Donny Gahral Adian
Kota adalah sebuah instrumen untuk mengendalikan teritori. Pengetahuan tentang itu dibangun dalam periode2 berbeda, seperti kue lapis atau bawang bombay, kota berlapis2 mewakili periode2 yang berbeda. Tapi, apakah melihat kota seperti mengiris bawang dalam lapisan2nya? Mengupas bawangpun dengan gaya, satu2 dalam gagasan yang kelihatannya sambil lalu tapi terumuskan secara tetap. Memotong menjadi dua, lalu dua lagi. Membiarkan sisi yang rata merapat pada telenan, lalu memotong dari sisi yang paling pipih secara teratur tiap sekian mili. Alih2 secara periode, kota sebenarnya dibangun menurut suatu intensi. Siapa yang peduli atau boleh, darinya intensi atas kota terspasialisasi.
Tapi kalau tidak hati2, gagasan ini bisa mudah usang. Siapa bilang intensi individual boleh merumuskan (sekaligus mengendalikan) bentuk kota. Kesepakatannya adalah bagaimana mendorong dunia2 kecil bisa menemukan tempatnya di dunia yang besar. Karena itu, daripada mencari sesuatu yang abstrak untuk mewakili yang umum, keseharian kemudian dipahami dan dicarikan bentuknya. Bukan berarti menyerahkan keseharian untuk merayakan dan menyatakan dirinya. Secara haluspun, dunia2 kecil akan saling bersinggungan dan membentuk kesepakatan2 spasial-sosial.
Sumber Teks:Donny Gahral Adian, Filsafat Tanpa Kedaulatan Semantik, http://kompas.com/ (Senin, 30 April 2007)