maksudnya) tetap bisa bikin sakit. Hujan memang makin berpengaruh pada cuaca, makin dinginnnn.... Dingin pula yang membuat kami memutuskan untuk ke Museum of History ketimbang ke Van Mieu "Temple of Litterature". Bayangkan harus berada di ruang terbuka dalam cuaca hari ini....

Lokasi museum ini menurutku tidak berpretensi untuk menunjukkan kemegahannya. Letaknya tersembunyi di balik pohon-pohon tinggi sehingga kehadirannya baru akan tampak kalau sudah berada di balik pagar halamannya. Bangunan ini pun mesikpun gemuk tidak terlalu tinggi sehingga tidak lalu mendominasi bangunan-bangunan rumah model vila yang ada di sekitar French Quarter. Kombinasi ini mungkin karena si perancang, Ernest Hebard tidak hanya arsitek tapi juga perencana urban. Maksudnya, merancang bangunan berarti juga melihat konteks lingkungannya; apakah mau menjadi dominan, mengisi yang kosong atau menjadi tetangga yang ramah.

Secara arsitektural, bangunan ini merupakan representasi cita-cita arsitektur Indochina E. Hebrard. Sebagai arsitek Prancis, tentu saja bekalnya adalah
kosakata arsitektural Prancis. Detil-detil yang kita lihat di museum ini kebanyakan oriental, barangkali ada usaha untuk mengawinkan keduanya. Soal skala, teknik konstruksi serta tipologi untuk bagian pengaruh Prancis, sementara bagian detil adalah untuk pengaruh oriental. Aku tidak tahu apakah bisa disebut mendapat pengaruh oriental kalau hanya muncul pada detil over hang, sudut atap serta pagar balkon (atau lorong entah apa karena tidak diaktifkan) sempit. Makna yang berbeda. Ada usaha untuk menanggapi iklim? Atau sekadar inspirasi. Mungkin inspirasi yang muncul setelah mengamati sekian tipe arsitektur di Indocina serta kosakata detil arsitekturalnya. Mungkin kalau bisa menemukan bangunan asli Vietnam yang skala dan fungsinya mendekati, kita bisa bilang kalau ada pengaruh oriental di situ. Ya, mungkin ada bacaan lain yang bisa menjelaskan apa yang sedang dikerjakan Hebrard ini.