Sekira lima tahun lalu bersamaan dengan "Temu Pusaka 2008", ada tulisan di sebuah media nasional berjudul "Kota Pusaka Menuju Kehancuran Sistematis, Tak Sekadar Terkait Peraturan". Sebagai sebab adalah kemampuan pengelola kota dalam merevitalisasi dan mempertahankan dari ancaman kehancuran.
Pada tahun 2012, dicanangkanlah Program Penataan dan Pelestarian Kota Pusaka (P3KP) yang mudah-mudahan bisa menjawab tantangan kota pusaka.
Kota Pusaka Menuju Kehancuran Sistematis, Tak Sekadar Terkait Peraturan
Bukittinggi, Kompas - Sebagian besar kota pusaka di Indonesia saat ini
tengah menuju kehancuran sistematis akibat ketidakpedulian pengelola
kota. Hanya di Surakarta, Jawa Tengah, dan Sawahlunto, Sumatera Barat,
yang pengelolanya mampu merevitalisasi warisan sejarah dan
mempertahankannya dari ancaman kehancuran.
Kota
Sawahlunto di Sumatera Barat menjadi salah satu kota di Indonesia yang
cukup memiliki kepedulian terhadap pelestarian warisan sejarah atau
pusaka (heritage). Gedung-gedung sekolah maupun rumah ibadah di Jalan
Imam Bonjol, Sawahlunto, yang dibangun pada masa kolonial saat kota ini
dibuka pertama kali oleh Belanda sebagai kota pertambangan batu bara,
masih tetap utuh dan terjaga. (KOMPAS/KHAERUDIN/ Kompas Images)Demikian hal yang mengemukakan dalam ”Temu Pusaka 2008” di Bukittinggi, Sumatera Barat, Sabtu (23/8).
Pengajar
dan peneliti Center for Heritage Conservation, Jurusan Arsitektur dan
Perencanaan, Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta,
Laretna T Adhisakti, mengatakan, kota yang didirikan dan didesain
pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun sultan dan raja lokal
Nusantara jumlahnya sangat banyak. ”Meski demikian, saat ini belum ada
data yang pasti tentang jumlah kota pusaka di Indonesia,” katanya.
Tentang
penyebab kehancuran kota pusaka, Laretna mengatakan, ”Ada satu masa
yang tidak nyambung. Saat pengelola kota membangun kotanya, tetapi tidak
pernah mengidentifikasi cagar budaya yang ada di kota tersebut. Kepala
daerah membangun kotanya tanpa melihat masa lalu kota tersebut.”
Klasifikasi
Di
Indonesia, kata Laretna, sebenarnya cukup banyak kota yang memiliki
kelimpahan keragaman pusaka (heritage). Namun, pemerintah belum pernah
menetapkan klasifikasi kota pusaka secara formal. ”Itu pula sebabnya,
kehancuran kota-kota pusaka dengan mudah terjadi di negeri ini,” ujarnya
menambahkan.
Penghancuran yang dimaksud antara lain pembiaran
pemerintah daerah terhadap hancurnya gedung-gedung bersejarah dan
keengganan mengonservasi pusaka kota, baik yang berwujud (tangible)
maupun tak berwujud (intangible).
Laretna lebih lanjut
mengatakan, tidak seperti di Eropa, Amerika Serikat, dan beberapa negara
Asia yang pemerintahnya cukup sadar untuk melestarikan kota- kota
pusaka, di Indonesia pemerintah daerah yang peduli pada upaya konservasi
kota-kota pusaka masih sangat sedikit. Berdasarkan catatan Badan
Pelestarian Pusaka Indonesia (BPPI), katanya, baru Surakarta dan
Sawahlunto yang pemerintah daerahnya cukup peduli melestarikan pusaka
kota.
Soehardi Hartono dari Badan Warisan Sumatera berpendapat,
ketidaksiapan pemerintah daerah memahami kegiatan pelestarian pusaka
kota mengakibatkan kepala daerah cenderung mengabaikan ancaman
kehancuran kota pusaka. ”Kegiatan pelestarian bukan sekadar membuat
peraturan daerah tentang perlindungan benda cagar budaya, tetapi lebih
dari itu. Bagaimana memanfaatkan benda cagar budaya, bagaimana
mengembangkannya agar bisa mendatangkan manfaat ekonomi,” katanya.
Kasus di Medan
Soehardi
menambahkan, kehancuran gedung-gedung yang memiliki nilai sejarah
tinggi di hampir semua kota di Indonesia membenarkan sinyalemen adanya
kehancuran sistematis dari kota-kota pusaka. Contoh konkretnya antara
lain yang terjadi di Medan, Sumatera Utara. Sejak tahun 1988, kata
Soehardi, Medan sebenarnya memiliki peraturan daerah yang melindungi
kawasan, seperti Kesawan, yang bisa dianggap sebagai pusaka kota.
”Di
dalam peraturan tersebut, jelas dilarang mengubah bentuk bangunan yang
ada di sepanjang Jalan Kesawan. Namun, Dinas Tata Kota Medan tetap
menerbitkan izin membangun bangunan untuk ruko (rumah toko) yang
jelas-jelas mengubah bentuk asli bangunan di Jalan Kesawan. Ini kan
pembiaran dari pemerintah daerah. Upaya menghancurkan pusaka kota secara
sistematis,” ujarnya. (BIL)
Sumber:
Kompas, Senin, 25 Agustus 2008