Sunday, January 22, 2017

CSR dan Pengelolaan Pusaka

Diskusi Bulanan BPPI atau disbul kali ini (29/06/2016) mengundang Asanti Astari, lulusan program master "World Heritage Studies" di Brandenburg University of Technology di Cottbus. Topik tesis yang ia tulis sangat menarik, dengan judul "Integrating Cultural Sustainability into the Focus of Corporate Social Responsibility (CSR) Agenda: Study Case of National Private Companies in Indonesia.

CSR adalah media bagi dunia usaha memberi kembali kepada masyarakat dan lingkungan, sebagaimana mereka berusaha mengejar keuntungan. Namun, menurut Asanti dunia usaha saat ini belum memberi perhatian kepada budaya. Mengutip Starr (2013), menurutnya, dunia usaha belum sadar pentingnya pusaka dan bagaimana dukungan terhadap pelestarian pusaka kemudian dapat memberi nilai tambah bagi usahanya.

Sumber: https://www.instagram.com/p/BHO_d8uA9E6/

Riset yang dibuat oleh Asanti menyimpulkan bahwa kontribusi dunia usaha pada pelestarian pusaka masih kurang disebabkan hal berikut: (1) tidak ada dukungan dari pemerintah, seperti informasi bagaimana budaya dapat berkontribusi terhadap pembangunan keberlanjuntan dan insentif di bidang budaya, dan (2) tidak jelasnya timbal balik terhadap bisnis mereka.

Asanti menganjurkan supaya lebih banyak informasi yang disajikan terkait peran budaya dalam pembangunan berkelanjutan dan bagaimana dunia usaha dapat berkontribusi. Ada beberapa perusahaan yang telah memberi perhatian, ia mencontohkan, antara lain Google Cultural Institute dan National Geographic Acces 360' World Heritage.

 


Bacaan Terkait:
Ratman, D. R., 2016. Pembangunan Destinasi Pariwisata Prioritas 2016-2019. [online] Available at: [Accessed 27 July 2016]
Starr, F., 2013. Corporate Responsibility for Cultural Heritage: Conserva6on, Sustainable Development and Corporate Reputa6on. New York: Routledge. 

Wednesday, June 08, 2016

Masa Depan Kota Pusaka

Sejak 2012, BPPI bekerjasama dengan DJ Penataan Ruang, Kementerian PU- merintis dan mengembangkan sebuah program bernama Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP). Sampai dengan 2016, partisipan kegiatan ini sekitar 50an kota/kabupaten di Indonesia. Sebagian besar juga sebagai anggota Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Dua kabupaten di antaranya bahkan menjadi anggota Organization of World Heritage City (OWHC) untuk Asia-Pasifik. 
Antusiasme kota/kabupaten mengikuti program kota pusaka sangatlah menggembirakan. Setidaknya bisa diharapkan bahwa semakin banyak pemerintah daerah yang sadar bahwa mereka memiliki aset yang berharga. Bila jeli, aset tersebut dapat dijadikan bekal untuk merumuskan konsep kota tematik mereka.
Di lain sisi, konsep kota pusaka tidak bisa selama-lamanya bergantung pada P3KP. Keberhasilkan P3KP adalah menempatkan isu mengenai pusaka dalam isu pembangunan perkotaan. Hari-hari ini tidak ada yang tidak kenal dengan kota pusaka. Hampir setiap minggu, ada saja kota yang mendeklarasikan diri sebagai kota pusaka. Tidak ragu-ragu kepala daerah yang baru saja bergabung dengan program menyatakan diri sebagai kota pusaka, bahkan tingkat dunia. Jangan sampai soal kota pusaka hanya dilihat sebagai branding kota.

Wednesday, September 24, 2014

Kota Pusaka Dunia

"Kenapa di Amerika Serikat tidak ada kota pusaka dunia?" cetus Denis Ricard.
Sejenak kami terdiam. Saya, yang bersama Profesor Kim, Sung-Woo dan Augusto Villalon sedang mengitari meja penuh dengan set masakan Korea, membayangkan hal-hal teknis terkait kriteria kota pusaka. 
"Karena di sana, perlu 100 persen konsensus dari warga untuk bisa menetapkan sebuah pusaka," Denis menjawab ringan. Taman Nasional merupakan pusaka yang mudah ditemui karena pemerintah bisa memiliki seluruh properti. 
Denis Ricard adalah Sekjen OWHC atau Organization of World Heritage Cities, sebuah organisasi kepala daerah pengelola situs pusaka dunia yang bertujuan untuk mempromosikan pengetahuan dalam mengelola kota pusaka bagi para kepala daerah, sekaligus membangun jejaring antar kota. Pada 25-26 September 2014 ini, OWHC di wilayah Asia Pasifik menyelenggarakan pertemuan pertama, didahului pertemuan para pakar pada 24 September dengan topik "people-centered conservation". Kegiatan ini diselenggarakan di Gyeongju, sebuah kota yang ditempuh sekitar 4 jam dari Seoul.

Ia mengulangi kembali ajakannya pada saat pertemuan pakar untuk mengingat-ingat beban yang harus ditanggung kota dengan label pusaka dunia. Tentu saja ada warga kota yang akan bahagia dan bangga dengan identitas dan peluang usaha baru. Di sisi lain, ada warga yang menanggung biaya pemeliharaan label tersebut. Melekat pada label tersebut adalah standar pemeliharaan bangunan dan lingkungan yang lebih tinggi. Kadang-kadang bahkan mengatur lebih banyak aspek kehidupan sehari-hari warga kota.
Pelibatan masyarakat adalah mungkin dan dalam pelestarian, ini tentu saja adalah proses. Prof. Adishakti, mengutip salah satu paparan peserta, menekankan sekali pada proses tahap demi tahap dalam mengelola keterlibatan masyarakat. Tidak ada satu model yang unik dalam mengelola kota pusaka dunia. Semua pendekatan berlaku pada konteks kota dan kapasitas warganya. Denis pun menambahkan, "belum ada definisi operasional yang tetap mengenai kota pusaka dunia. Pusaka adalah konsep yang berkembang, begitu pula kita sedang mengembangkan konsep kota pusaka ini."  

Tuesday, September 16, 2014

Heritage Impact Assessment

Tahun 2014 ini ada dua tawaran workshop mengenai "Heritage Impact Assessment". Satu diadakan di Hong Kong, pada bulan Mei oleh the Architectural Conservation Programmes (ACP), Faculty of Architecture, The University of Hong Kong dan lainnya di Cina pada bulan Oktober oleh World Heritage Institute of Training and Research for the Asia and the Pacific Region under the auspices of UNESCO, Shanghai Centre (WHITRAP, Shanghai) dan ICCROM. 
Saya mengikuti salah satunya di Hong Kong. Pada saat bersamaan bertemu dengan dua teman baru dari Indonesia, Iin dari UNESCO dan Dedi dari Riau Heritage. Iin ini ternyata membantu kami menerjemahkan buku Panduan Pelestarian Pasca-Gempa di Padang. Selain itu, peserta juga datang dari India dan Jepang, 
Mengenai Heritage Impact Assessment atau HIA bisa disimak melalui http://www.icomos.org/world_heritage/HIA_20110201.pdf. Menurut staf pengajar kami, Dr. Richard A. Engelhardt dan Dr. Ayesha Pamela Rogers, masih banyak yang perlu dikembangkan dari implementasi HIA ini. HIA cukup berkembang di Hong Kong, justru karena instrumen-instrumen pelestarian bangunan atau kawasan pusaka belum cukup lengkap. Mereka belum mengenal konsep seperti kawasan pusaka, karena itu pelestarian bangunan pusaka dilakukan dengan pendekatan tiap pembangunan.
Cerita berlanjut, studi kasus kami adalah Kampung Pok Fu Lam, yang pada tahun 2013 dinyatakan sebagai salah satu the 2014 World Monuments Watch. Kabar terbaru, American Express dan World Monuments Fund memberikan $1.5 Juta untuk pelestarian kampung ini. Selamat untuk Nigel dan teman-teman dari komunitas yang memperjuangkan Pok Fu Lam dalam isu pelestarian.

Friday, March 28, 2014

Tantangan Kota Pusaka

Sekira lima tahun lalu bersamaan dengan "Temu Pusaka 2008", ada tulisan di sebuah media nasional berjudul "Kota Pusaka Menuju Kehancuran Sistematis, Tak Sekadar Terkait Peraturan". Sebagai sebab adalah kemampuan pengelola kota dalam merevitalisasi dan mempertahankan dari ancaman kehancuran.

Pada tahun 2012, dicanangkanlah Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) yang mudah-mudahan bisa menjawab tantangan kota pusaka.


Kota Pusaka Menuju Kehancuran Sistematis, Tak Sekadar Terkait Peraturan

Bukittinggi, Kompas - Sebagian besar kota pusaka di Indonesia saat ini tengah menuju kehancuran sistematis akibat ketidakpedulian pengelola kota. Hanya di Surakarta, Jawa Tengah, dan Sawahlunto, Sumatera Barat, yang pengelolanya mampu merevitalisasi warisan sejarah dan mempertahankannya dari ancaman kehancuran.

Kota Sawahlunto di Sumatera Barat menjadi salah satu kota di Indonesia yang cukup memiliki kepedulian terhadap pelestarian warisan sejarah atau pusaka (heritage). Gedung-gedung sekolah maupun rumah ibadah di Jalan Imam Bonjol, Sawahlunto, yang dibangun pada masa kolonial saat kota ini dibuka pertama kali oleh Belanda sebagai kota pertambangan batu bara, masih tetap utuh dan terjaga. (KOMPAS/KHAERUDIN/ Kompas Images)

Demikian hal yang mengemukakan dalam ”Temu Pusaka 2008” di Bukittinggi, Sumatera Barat, Sabtu (23/8).

Pengajar dan peneliti Center for Heritage Conservation, Jurusan Arsitektur dan Perencanaan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Laretna T Adhisakti, mengatakan, kota yang didirikan dan didesain pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun sultan dan raja lokal Nusantara jumlahnya sangat banyak. ”Meski demikian, saat ini belum ada data yang pasti tentang jumlah kota pusaka di Indonesia,” katanya.

Tentang penyebab kehancuran kota pusaka, Laretna mengatakan, ”Ada satu masa yang tidak nyambung. Saat pengelola kota membangun kotanya, tetapi tidak pernah mengidentifikasi cagar budaya yang ada di kota tersebut. Kepala daerah membangun kotanya tanpa melihat masa lalu kota tersebut.”

Klasifikasi

Di Indonesia, kata Laretna, sebenarnya cukup banyak kota yang memiliki kelimpahan keragaman pusaka (heritage). Namun, pemerintah belum pernah menetapkan klasifikasi kota pusaka secara formal. ”Itu pula sebabnya, kehancuran kota-kota pusaka dengan mudah terjadi di negeri ini,” ujarnya menambahkan.

Penghancuran yang dimaksud antara lain pembiaran pemerintah daerah terhadap hancurnya gedung-gedung bersejarah dan keengganan mengonservasi pusaka kota, baik yang berwujud (tangible) maupun tak berwujud (intangible).

Laretna lebih lanjut mengatakan, tidak seperti di Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara Asia yang pemerintahnya cukup sadar untuk melestarikan kota- kota pusaka, di Indonesia pemerintah daerah yang peduli pada upaya konservasi kota-kota pusaka masih sangat sedikit. Berdasarkan catatan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), katanya, baru Surakarta dan Sawahlunto yang pemerintah daerahnya cukup peduli melestarikan pusaka kota.

Soehardi Hartono dari Badan Warisan Sumatera berpendapat, ketidaksiapan pemerintah daerah memahami kegiatan pelestarian pusaka kota mengakibatkan kepala daerah cenderung mengabaikan ancaman kehancuran kota pusaka. ”Kegiatan pelestarian bukan sekadar membuat peraturan daerah tentang perlindungan benda cagar budaya, tetapi lebih dari itu. Bagaimana memanfaatkan benda cagar budaya, bagaimana mengembangkannya agar bisa mendatangkan manfaat ekonomi,” katanya.

Kasus di Medan

Soehardi menambahkan, kehancuran gedung-gedung yang memiliki nilai sejarah tinggi di hampir semua kota di Indonesia membenarkan sinyalemen adanya kehancuran sistematis dari kota-kota pusaka. Contoh konkretnya antara lain yang terjadi di Medan, Sumatera Utara. Sejak tahun 1988, kata Soehardi, Medan sebenarnya memiliki peraturan daerah yang melindungi kawasan, seperti Kesawan, yang bisa dianggap sebagai pusaka kota.

”Di dalam peraturan tersebut, jelas dilarang mengubah bentuk bangunan yang ada di sepanjang Jalan Kesawan. Namun, Dinas Tata Kota Medan tetap menerbitkan izin membangun bangunan untuk ruko (rumah toko) yang jelas-jelas mengubah bentuk asli bangunan di Jalan Kesawan. Ini kan pembiaran dari pemerintah daerah. Upaya menghancurkan pusaka kota secara sistematis,” ujarnya. (BIL)

Sumber: Kompas, Senin, 25 Agustus 2008

Sunday, March 02, 2014

PIAGAM PELESTARIAN KOTA PUSAKA INDONESIA 2013

Sebagai tonggak Tahun Pusaka Indonesia 2013, diluncurkanlah Piagam Pelestarian Kota Pusaka Indonesia 2013. Piagam ini adalah kesepakatan masyarakat pendukung pelestarian pusaka yang akan mengawal dan terus mendorong penataan dan pelestarian Kota Pusaka. Menurut Piagam, Kota Pusaka (Heritage City) adalah kota/kabupaten yang mempunyai aset pusaka istimewa, berupa rajutan pusaka alam dan pusaka budaya yang lestari tercakup unsur ragawi/cagar budaya (artefak, bangunan, dan kawasan dengan ruang terbukanya) dan kehidupan fisik, ekonomi, dan sosial-budaya. Sebagai Kota Pusaka, rajutan pusaka yang istimewa merupakan keunggulan yang harus lestari sepanjang masa. Dalam piagam dinyatakan Kota Pusaka wajib memiliki Rencana Pengelolaan Kota Pusaka yang menjadi panduan dalam melindungi, memelihara, mengembangkan dan memanfaatkan keunggulan nilai pusakanya.

Ada 8 (delapan) instrumen penyusunan Rencana Pengelolaan Kota Pusaka. Instrumen tersebut adalah (1) Kelembagaan & Tata Kelola; (2) Inventarisasi & Dokumentasi; (3)Informasi, Edukasi, Promosi;(4) Ekonomi Pusaka; (5) Pengelolaan Resiko Bencana pada Kota Pusaka; (6) Pengembangan Kehidupan Budaya Masyarakat; (7) Penataan Ruang dan Sarana-Prasarana; (8) Olah Disain Bentuk. Instrumen tersebut perlu dilakukan secara paralel, partisipatif dan komprehensif.

Piagam ini adalah kesepakatan masyarakat pendukung pelestarian pusaka yang akan mengawal dan terus mendorong penataan dan pelestarian Kota Pusaka. 

Friday, October 14, 2011

ia Anang Saptoto

Malam kemarin kami bertemu. Sekitar empat video report "Green Map" yang digarapnya bersama rekan-rekan Green Map Maker lain ditayangkan di Dalem Sopingen, Kotagede. Salah satu videonya, tentang restorasi tembok Masjid/Makam Kotagede. Dibuat tahun 2006, video ini katanya selesai dua tahun kemudian. Sebenarnya rekaman audia/video yang jarang ditemukan dari sebuah proses pelestarian.
Beberapa tahu lalu, kami pernah diskusi tentang Lahan Resapan yang kemudian menjadi salah satu program keseniannya:
AWAS! LAHAN RESAPAN
(Water Supply Areas) 
Anang Saptoto was born in Yogyakarta, September 23, 1982. He currently lives and works in the city. He graduated from Akademi Desain Visi Yogyakarta, Visual Communication Design Department and Indonesian Institute of the Art, Television Department. He is a part of Ruang MES 56 community, Video Report Jogja. He has been actively involved in various contemporary art exhibitions within and outside the country, especially with photography and video medium.

Wednesday, October 12, 2011

tentang Omah UGM

Omah UGM adalah sebuah rumah adat di Kotagede. Pada tahun 2007, UGM membelinya dari keluarga Parto Darsono. Meski lokasinya di Desa Jagalan, sedang kita tahu selainnya ada Kelurahan Purbayan dan Prenggan, prinsipnya rumah adat ini dapat digunakan oleh siapa saja.

Rumah adat Jawa sebenarnya terdiri dari beberapa bangunan, antara lain ndalem, pendapa dan gandok. Pendapa rumah ini sudah lama tidak ada. Untuk itu, dicarilah sebuah pendapa yang kemudian dipasangkan di sebelah selatan bagian ndalem. Pendapa memang selalu berada di depan ndalem.

Mengapa UGM membeli rumah ini?
Setelah gempa tahun 2006, banyak rumah adat yang terkena dampak. Mereka rubuh, rusak dan sementara tidak dapat digunakan. UGM mengambil peran untuk melestarikan pusaka Kotagede dengan membeli rumah ini. Menjadikannya "pusat gerakan pelestarian", rumah ini dapat menyerap dan mendorong dinamika pelestarian di Kotagede. Berbagai kegiatan seperti IFSAH tahun 2007 berpusat di rumah ini.

Terakhir ada kuliah lapangan dari Prodi Magister Rancang Kota ITB sekitar bulan April 2011 yang dikelola oleh Pak Widjaja Martokusumo. Bertepatan dengan pelaksanaan Nawu Sendang ketiga.

Tuesday, October 11, 2011

Jalan

Yogyakarta rasanya sering disederhanakan menjadi sekadar jalan Malioboro. Apa boleh buat, jalan ini layaknya pusat pelayanan kota, dan karenanya semua serba di sana. Mal Malioboro, Pasar Beringharjo, Kepatihan, hotel, oleh2, kuliner, dst. Paris juga dikenal dengan Champs Ellysees dan Barcelona dengan Las Ramblas.
Jalan itu sendiri sesungguhnya menarik. Bisa aja ia makin menarik kalau ada aktivitas. Sekarang kita kenal Kawaan Ngarsopuro di Kota Surakarta, yang direncanakan menjadi arena kaki lima. Ngarsopuro terletak di selatan Pura Mangkunegaran. Tiap akhir pekan jalan ini ditutup untuk kendaraan bermotor dan digunakan untuk pejalan kaki yang ingin menikmati ruang kotanya.
Ingatan melayang sampai ke Melaka, dengan Jonker Street-nya yang sesak. Di Medan ada Kesawan Square dan di Surabaya ada Kembang Jepun. Dua yang terakhir ini sekarang menjadi kenangan.
 

Tun Tan Cheng Lock Centre for Asian Architectural and Urban Heritage

Jurusan Arsitektur NUS punya satu rumah toko (ruko) di Melaka. Ruko ini berlokasi di Jalan Tan Cheng Lock 54-56 dan adalah The Tun Tan Cheng Lock Centre for Asian Architectural and Urban Heritage. Adalah keluarga Tan Cheng Lock yang menghibahkan ruko ini.

Kalau mahasiswa NUS sedang kuliah lapangan, mereka bisa pakai ruko ini. Tidak hanya untuk studio, tp sehari-hari jg utk memajang hasil studio mereka. Ada karya studio Melaka dan juga Fez, Maroko. Di satu rak kaca kecil, ada buku hasil lapangan mereka di Taiping dan Kuala Trengganu.
Rumah ini mengingatkan saya pada Omah UGM di Kotagede....

Friday, September 23, 2011


Sejarah sebuah kampung dapat dilihat dari namanya. Istilahnya toponim.
Yogyakarta salah satu yang sejarah ruangnya dapat dikenali dengan mudah. Nama-nama jalan atau kampung bercerita tentang masa lalunya, meski mungkin tidak sungguh persis benar saya dapat pahami. Kadang-kadang hanya nama saja, tidak ada artefak atau bukti lainnya. Di Malioboro misalnya, ada kampung Dagen, Pajeksan atau Sosrowijayan. Dagen artinya orang yang bekerja di bidang perkayuan. Banyak yang berasumsi kalau di Kampung Dagenlah dulunya merupakan tinggalnya komunitas orang-orang yang ahli di bidang ini. Sementara Pajeksan dari kata "jaksa" sedang Sosrowijayan dari kata "Sosrowijaya". Keduanya menunjuk adanya seorang tokoh, seperti jaksa atau pangeran bernama Sosrowijaya. 
Tentang toponim ini saya temukan juga di Malaka, salah satu world heritage di Malaysia. Salah satu jalan mereka panggil Jalan Tukang Besi. Saya yakin komunitas pandai besi dulunya tinggal di sekitar jalan ini.
Namun dimana para tukang besi itu?

Tidak hanya para tukang besi yang telah pergi, bukti-bukti kehadiran mereka sering tidak ada. Tetapi, penamaan kampung telah bertahan lama. Saya rasa, tiap orang kampung tanpa direncanakan telah memelihara memorinya tentang sejarah kampungnya. Pengalaman di Bumen menunjukkan bagaimana hal ini disampaikan saat generasi yang baru bermunculan. Namun, siapa yang menjamin cerita tersebut serupa versinya.

Friday, July 01, 2011


Lycée Le Corbusier Aubervilliers


Pertama kalinya saya menemukan nama sekolah berdasarkan nama seorang arsitek. Walaupun setelah saya telusuri lagi, sekolah ini semacam SMK di bidang perancangan bangunan.

Thursday, June 30, 2011

Shakespeare and Company


Toko buku ini muncul sekilas di film Woody Allen terbaru, Midnight in Paris (2011). Gil Penders saat itu digambarkan keluar dari toko ini.

Film ini bukan yang pertama menunjukkan toko Shakespeare and Company. Sebelumnya ia muncul pada film berjudul Before Sunset (2004) yang kelanjutan Before Sunrise (1995) dengan setting di Wina.

Shakespeare and Company terletak tidak jauh dari Sungai Seine dan seberang Katedral Notre Dame. Ciri khasnya adalah papan nama panjang, berwarna kuning dengan tulisan nama toko itu. Oya, ada potret Shakespeare juga. Konon buka sejak tahun 1919.

Saya ingat, di dalamnya ada semacam sumur, jauh lebih kecil daripada yang kita kenal di sini. Uniknya sumur itu penuh dengan koin. Ini seperti cerita tentang sumur permintaan. Saya sempat tergelitik untuk menyimpan beberapa koin di sumur itu.

Tidak jauh darinya adalah Quartier Latin. Banyak toko buku besar yang berdampingan dengan restoran, toko suvenir, dsb. Dibanding toko buku lainnya, saya suka tawarannya untuk melepas suasana formal. Ia tidak hanya toko buku, tetapi juga tempat berkumpul yang menyenangkan.

berbagi cerita..














Rasanya selalu ada bagian kota yang diberikan bagi siapa saja yang sekadar datang berkunjung. Di sini semua orang berbagi kenangan dan cerita yang sama. Dan bagi siapapun dan darimanapun, kenangan tersebut memang mudah untuk dimengerti dan dengan rela untuk dibagi bersama.
Misalnya cerita tentang gembok atau "love padlock". Biasanya dipajang di jembatan, seperti di Passerelle-Léopold-Sédar-Senghor di Paris yang menghubungkan dua sisi Sungai Seine di Jardin Tuileries. Kerumunan gembok ini tidak serimbun di Ponte Vecchio. Tapi, mereka berbagi cerita yang sama tentang harapan untuk cinta sepanjang masa.
Atau aktivitas lain diyakini bisa membawa keberuntungan atau setidaknya membawa kita kembali ke kota tersebut. Seperti berdiri di atas Point Zero di depan Katedral Notre Dame, Paris. Boleh percaya atau tidak, tapi begitulah kita bisa menikmati kota-kota itu....

Wednesday, June 29, 2011

Menjelajahi dunia dalam dua jam


Ada dua nama besar dapat ditemukan di plakat ini, yaitu Jacques CHIRAC dan Jean Nouvel. Yang pertama adalah presiden Perancis, sebelum diganti oleh Sarkozy sedang yang kedua adalah arsitek.
Keduanya sepakat untuk menghadirkan sebuah wahana yang dapat mengantar semua orang menjelajahi dunia dalam dua jam, yaitu Museum Quai Branly.

Monday, June 13, 2011

Menghidupi bangunan tua lebih lama..


Salah satu bangunan di Wina yang aku kunjungi adalah Gasometer. Tentang Gasometer ini, ceritanya pertama kali aku tahu saat Prof. Erich Lehnner presentasi di BI (eks DJB) Jogja sekitar dua tahun lalu. Ia dosen arsitektur di TU Wien, Austria.
Gasometer adalah tangki penyimpanan gas yang melayani Kota Wina. Jumlahnya ada empat dengan kapasitas sekitar 90.000 m3 atau yang terbesar di seluruh Eropa. Dibangun tahun 1896-1899 oleh perusahaan gas Gaswerk Simmering.
Lokasinya di Distrik 11, Simmering. Dari pusat kota, bisa menumpang subway nomer 3 jurusan Ottakring-Simmering.
Karena perubahan sumber gas, Gasometer tidak digunakan lagi sekitar tahun 1980an. Kemudian dimatikan, namun sebelumnya telah ditetapkan sebagai pusaka kota sekitar tahun 1978. Bentuknya yang besar, diselimuti oleh material batu-batu terawat dengan baik.
Sekitar tahun 1990an, Kota Wina memutuskan untuk menghidupkan kembali Gasometer. Bukan sebagai Gasometer, tetapi untuk fungsi lain seperti tempat tinggal, komersial dan perkantoran. Ada empat arsitek yang terpilih, yaitu Jean Nouvel (Gasometer A), Coop Himmelblau (Gasometer B), Manfred Wehdorn (Gasometer C) dan Wilhelm Holzbauer (Gasometer D).
Gasometer ini contoh bagaimana bangunan tua dan bersejarah sebenarnya memiliki alternatif perlakukan selain sekadar diawetkan. Contoh lain seperti Museum Orsay di Paris, yang sebelumnya adalah stasiun kereta api. Di Jakartapun kita punya contoh seperti Museum Fatahilah yang sebelumnya adalah Balai Kota.


Friday, June 10, 2011

Kota Ramah Anak

 
Siang ini aku diminta "Cah Irenk" untuk menjadi narasumber di Siaran Green Radio di RRI. Siaran ini merupakan kerjasama antara RRI Pro 2 dan Peta Hijau Yogyakarta tiap hari Jumat, pukul 10 siang.
"Temanya 'Tata Ruang yang Ramah Anak dan Lingkungan," katanya. 
Aku menawar. 
"Cukup yang ramah anak saja." Pikirku, dengan tema itu saja sudah banyak yang bisa dibahas.
Untuk Yogyakarta, konsep "Kota yang ramah anak" bukanlah baru. Tahun 2009 lalu, bersamaan dengan Hari Anak Nasional, Kementerian Pemberdayaan Perempuan menetapkan Kota Yogyakarta dan 9 kota/kabupaten lain sebagai ramah anak. Salah satu indikator adalah adanya Taman Pintar, fasilitas kota di jalan Senopati yang ditujukan untuk tempat bermain sekaligus belajar bagi anak-anak.

Menurutku, kota yang ramah sesungguhnya konsep yang tidak hanyak fisikal tetapi juga perseptual. Keramahan tidak hanya dirasakan di satu tempat tertentu, tetapi juga dalam keseharian anak. Mulai ia keluar rumah dan aktivitas apapun yang dilakukannya. 
Selama di Wina, mbak Ririk banyak memotret berbagai ruang terbuka. Berbagai bentuk dan skala. Ruang terbuka kota, kawasan, permukiman. Ia simpulkan, tidak hanya ruang terbuka harus ada, tetapi aman dan perlu atraktif. Tentu saja untuk user-nya, baik anak-anak atau orang tua yang perlu tempat untuk mengasuh anaknya. Tidak bisa pelit soal perabotan lingkungan yang perlu ada untuk merangsang siapapun berkegiatan di ruang kota.

Tram

Pertama kali aku melihat tram adalah di Paris. Rutenya sepanjang jalan lingkar kota. Tram bersilangan dengan jalur RER dan sedikit metro yang membawa warga dari pusat ke arah luar kota. Selain Paris, juga tram di Strasbourg, Milan dan Napoli.

Tetapi tram yang berkesan adalah tram di Bordeaux. Alain Juppe, walikota tahun 1990-an, mengupayakan kehadiran tramway de Bordeaux yang merajang Kota Bordeaux sekaligus memberi akses terhadap pusat kota. Tanpa banyak kendaraan bermotor, bagian kota yang bersejarah tampak lebih ramah untuk pejalan kaki.

Di Indonesia, Belanda juga pernah menghadirkan tram antara lain di Jakarta dan Surabaya. Namun, transportasi ini kemudian kalah saing oleh kendaraan pribadi. Seperti juga tram di Hanoi yang dihapus karena dianggap tidak modern. Nyatanya, beberapa tahun kemudian, kota-kota ini berlomba-lomba untuk menghadirkan kembali tram atau alat transportasi sejenis.

Bulan lalu, aku kembali naik tram. Kali ini mencicipi jalur tram di Kota Wina, Austria. Rasanya masih sama. Dibanding masuk bawah tanah naik subway, tram jelas lebih menarik.

Saturday, November 06, 2010

DENGAN BDL BIDANG PUSAKA, MELESTARIKAN KEAHLIAN BERTUKANG JOGLO

Dimuat di http://rekompakjrf.org/index.php?act=isiberita&id=228
Tanggal : 11/10/2010

Salah satu pusaka yang signifikan dan merupakan bagian tak terpisahkan dari karakter Kawasan Kotagede adalah rumah-rumah tradisional. berbagai ragam rumah tradisional Jawa yang ada, yaitu rumah joglo, limasan maupun kampung. Ciri khas yang membedakan satu dan lainnya adalah bentuk atapnya. Di antara ketiganya, bentuk atap joglo merupakan yang terumit. Selain rumah tradisional, ada pula rumah Kalang yang dibangun oleh Kaum Kalang yang sukses pada masa pemerintahan kolonial Belanda.

Meskipun sedikit sekali rumah tradisional baru, diperkirakan masih ada ratusan rumah tradisional di Kawasan Kotagede. Jumlah tersebut Tidak banyak yang mengetahui tata cara memperbaiki maupun memelihara sehingga tidak semua rumah dalam kondisi yang baik.

Gempa pada 26 Mei 2006 menunjukkan apa adanya kondisi rumah-rumah tersebut. Tim Pusaka Jogja Bangkit UGM (PJB) melaporkan kerusakan 88 dari sekitar 150 rumah tradisional akibat goyangan gempa. Rinciannya, ada 8 rumah tradisional (9%) rusak, 47 rumah tradisional (54%) roboh dan tidak dapat dihuni, 16 rumah tradisional (18%) roboh sebagian dan tidak dapat dihuni serta 17 rumah tradisional (19%) retak-retak.

Tidak hanya di Kotagede sebenarnya. Banyak bangunan pusaka yang mengalami kerusakan seperti rumah-rumah di Kawasan Njeron Beteng, bahkan Bangsal Trajumas di Kompleks Keraton dan Candi Prambanan dan menimbulkan pertanyaan, siapa yang akan merehabilitasi pusaka-pusaka yang mengalami kerusakan tersebut. Sebagai satu pusaka dunia, Candi Prambanan ditangani dengan dukungan UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization).

Sementara pemugaran rumah-rumah tradisional di Kotagede didukung oleh berbagai organisasi yang peduli pelestarian termasuk lembaga internasional. Dengan dukungan International Council on Monuments and Sites (ICOMOS) yang berkantor di Paris dan perwakilan Badan Pelestarian Pusaka Indonesia di Belanda, Jogja Heritage Society (JHS) telah menominasikan Kawasan Pusaka Kotagede sebagai situs terancam bahaya ke World Monuments Watch di New York. Pada tahun 2008, Kawasan Pusaka Kotagede dinyatakan sebagai salah satu dari 100 List of World Endangered Sites. Upaya revitalisasi Kawasan Kotagede telah menjadi perhatian dunia. Namun begitu, siapakah yang dapat menangani rumah-rumah tradisional tersebut kalau tidak para ahli bangunan setempat.

Hampir lima tahun setelah gempa, belum semua rumah yang rusak telah dipugar kembali. Proses masih berjalan dimulai dengan kegiatan Community Empowerment Program (CEP) yang merupakan kerjasama antara UGM dan Japan International Cooperation Agency (JICA), Tim PJB bersama masyarakat menyeleksi rumah tradisional yang dapat diperbaiki dengan dana Pemerintah Belanda serta donor lain. Kriteria pemilihan adalah adanya kehendak pemilik untuk terus melestarikan serta kerelaan untuk pemanfaatan rumah tersebut bagi fungsi publik.

Rumah pertama yang direkonstruksi dengan dukungan Pemerintah Belanda terletak di utara Pasar Gede di wilayah Kelurahan Prenggan. Rumah ini diberi sebutan Omah Lor Ing Pasar dan dimanfaatkan oleh masyarakat pemerhati pusaka. Dana dari Pemerintah Belanda disalurkan pula untuk merehabilitasi rumah Keluarga Joko Nugroho di Kelurahan Purbayan, serta Keluarga Edy Priyanto dan Keluarga Sudibyo Prasetyo (Gembong) di Desa Jagalan. Sementara, rehabilitasi dan rekonstruksi Omah UGM di Desa Jagalan didanai bersama-sama oleh JICA, perusahaan Total Indonesie, dan perusahaan Exxon Mobile Oil.

Perusahaan Total Indonesie juga memugar rumah Keluarga Mukadi yang terdapat di Kelurahan Purbayan. Rumah ini digunakan untuk kegiatan lingkungan bahkan pengelolaannya dilakukan bersama dengan warga di lingkungan tersebut. Rumah ini disebut Omah Cokroyudan sesuai dengan nama kampung tempat rumah ini berada.

Program Rekompak-JRF konsisten dengan proses rehabilitas dan rekonstruksi di Kawasan Kotagede, yaitu berbasis pelestarian dan komunitas. Contohnya adalah Pak Is, salah seorang warga yang sedang ikut menangani pemugaran rumah tradisional di Desa Jagalan Kabupaten Bantul. Terlibat dalam menangani Omah Cokroyudan, bekal pengalaman tersebut dimanfaatkan sepenuhnya oleh Pak Is dalam menangani rumah Pak Herlan. Rumah yang sedang ditanganinya dalam rangka implementasi BDL (Bantuan Dana Lingkungan) untuk pusaka ini terletak di klaster Soka-Tumenggungan dan bagian pendapa memenuhi kriteria penanganan rumah privat, yaitu kerusakan pada bagian strukturnya.

Pemugaran dilakukan sejak hari Sabtu, 25 September 2010. Persiapannya sudah dilakukan jauh hari sebelumnya termasuk penggambaran secara mendetil. Dari hasil identifikasi yang dilakukan oleh warga, beberapa kolom dari total yang berjumlah 12 batang di bagian pinggir atau soko rowo perlu diganti. Bagian struktural lainnya yang mendesak ditangani adalah sambungan pada tumpang sari yang telah keropos. Pada bagian ini, saka guru tidak menyambung pada pertemuan antara blandar pamidangan panyelak maupun pamanjang. Kedua elemen ini yang menjadi prioritas untuk ditangani karena merupakan bagian struktural yang penting.


Kerusakan pada bagian tumpang sari dan saka rowo/gonjo

Oleh Panitia Pembangunan (PP), pemugaran dimulai dengan memperbaiki saka rowo. Untuk sementara saka rowo diturunkan dan perannya digantikan dengan bambu untuk mempertahankan bagian atap tetap pada posisinya. Tujuannya supaya tidak perlu membongkar seluruh bagian atap.

Pemahaman Pak Is terhadap kaidah pelestarian terlihat dari bagaimana ia mengelola pemugaran rumah ini. Menurutnya, kayu bekas saka rowo jangan langsung dibuang begitu saja. “Kalau dibuang sayang, karena masih dapat dimanfaatkan. Bagian yang rusak dapat dipotong dan disambung dengan kayu lainnya,” katanya menjelaskan.

Pada saat kunjungan tim heritage NMC, Pak Is terlihat sedang mengerjakan ukiran untuk bagian gonjo, yaitu bagian yang mempertemukan saka rowo dan blandar (panyelak maupun pamanjang). Ia menunjukkan dua gonjo yang tidak dapat digunakan lagi karena telah keropos. Kayu yang digunakan sebagai gonjo didapatkan dari saka rowo. Setelah digambar pola ornamennya, ia kemudian menatah sendiri kayu tersebut dengan peralatannya. Pengalamannya selama bekerja di perusahaan mebel sejak tahun 1980-an telah membuatnya fasih dalam mempertemukan tatah dan kayu.

Tak dapat dipungkiri, penanganan pusaka pasca gempa menunjukkan bahwa orientasi pelestarian tidak lagi pada monumen yang adiluhung, tetapi juga pusaka rakyat sebagai cipta karya masyarakat. Masyarakat yang memiliki rumah tradisional dan ambruk peduli untuk mengembalikan pada bentuk yang semula ketimbang membangun rumah yang baru. Meski begitu, dalam masyarakat sering timbul pertanyaan tentang bagaimana sebenarnya tata cara dalam memugar rumah joglo yang mereka miliki. Apa yang sedang dialami Pak Is dkk dapat menjadi perhatian bagi masyarakat Kotagede lainnya supaya menjadi pembelajaran bersama. (Sumber: HUD / Sosinfo - NMC Rekompak-JRF)

Thursday, September 24, 2009

Sayembara Tanpa Hadiah

From: Elisa
To: iai-architect@yahoogroups.com
Sent: Wednesday, September 23, 2009 6:41:39 PM
Subject: [iai-architect] Sayembara Tanpa Hadiah

Rekan-rekan arsitek sekalian,

Anda diundang untuk mengikuti Sayembara Tanpa Hadiah yang diadakan oleh www.rujak.org <../../../.. /forumami/ www.rujak. org>

Merancang hunian untuk empat (4) keluarga berpenghasilan menengah Jakarta di atas tanah 245 m2 (lihat lampiran) di jalan Rembang No. 11, Jakarta 10310.

Latat Belakang

(Lihat antara lain
http://rujak. org/2009/ 08/density- myth-and- reality/
<../../../.. /2009/08/ density-myth- and-reality/ >
<../../../.. /2009/08/ density-myth- and-reality/ > )

Sudah jadi pengetahuan umum bahwa, sementara kelompok masyarakat berpenghasilan sangat tinggi kini mudah mendapatkan hunian di dalam kota (atau di mana saja, untuk hal ini), dan kelompok berpenghasilan rendah mendapatkan subsidi di dalam pusat kota atau di pinggiran kota, atau secara spontan menduduki berbagai tanah publik, kelompok berpenghasilan menengah hanya memiliki pilihan hunian berupa landed house di tepian kota, atau rumah-rumah tua di dalam kampung-kampung yang lama tidak mendapatkan peningkatan prasarana di dalam kota.

Perubahan tata-guna lahan di dalam Kota Jakarta telah mengurangi stok jumlah hunian. Penduduk Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan telah menurun secara absolut dalam sepuluh tahun terakhir. Stok hunian yang tersisa di lokasi-lokasi yang baik (dalam kepentingan modal disebut "lokasi strategis") untuk hunian karena dekat dengan lapangan pekerjaan dan sarana publik kini terus menerus mengalami ancaman alih fungsi dan harga tanah, yang antara lain secara tidak cakap dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah melalui penetapan Nilai Jual Obyek Pajak yang setinggi-tingginya "mengikuti perkembangan pasar".

Perpindahan kelas menengah ke pinggir kota dalam jangka panjang akan menyebabkan matinya pusat kota di malam hari, menjadikannya tidak efisien sebagai ruang kota, dan mematikan budaya kehidupan berkota dan mengota itu sendiri. Sementara itu pengembangan sub-kota (suburbs) yang terus menerus spekulatif dan tidak efisien akan menambah kepada pencemaran lingkungan melalui polusi udara para pengulang-alik, penggerusan lahan subur, pemborosan prasarana, dan lain-lain.

Yang harus dilakukan adalah meningkatkan stok hunian di dalam kota Jakarta yang terjangkau oleh kelompok berpenghasilan menengah di Jakarta.

Yang terjangkau ini secara logis adalah meningkatkan kepadatan jumlah hunian per tiap-tiap lahan, tetapi untuk lebih banyak jumlah keluarga, bukan kepadatan fungsi lain atau untuk jumlah orang berbelanja atau untuk jumlah mobil. Ini berarti juga bukan gedung-gedung tinggi yang mahal karena perlengkapan bangunannya (lift, AC, pompa, dll), dan karena biaya struktur bangunan yang makin meningkat per meter persegi pada bangunan yang tinggi.

Tujuan

Sayembara Tidak Berhadiah ini bertujuan mengumpulkan gagasan terbaik untuk meningkatkan kepadatan hunian kelompok berpenghasilan menengah di dalam pusat kota Jakarta, melalui rancangan bangunan hunian untuk empat keluarga pada sebidang tanah yang nyata, ialah di Jalan Rembang no 11 di Jakarta Pusat.

Sayembara ini tidak menentukan batas apapun kecuali lahan yang nyata, dan peruntukan bagi hunian empat keluarga dari kelompok berpenghasilan menengah di Jakarta.

Para peserta dipersilakan menafsirkan sendiri kebutuhan (dan kemampuan serta kewajiban) "keluarga berpenghasilan menengah di Jakarta". Sebab, arsitektur bukan hanya penerima "terms of reference" yang diterjemahkan menjadi bentuk sesuai pesanan, melainkan arsitektur sendiri berhak dan mampu merumuskan "terms of reference", dengan kata lain: membayangkan sendiri masyarakat Indonesia masa depan seperti
apa.

Sedangkan kelestarian dan atau keramahan terhadap lingkungan sudah dengan sendirinya harus menjadi tujuan tanpa perlu digembar-gemborkan sebagai sesuatu yang khusus atau istimewa. Yang minimal harus dicapai adalah: tidak digunakan pendingin udara, pengolahan kembali air limbah dapur dan kamar mandi, tersedia kemungkinan menggunakan panel photovoltaic, penyerapan air hujan seluruhnya ke dalam tanah (tidak
dialirkan ke saluran tepi jalan), komposting, tidak digunakan mesin pengering cucian, dan tidak digunakan lampu pada siang hari.

Rancangan Tidak Perlu Terikat pada Ketentuan seperti KDB, KLB, dan Ketinggian Bangunan.

Format

Karena tujuan di atas, maka rancangan yang dimasukkan minimal perlu mencapai tahap "Schematic Design". Sangat dianjurkan untuk sampai pada tahap "Design Development" , setidaknya untuk beberapa hal yang menentukan kinerja rancangan mencapai tujuan
ramah-lingkungan dan lestari.

Rancangan dikirim hanya dalam bentuk digital ke info@rujak.org, dengan mencantumkan nama dan alamat lengkap serta email peserta, serta berbahasa Indonesia.

Format dijital yang digunakan adalah PDF, DOC, JPG, XLS, dan PPT.

Bila akan menggunakan format lain, harap memberitahu penyelenggara melalui: info@rujak.org

Jadwal:

Pendaftaran (tanpa biaya): Nama, alamat, no.telpon, Alamat email, dikirim ke: info@rujak.org paling lambat tanggal 20 Oktober 2009.

Karya dikirim kepadan info@rujak.org paling lambat tanggal 20 November 2009.

Pemenang (tanpa hadiah) akan diumumkan tanggal 27 November 2009 melalui situs www.rujak.org ataupun pemberitahuan via email.

Tindak Lanjut:

Karya-karya yang diterima akan diterbitkan menjadi "buku" digital dalam bentuk PDF dan disiarkan melalui www.rujak.org dan lain-lain. Selanjutnya akan dipertimbangkan untuk diterbitkan dalam bentuk buku tercetak.

Bilamana ada gagasan khas dari sebagian atau seluruh karya peserta yang digunakan untuk mewujudkan/membangu n secara nyata bangunan hunian empat keluarga ini, maka peserta yang bersangkutan akan diberitahu, mendapatkan pengakuan terbuka, dan mendapatkan imbalan yang jumlahnya akan dirundingkan.

Juri:

Dewan Juri terdiri dari para editor www.rujak.org:
Marco Kusumawijaya, Elisa Sutanudjaja, Meutia Chaerani, Andrea Fitrianto, Cecil Mariani, Armely Meiviana

Data:

1. Gambar Site (silakan unduh disini )

2. Google Map (silakan unduh disini )

Sila kunjungi situs ini untuk informasi tambahan.

Kami tunggu partisipasi anda,

Salam,

Elisa Sutanudjaja,
Editor www.rujak.org